Kurban dan Pengentasan Kemiskinan
foto: diskominfo surabaya
UM Surabaya

Tiap tanggal 10 Dzulhijjah umat Islam merayakan Hari Raya Idul Adha atau juga sering disebut sebagai Hari Raya kurban.

Hari Raya Kurban ditandai dengan penyembelihan hewan baik berupa kambing, domba, sapi, kerbau, atu pun unta.

Begitu pun juga, Hari Raya kurban bersamaan dengan pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci Makkah Al Mukarromah, sehingga juga disebut sebagai Hari Raya Haji.

Tentu, baik menyembelih kurban maupun ibadah haji wajib bagi setiap muslim yang memenuhi kriteria mampu baik secara syariat, ekonomi, dan faktor pendukung lainnya.

Pada sisi lain, angka kemiskinan dan kesenjangan di Indonesia masih sangat tinggi, mencapai 9,5 persen warga bangsa. Begitu pun survei status gizi nasional menunjukkan angka stunting atau anak kurang gizi mencapai 21,6 persen.

Ironi memang, ajaran Islam yang penuh rahmatan lil alamin belum mampu diwujudkan secara maksimal oleh umat Islam sendiri yang menjadi mayoritas penduduk negeri ini.

Tentu ada yang perlu kita perbaiki dalam memahami, mengartikulasikan maupun mengimplementasikan ajaran luhur Islam, agar apa yang pernah dikonstatir oleh ulama kesohor Muhammad Abduh “al Islamu mahjubun bil muslimin” cahaya Islam tertutup oleh umat Islam itu sendiri, tidak terjadi pada umat Islam Indonesia.

Oleh karena itu, pertanyaan yang mengemuka adalah bagaimana agar ritual kurban dan haji bukan saja berdimensi spiritual semata, tetapi secara konkret mampu mengatasi persoalan sosial seperti kemiskinan dan stunting seperti di atas.

Karena sejatinya, kedua momentum religius ini, apabila dikelola secara sistemik, sinergis, dan kolaboratif akan mampu menjadi alternatif jawaban atas problematika kemiskinan dan stunting tersebut.

Betapa tidak, ada beberapa alasan yang bisa dikemukakan sebagai berikut:

Pertama, kurban dan haji adalah cerminan kesalehan sosial seseorang. Dengan kesalehan sosial maka spirit tolong menolong akan mampu menjadi fondasi dan modal sosial yang ampuh untuk memangkas kemiskinan dan mempersempit jarak kesenjangan.

Kedua, nilai ekonomi kurban dan haji merupakan modal utama yang mampu mendinamisasi gerakan ekonomi kerakyatan secara masif.

Ambil saja contoh, untuk kebutuhan hewan kurban tahun 2023 ini sebagaimana disampaikan Menteri Pertanian Republik Indonesia diproyeksikan mencapai 1.743.501 ekor (Antara: 26 Juni 2023) dari berbagai jenis hewan.

Ini baru dari sisi hewan saja, belum lagi sektor pakan, konsumsi, bumbu-bumbu dapur untuk memasak, perlengkapan kurban, transportasi, tenaga anak kandang, dan lain-lain.

Ditambah kebutuhan untuk haji dan hewan dam haji yang dilaksanakan bersamaan dengan hari raya kurban tentu nilai ekonomi kurban dan haji akan mencapai puluhan triliun bahkan ratusan triliun.

Sehingga akan mampu menggerakkan roda ekonomi kerakyatan sekaligus membangun ekosistem ekonomi kurban dan haji secara komprehensif.

Ketiga, membuka kesempatan lapangan kerja. Banyaknya unit usaha turunan baik di sektor kurban dan haji akan membuka kesempatan lapangan kerja yang tidak sedikit.

Terutama di sektor pertanian, peternakan, dan usaha kecil dan mikro sehingga mampu mengurangi angka pengangguran dan sempitnya lapangan pekerjaan.

Keempat, membangun etos sosio, religio entrepreneurship. Peristiwa kurban dan haji akan menciptakan entrepreneur yang berbasis sosial dan religius, atau dengan kata lain akan mampu menumbuhkan socio religious entrepreneurship. (*)

*) M. Nurul Yamin, Ketua MPM PP Muhammadiyah

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini