Para pembangkang terhadap nilai-nilai profetik umumnya memiliki otak bersumbu pendek. Berbagai fasilitas dan kenyamanan hidup dipandang sebagai produk kepintaran dan usahanya sendiri.
Ketika datang seorang utusan memberi peringatan atas kesalahannya, dengan serta merta muncul kesombongannya dan berbalik menuduhnya sebagai pembohong.
Fir’aun merupakan representasi manusia sombong. Berbagai kenikmatan yang hadir kepadanya justru menumbuhkan sikap sombong dan membuat kerusakan di muka bumi.
Perilaku sombong inilah yang mengakhiri hidupnya, di mana Allah menenggelamkan dirinya beserta pengikutnya.
Ini merupakan bentuk penghinaan Allah atas kesombongan dan kecongkakannya ketika datang utusan kepadanya.
New-Fir’aun saat ini bermunculan, dimana berbagai kenikmatan dan fasilitas hidup diperoleh. Alih-alih berbuat kebaikan, tetapi justru menciptakan kerusakan dan memorak-porandakan nilai-nilai profetik.
Surga Dunia dan Kesombongan
Fir’aun merupakan sosok manusia yang diberikan berbagai keistimewaan dan kesempurnaan hidup.
Dia terpilih menjadi pemimpin dan memiliki pengikut dengan loyalitas yang tinggi. Fir’aun berhasil membangun negerinya dengan sempurna.
Dia memperindah bangunan istana dengan megah dilengkapi taman-taman yang indah. Taman-taman itu semakin sempurna dengan adanya mata air yang jernih.
Dia juga memiliki kebun yang subur dengan berbagai macam tanaman dan buah-buahan yang tumbuh sehingga bisa dinikmati dengan puas.
Fir’aun juga memiliki rumah dan tempat-tempat kediaman yang indah. Fir’aun dan pengikutnya bisa menikmati keindahan dan kenyamanan negerinya. (QS. Ad-Dukhan : 25-27)
Kenikmatan dan kenyamanan hidup yang nyaris sempurna itu tidak diikuti dengan ketaatan ketika datang Nabi Musa untuk mengingatkannya agar hidup lebih bersyukur dan mengakui atas kenikmatan yang datang dari Allah.
Alih-alih bersyukur atas ajakan yang baik itu, Fir’aun justru bangkit kecongkakannya. dia pun semakin menindas suku Qibtiyah (Bani Israil) dan memperbudaknya.
Ketika Nabi Musa datang untuk mengajaknya berpegang pada petunjuk, Fir’aun justru melecehkan dan berencana membunuh Nabi Musa lewat para tukang sihir.
Berbagai peringatan sudah disampaikan dan dilihatnya, mulai dari kemarau panjang, kutu, katak, belalang hingga air yang berubah menjadi darah. Namun hal itu tidak membuatnya sadar.
Puncak pembangkangan ketika dia benar-benar ingin membunuh Nabi Musa dan pengikutnya.
Dia mengerahkan bala tentaranya secara total, dan ingin mengakhiri hidup nabi yang mulia beserta Bani Israil. Alih-alih berhasil, Allah justru menenggelamkannya.
Fir’aun Baru
Fir’aun sudah mati, tetapi aroma kejahatannya menghampiri manusia-manusia millenial. Mereka lah new-Fir’aun dengan kesombongan yang mirip Fir’aun.
Berbagai fasilitas dan kecukupan hidup telah diperolehnya. Mereka berbuat semena-mena dan menghasilkan kebijakan yang merusak tatanan norma kehidupan.
Hidup mereka bersenang-senang, pola kehidupannya tidak mengenal halal-haram, menindas hingga berbuat curang kepada orang lain.
Namun mereka tidak memiliki daya juang dan kekuatan hidup yang kokoh. Ketika datang musibah besar yang menimpanya, langsung tumbuh jiwanya yang lemah hingga berdoa dan memohon agar musibah itu dilenyapkan.
Hal ini sebagaimana diabadikan Allah sebagaimana firman-Nya :
رَبَّنَا اكْشِفْ عَنَّا الْعَذَا بَ اِنَّا مُؤْمِنُوْنَ
“(Mereka berdoa), “Ya Tuhan kami, lenyapkanlah azab itu dari kami. Sungguh, kami akan beriman.” (QS. Ad-Dukhan : 12)
Allah ini menunjukkan bahwa sesombong apa pun, manusia memiliki kelemahan dan pasti akan luluh hatinya kepada kekuatan yang lebih besar dari dirinya, yakni Allah Yang Maha perkasa.
Ketika menjadi pemimpin dengan pengikut yang banyak, new-Fir’aun umumnya angkuh dan sombong. Hal ini tidak lepas dari fasilitas hidup yang sudah tidak bisa dilepaskan darinya.
Hidup diwarnai foya-foya dan kemewahan. Ketika hidup dalam puncak kemewahan ini, tentu saja tidak mudah untuk menerima masukan atau kritik.
Karena sudah biasa dengan kebiasaan menyimpang yang sudah berjalan sekian lama dan dilakukan secara terus menerus, maka sulit berubah. Perbuatan yang berjalan lama dan menyimpang, sulit ketika diperingatkan.
Alih-alih berterima kasih, mereka justru tumbuh rasa gengsinya, dan berupaya menyingkirkan orang-orang yang berniat baik padanya.
Bukannya sadar atas nasehat yang baik, manusia kontra profetik ini justru sombong justru memproduksi perkataan untuk menjatuhkan orang yang memberinya peringatan.
Bahkan dia menuduhnya sebagai manusia aneh dan gila. Hal ini diabadikan Allah sebagaimana firman-Nya:
ثُمَّ تَوَلَّوْا عَنْهُ وَقَا لُوْا مُعَلَّمٌ مَّجْنُوْنٌ
“Kemudian mereka berpaling darinya dan berkata, “Dia itu orang yang menerima ajaran (dari orang lain) dan orang gila.” (QS. Ad-Dukhan : 14)
Demikianlah perputaran sejarah orang yang melekat dalam dirinya kesombongan. Ketika diingatkan akan penyimpangan dirinya bukannya bersyukur, tetapi justru menuduh dan membunuh karakter orang yang berniat memperbaiki perilakunya.
Mereka yang memperkaya diri dengan melakukan menyalahgunakan kekuasaannya, justru berbalik mencurigai para pengkritiknya.
Demikian pula ketika ada penguasa yang dzalim dan menyimpang dari Undang-Undang atau konstitusi, ketika dikritik justru berbalik menuduh para pengkritiknya sebagai orang yang membahayakan negara dan terpapar radikalisme.
Mereka pun berupaya untuk menangkap dan memenjarakannya. Berbagai kritik yang dilakukan dipandang sebagai ancaman bagi kekuasaannya.
Mentalitas Fir’aun ini terus tumbuh pada orang yang memiliki wewenang atau kekuasaan, di mana ketika dirinya menyimpang dari norma bernegara, tidak ada satu pihak pun yang berani meluruskannya.
Mereka pun semakin dzalik kebijakannya, sehingga tidak ada yang berani mengkritiknya. Ketika rakyat sudah putus asa, maka menunggu pertolongan Allah yang akan menyelesaikannya.
Ketika mentalitas Fir’aun sudah memuncak dan sulit dihilangkan, hanya menunggu bantuan Allah untuk menenggelamkannya. (*)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News