حدثنا يحيى بن أيوب وقتيبة وابن حجر. قالوا: حدثنا إسماعيل (وهو ابن جعفر) عن العلاء، عن أبيه، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ،
عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ “مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا. وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ ِللهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ”.
“Hadis riwayat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dari Rasulullah shallallahu alaihi wassalam, beliau bersabda: Sedekah tidak mengurangi harta dan karena suka memberi maaf, Allah akan menambah kemuliaan seseorang dan seorang yang merendahkan diri kepada Allah akan ditinggikan derajatnya oleh Allah. (HR Muslim : 2588)
Maaf adalah kata yang mudah diucapkan, namun susah untuk dilakukan. Berbagai alasan sukar meminta maaf atau memberi maaf.
Akan lebih sulit bila orang yang dimintai maaf lebih muda, lebih miskin, atau status jabatannya lebih rendah.
Surat Al-Baqarah ayat 67-74 menggambarkan kondisi penyakit tersebut ketika mengisahkan tentang Bani Israil.
Mereka dilukiskan sebagai orang-orang yang sulit menerima kebenaran meski pun bukti nyata telah hadir di depan mata.
Hati mereka mengeras seperti batu, bahkan bisa lebih keras lagi. Penyakit ini susah disembuhkan karena yang mesti dihadapi penderitanya adalah dirinya sendiri.
Egoisme, gengsi, merasa terhormat, merasa baik, atau paling istimewa, biasanya menjadi biang keladi mengapa hati seseorang membatu sehingga sukar dimasuki nasihat kebenaran dan kebaikan yang datang dari luar dirinya.
Bisanya menyalahkan situasi, menyalahkan keadaan, dan menyalahkan pihak lain, nah ini memang yang paling gampang, sehingga lupa koreksi dan instrospeksi.
Bila demikian halnya yang dilakukan, maka masalah demi masalah akan datang silih berganti, karena manajemen yang dipakai memecahkan masalah melalui masalah. (*)