Tiga Mazhab Tentang Anak Nabi Ibrahim yang Dikurbankan
foto: sobersecondlook
UM Surabaya

*) Oleh: Dr. Enyong Etis, M.Fil.I
Dosen Sejarah Islam UINSA

Ritual haji di wilayah Masyaril Haram telah mencapai puncaknya, yakni wukuf di Arafah, Selasa 27 Juni 2023 (9 Dzulhijjah 1444). Maka pada kesempatan yang sama, hari ini umat muslim yang tidak sedang menunaikan ibadah haji disunahkan untuk berpuasa.

Suatu amalan yang oleh Rasulullah Saw. disabdakan dapat menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Dengan demikian, Rabu (28/6/2023), sebagaimana juga telah diumumkan oleh Muhammadiyah, akan menjadi Hari Raya Kurban (Idul Adha).

Dikenal juga sebagai Yawm al-Nahr, hari penyembelihan. Karena dalam tradisi Islam, keluarga muslim yang memiliki kelapangan rezeki, disunahkan untuk berkurban di hari itu.

Ada pun waktu penyembelihan kurban sendiri masih bisa berlangsung hingga tiga hari berikutnya selama al-Ayyam al-Tasyri’.

Sejarah Kurban

Jika merujuk pada Alquran, maka tradisi berkurban sudah bermula sejak zaman hidupnya Nabi Adam. Yakni seperti dikisahkan dalam tragedi terbunuhnya Habil oleh saudaranya sendiri Qabil. Peristiwa ini diabadikan dalam surah al-Maidah ayat 27:

وَٱتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ٱبْنَيْ ءَادَمَ بِٱلْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَاناً فَتُقُبِّلَ مِن أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ ٱلآخَرِ قَالَ لأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ ٱللَّهُ مِنَ ٱلْمُتَّقِينَ

“Bacakanlah (Nabi Muhammad) kepada mereka berita tentang dua putra Adam dengan sebenarnya. Ketika keduanya mempersembahkan kurban, kemudian diterima dari salah satunya (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Dia (Qabil) berkata, “Sungguh, aku pasti akan membunuhmu.” Dia (Habil) berkata, “Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang-orang yang bertakwa.”

Dalam Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, al-Tabari mengemukakan kisah bahwa domba (ghanam/shat) yang dikurbankan oleh Habil tersebut terangkat ke surga. Kelak di kemudian hari, domba inilah yang diturunkan oleh Allah sebagai penebus atau pengganti dari putra Nabi Ibrahim yang hendak dikurbankan.

Peristiwa penting yang selanjutnya dikenal sebagai tonggak sejarah bagi ritual peribadatan yang dilestarikan oleh umat Islam hingga saat ini.

Tetapi benarkah bahwa praktik ibadah kepada Allah Jalla wa ‘Ala melalui ritual kurban atau penyembelihan hewan ternak (bahimat al-an’am) itu baru mentradisi pada masa sesudah Nabi Ibrahim?

Merujuk pada surah al-Hajj ayat 34, maka teranglah bahwa ternyata tradisi berkurban selalu ada dalam tiap umat. Tidak hanya ada dalam tradisi agama-agama Abrahamik.

Dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, al-Qurtubi menyatakan bahwa berdasarkan firman Allah ini, maka dapat dipahami jika tidak ada satupun kaum yang hidup dengan ajaran keimanan kepada-Nya, kecuali bahwa atas mereka ada suatu ritual ibadah berupa penyembelihan hewan kurban.

Dengan mengutip pendapat Mujahid, maka konsep mansakan dalam ayat tersebut diartikannya sebagai al-dzabh atau iraqat al-dam, yakni penyembelihan atau menumpahkan darah kurban.

قوله تعالى: { وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكاً } لما ذكر تعالى الذبائح بيّن أنه لم يُخْل منها أمة، والأمة القوم المجتمعون على مذهب واحد أي ولكل جماعة مؤمنة جعلنا منسكاً. والمنسك الذبح وإراقة الدم قاله مجاهد.

Melalui informasi Alquran tersebut dapatlah diyakini jika tradisi berkurban melalui penyembelihan hewan ternak merupakan perintah Allah yang senantiasa disampaikan oleh para nabi atau rasul yang diutus kepada kaum atau umatnya masing-masing.

Dan ketika tiba masa Rasulullah Muhammad Saw., yang diutus untuk seluruh umat manusia, maka tradisi inipun menjadi ritual yang seharusnya membawa pesan-pesan universal.

Tiga Mazhab

Terkait sejarah kurban (al-udhiyah), terdapat hal menarik yang tampaknya masih belum cukup populer di sebagian kalangan umat Islam. Yaitu siapakah sebenarnya anak Nabi Ibrahim yang hendak dikurbankan untuk merealisasikan perintah Allah yang hadir melalui mimpinya itu?

Mayoritas umat Islam jika diajukan pertanyaan ini, hampir dipastikan menjawab: Ismail. Beliaulah putra Nabi Ibrahim yang ketika hendak disembelih, ditebus dengan domba yang dibawakan oleh malaikat dari surga.

Tetapi benarkah demikian faktanya? Jika kita rujuk pada beberapa kitab tafsir, maka dapatlah diketemukan adanya tiga mazhab yang berpendapat berbeda terkait hal ini.

Sebagai komparasi, penjelasan dari dua kitab tafsir yang sudah sempat dikutip di tulisan ini, yaitu Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an dari al-Tabari dan al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an dari al-Qurtubi, kita hadirkan di sini.

Pertimbangannya, selain termasuk dari kitab babon atau ummahat al-tafasir (rujukan utama tafsir Alquran), kedua mufassir ini ternyata memiliki pendapat yang berbeda mengenai persoalan ini.

Hal tersebut terungkap dalam tafsir mereka terutama terkait ayat 101 dan 102 dari surah al-Saffat:

فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلاَمٍ حَلِيمٍ * فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ إِنِّيۤ أَرَىٰ فِي ٱلْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَٱنظُرْ مَاذَا تَرَىٰ قَالَ يٰأَبَتِ ٱفْعَلْ مَا تُؤمَرُ سَتَجِدُنِيۤ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّابِرِينَ

“Maka, Kami memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat santun. Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu.

Pikirkanlah apa pendapatmu?” Dia (putranya) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.”

Secara umum, beberapa konsep kunci dari ayat tersebut telah melahirkan ragam pendapat. Di antaranya tentang tabsyir (kabar gembira Allah untuk Nabi Ibrahim), ghulam halim (anak yang santun), dan al-sa’ya.

Terkait konsep yang terakhir ini, maka sebagian berpandangan bahwa al-sa’yu dapat (1) dimaknai sebagai kesanggupan berkerja (al-‘amal) ketika seseorang telah menginjak usia remaja. Ini merupakan pendapat Ibnu Abbas dan Mujahid;

(2) diartikan sebagai kewajiban ibadah (al-‘ibadah) ketika seseorang telah memasuki usia baligh. Ini pendapat dari Ibnu Zayd.

Ibnu Abbas disebutkan juga memaknai konsep ini sebagai masa pubertas (al-ihtilam). Masa seseorang memiliki kewajiban ibadah seperti puasa dan shalat. Al-Farra’ mengatakan jika usia anak tersebut ketika itu sekitar 13 tahun;

(3) ditafsiri sebagai perjalanan (masyi) yang tengah ditempuh. Pendapat ini dikemukakan oleh Qatadah;

(4) dipahami sebagai mampu berfikir (al-‘aql). Al-Hasan dan Muqatil mengambil takwil ini. Adapun dua konsep sebelumnya, menjadi fokus yang akan mengantarkan kita pada tiga mazhab yang muncul ketika berusaha menjawabi pertanyaan: siapa sebenarnya putra Nabi Ibrahim yang akan dikorbankan itu?

Mazhab pertama berpendapat bahwa putra Nabi Ibrahim yang hendak disembelih itu adalah Ishaq. Penafsiran ini dijumpai di kalangan sahabat nabi, antara lain al-‘Abbas bin ‘Abd al-Muttalib dan putranya ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin Mas’ud, ‘Ali bin Abi Talib, ‘Umar bin al-Khattab, ‘Abdullah bin ‘Umar, dan Jabir.

Sedangkan di kalangan tabi’in dan selainnya diikuti oleh ‘Alqamah, al-Sya’bi, Mujahid, Sa’id bin Jubayr, Ka’b al-Ahbar, Qatadah, Masruq, ‘Ikrimah, al-Qasim bin Abi Bazzah, ‘Ata`, Muqatil, ‘Abdurrahman bin Sabit, al-Zuhri, al-Suddi, ‘Abdullah bin Abi al-Hudzayl, dan Malik bin Anas.

Pendapat ini pula yang kemudian disetujui dan diambil oleh al-Nuhas dan al-Tabari. Qatadah berkata bahwa hanya Ishaq dan Ibrahim-lah yang mendapatkan pujian Allah dengan sifat al-hilm: لـم يُثْنَ بـالـحلـم علـى أحد غير إسحاق وإبراهيـم.

Jadi, ketika dahulu malaikat berkabar gembira bahwa Nabi Ibrahim akan memiliki keturunan bernama Ishaq dari istrinya Sarah, maka beliau sempat bernadzar akan menjadikannya persembahan kurban (dzabihan) untuk Allah.

Peristiwa ini dipercaya terjadi usai Nabi Ibrahim hijrah dari negeri asalnya menuju Syam bersama Sarah dan keponakannya Luth. Jadi sebelum beliau menikahi Hajar atau memiliki anak Ismail.

Maka tatkala tiba masanya, datanglah perintah Allah melalui mimpi agar beliau menunaikan janjinya. Sa’id bin Jubayr mengatakan bahwa setelah perintah itu tiba, Nabi Ibrahim melakukan safar sejauh sebulan perjalanan bersama putranya (dari Syam) untuk mendatangi tempat pengorbanan yang ditunjukkan oleh Allah, yaitu di area Mina.

Di tengah perjalanan (al-masyu) itulah sang ayah menyampaikan kepada putranya, yaitu Ishaq, bahwa dialah yang akan dikurbankan. Dan ternyata sang anak memiliki keteguhan untuk bisa menerima dan memenuhi perintah Allah itu.

Seraya ia bermohon semoga dijadikan termasuk kedalam golongan orang-orang yang sabar. Oleh penyokong pendapat pertama ini, kabar gembira (tabsyir) yang ada di ayat 112 surah al-Saffat, di mana nama Ishaq disebutkan, merupakan peneguhan dari ayat 101 yang telah disebutkan sebelumnya.

Mazhab kedua berpandangan, Ismail adalah putra Nabi Ibrahim yang hendak dikurbankan. Penafsiran ini dijumpai pula di kalangan para sahabat, di antaranya Abu Hurayrah dan Abu al-Tufayl ‘Amir bin Watsilah.

Sementara di kalangan tabi’in ada Sa’id bin al-Musayyab, Yusuf bin Mihran, al-Rabi’ bin Anas, Muhammad bin Ka’b al-Kurdi, dan al-Kalbi. Disebutkan jika pendapat ini juga ada periwayatannya dari Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas, serta di kalangan tabi’in ada al-Sya’bi, Mujahid, dan ‘Alqamah. Al-Asma’i pernah menanyakan persoalan ini kepada Abu ‘Amr bin al-‘Ala`, maka dijawab:

يا أصمعي أين عَزَب عنك عقلك! ومتى كان إسحاق بمكة؟ وإنما كان إسماعيل بمكة، وهو الذي بنى البيت مع أبيه والمنحر بمكة

Hai dengar Asma’i, di mana hilangnya akal fikiranmu itu! Bilamana Ishaq itu bisa berada di Mekkah? Sebaliknya, Ismail itulah yang ada di Mekkah. Dan dialah yang membangun Ka’bah (al-bayt) bersama ayahnya (Nabi Ibrahim). Dan tempat penyembelihan (al-minhar) itu pun adanya di Mekkah.

Penyokong pendapat kedua ini berargumen bahwa penyifatan sang anak dengan kesabaran (min al-sabirin) serta memenuhi janjinya (sadiq al-wa’d) untuk mematuhi dan menerima perintah disembelih tidak lain adalah merujuk kepada sosok Ismail, bukan Ishaq.

Ini dikuatkan firman Allah ayat 85 surah al-Anbiya’ dan ayat 54 surah Maryam. Sementara jika dikatakan itu adalah Ishaq, bagaimana mungkin ada perintah untuk menyembelihnya, sedangkan Allah telah menjanjikannya akan dijadikan seorang nabi.

وَبَشَّرْنَاهُ بِإِسْحَاقَ نَبِيّاً مِّنَ ٱلصَّالِحِينَ

“Kami telah memberinya kabar gembira tentang (akan dilahirkannya) Ishaq, seorang nabi yang termasuk orang-orang saleh.”

Bahkan di ayat 71 surah Hud, dari Ishaq juga dijanjikan akan lahirnya Ya’kub.

فَبَشَّرْنَاهَا بِإِسْحَاقَ وَمِن وَرَآءِ إِسْحَاقَ يَعْقُوبَ

Kemudian, Kami sampaikan kepadanya kabar gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan setelah Ishaq (akan lahir) Ya‘qub (putra Ishaq).

Dengan pendapat ini, maka kabar gembira (tabsyir) yang ada di ayat 112 surah al-Saffat, di mana nama Ishaq disebutkan, merupakan kabar gembira kedua yang diterima oleh Nabi Ibrahim, berbeda dari kabar gembira yang ada di ayat 101.

Argumentasi lainnya yang dikemukakan kelompok kedua ini adalah keberadaan tanduk domba (qarn al-kabsy), yakni dari hewan tebusan yang disembelih oleh Nabi Ibrahim sebagai ganti anaknya, yang digantungkan di dalam Ka’bah (sebelum bangunan suci ini mengalami kebakaran yang memusnahkan relik tersebut ketika terjadi konflik antara Yazid bin Muawiyah dan ‘Abdullah bin al-Zubayr di tahun 683).

Ini berarti bahwa anak tersebut adalah Ismail. Sebab jika itu Ishaq, tentunya peristiwa penyembelihan terjadi di Baitul Maqdis. Alasan ini tentu berbeda dari pandangan kelompok pertama seperti yang telah diungkap ceritanya oleh Sa’id bin Jubayr di atas.

Mazhab ketiga memilih sikap untuk tidak mengafirmasi salah satu di antara dua pendapat sebelumnya. Di antaranya adalah al-Zujaj yang mengatakan: اللّه أعلم أيهما الذبيح.

Sederhananya, cukuplah Allah saja yang mengetahui dengan pasti, mana di antara kedua putra Nabi Ibrahim itu yang sebenarnya hendak dikurbankan, Ismail ataukah Ishaq. Wallahu a’lam.

Sementara di kalangan ahlul kitab, baik Yahudi maupun Nasrani, mereka bersepakat dalam pendapat bahwa yang hendak dikurbankan oleh Nabi Ibrahim adalah Ishaq, bukan Ismail.

Perbedaannya, lokasi penyembelihannya tidak di area yang sekarang dikenal sebagai Jabal Qurban di area Mina, yang termasuk wilayah Masyaril Haram, tetapi di Baitul Maqdis, istilah mereka Mount Temple.

Pendapat lain, menurut kaum Samaritan, tempatnya di Mount Gerizim atau Jabal al-Thur, yang juga masih masuk wilayah Palestina saat ini yang diduduki oleh Israel. Pendapat ini terutama disandarkan pada kitab suci mereka, di Kitab Kejadian 22: 2.

Firman-Nya: ”Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu.”

Bagi penyokong mazhab kedua di kalangan umat Islam, frasa ‘anakmu yang tunggal itu’, atau yang dalam versi Inggrisnya, your only son, dan versi Arabnya, ابْنَكَ وَحِيدَكَ, tentu memantik tanda tanya.

Jika dia disebut sebagai anak lelaki tunggalnya, bukankah itu adalah Ismail ketika Ishaq belum dilahirkan? Jika itu Ishaq, berarti Ismail tidak dianggap sebagai anak lelaki Nabi Ibrahim?

Sementara diketahui bahwa Ismail lahir ketika Nabi Ibrahim berusia 86 tahun, dan Ishaq baru lahir sekitar 14 tahun kemudian saat ayahnya berusia 100 tahun. Nalar dan pendapat mazhab kedua inilah yang dikuatkan atau ditarjih oleh Muhammadiyah.

Dan sesuai akhlak dalam Islam, maka pengambilan suatu pendapat (ijtihad) sebagai opsi yang dipandang lebih kuat tidak lantas menafikan penghormatan kepada mereka yang lebih memilih pendapat berbeda sebagai opsi yang dipandang lebih tepat.

Selamat berhari raya dengan penuh kegembiraan: taqabbalallahu minna wa minkum. (*)

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini