Ketika Rezeki Profetik untuk Pemberhalaan
foto: getty images

Alquran merekam adanya penyalahgunaan rezeki yang didapatkan manusia, sebagiannya salah sasaran. Bukannya bersyukur, rezeki itu justru dimanfaatkan secara salah sehingga melahirkan perilaku menyimpang.

Rezeki profetik yang diberikan Allah tidak dimanfaatkan untuk mendatangkan keridaan, tetapi justru menimbulkan kemurkaan kepada Sang Pemberi Rezeki.
Kenikmatan berupa kekayaan, tidak disisihkan sebagiannya mengagungkan Allah, tetapi justru melakukan pelanggaran syariat dengan merendahkan Allah.

Betapa tidak, ketika mendapatkan rezeki, sebagiannya diberikan kepada berhala yang tidak memberi manfaat sedikit pun kepada dirinya.

Alih-alih menyembah dan mengagungkan Allah ketika mendapatkan rezeki, mereka justru melakukan pelanggaran besar.

Hal ini bukan yanya membuat hilangnya akal sehat, tetapi membuat manusia melecehkan Allah sebagai pemberi rezeki.

Rezeki dan Pemberhalaan

Kenikmatan yang diberikan Allah kepada manusia diharapkan memperagung kedudukannya, tetapi justru menghancurkan reputasinya.

Rezeki yang diterima tidak dimanfaatkan untuk memperkuat keberlangsungan hidupnya, tetapi justru dipergunakan dan berujung mengubur hidup-hidup masa depannya.

Allah telah memberi kenikmatan besar kepada manusia dengan melimpahkan kekayaan.

Dengan harta kekayaan itu, manusia diharapkan bersyukur untuk melakukan perbuatan agung, namun manusia justru menyisihkan sebagian hartanya untuk mengagungkan berhala.

Dalam pandangan syariat, perilaku ini jelas merendahkan Allah. Narasi ini diabadikan Alquran sebagaimana firman-Nya:

وَيَجْعَلُوْنَ لِمَا لَا يَعْلَمُوْنَ نَصِيْبًا مِّمَّا رَزَقْنٰهُمْ ۗ تَا للّٰهِ لَـتُسْـئَلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ تَفْتَرُوْنَ

“Dan mereka menyediakan sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepada mereka, untuk berhala-berhala yang mereka tidak mengetahui (kekuasaannya). Demi Allah, kamu pasti akan ditanyai tentang apa yang telah kamu ada-adakan.” (QS. An-Nahl : 56)

Alquran membeberkan kemurkaan Allah ketika manusia justru mengagungkan dan berterima kasih kepada berhala setelah diberikan kekayaan.

Bentuk kemurkaan Allah itu dengan mempertanyakan segala perbuatannya yang tidak mengindahkan perintah Allah, khususnya ketika menyisihkan sebagian hartanya untuk mengagungkan berhala.

Manusia yang menyisihkan sebagian hartanya untuk mengagungkan berhala dengan hidup bersenang-senang. Mereka tidak tahu apa dampak perbuatannya ketika melakukan kemaksiatan.

Karena bersenang-senang cenderung untuk menutup mata atas risiko buruk yang akan menimpanya.

Alquran memotret perilaku mereka yang lupa diri dalam euforia sehingga tidak menyadari dampak buruknya.

Hal ini diabadikan Allah sebagaimana firman-Nya:

لِيَكْفُرُوْا بِمَاۤ اٰتَيْنٰهُمْ ۗ فَتَمَتَّعُوْا ۗ فَسَوْفَ تَعْلَمُوْنَ

“Biarlah mereka mengingkari nikmat yang telah Kami berikan kepada mereka; bersenang-senanglah kamu. Kelak kamu akan mengetahui (akibatnya).” (QS. An-Nahl : 55)

Kasih Sayang Allah

Di tengah penyimpangan perilaku manusia atas rezeki yang diterimanya, Allah masih memberi tempo kepada manusia.

Bisa jadi terbuka hatinya, sehingga mengadakan pertobatan kepada Allah. Atas kejahatan manusia, Allah tidak serta menghukum atau mengazab atas perbuatan atau perilaku yang menyimpang.

Betapa tidak, rezeki yang diperoleh atas karunia Allah, bukan berbuat baik dengan mengagungkan Allah, tetapi justru merendahkan-Nya dengan mengagungkan berhala.

Demikian pula, kemaksiatan yang dilakukan manusia atas berbagai kenikmatan yang diperolehnya justru dibuat untuk bermaksiat.

Fisik yang prima, anak yang pintar, keluarga yang kompak menopang kariernya, serta kedudukan yang bagus, pendukungnya yang solid dan loyal, bukan menegakkan keadilan.

Dengan kata lain, segala potensi kebaikan yang dimiliki, tidak menopang dirinya untuk bersyukur dengan melakukan amalan yang baik dan berbuat adil di tengah keluarga dan masyarakatnya

Mereka justru melakukan berbagai kejahatan dengan kualitas dan kuantitas yang menggelisahkan masyarakat.

Mereka justru semakin menumpuk harta, berbuat curang dan culas, serta menghalalkan segala cara untuk mempertahankan posisi dan kedudukannya.

Adanya kenyataan ini, Allah tidak langsung menghukumnya dengan siksa secara spontan.

Tetapi Allah memberi waktu, dengan harapan manusia menyadari atas kesalahannya, dan mau kembali ke jalan yang benar.

Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya:

وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللّٰهُ النَّا سَ بِظُلْمِهِمْ مَّا تَرَكَ عَلَيْهَا مِنْ دَآ بَّةٍ وَّلٰـكِنْ يُّؤَخِّرُهُمْ اِلٰۤى اَجَلٍ مُّسَمًّى ۚ فَاِ ذَا جَآءَ اَجَلُهُمْ لَا يَسْتَـأْخِرُوْنَ سَا عَةً وَّلَا يَسْتَقْدِمُوْنَ

“Dan kalau Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan ada yang ditinggalkan-Nya (di bumi) dari makhluk yang melata sekali pun, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai waktu yang sudah ditentukan.

Maka apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun.” (QS. An-Nahl : 61)

Melihat kemaksiatan para pelaku seks sesama jenis yang sangat terbuka dan massif. Mereka berjuang dengan gigih dan berupaya memperjuangkan kebebasan seks, namun Allah masih menahan amarah-Nya.

Atas kejahatan seksual itu, Allah tidak serta merta menjungkirbalikkan bumi yanag diinjak para pelaku maksiat itu. Allah masih menunggu kesadaran manusia untuk menyadari atas kesalahannya.

Penangguhan waktu yang diberikan Allah sering kali dipandang sebagai pembenaran atas perilaku mereka yang menyimpang.

Mereka justru semakin menjadi-jadi dalam kemaksiatannya. Bahkan mereka berani menantang untuk didatangkan azab, kalau perbuatan mereka dianggap menyimpang.

Atas kesombongan itu, Allah masih menahan amarahnya. Kasih sayang-Nya masih dominan sehingga musibah masih tertahan.

Ketika perbuatan maksiat itu sudah tak bisa dihentikan dan tidak juga segera muncul kesadaran kolektif untuk menyadari jalan sesat itu, maka Allah akan mengambil keputusan terbaik atas hamba-hamba-Nya.

Namun ketika peringatan sudah diberikan, musibah kecil sudah ditunjukkan, namun kemaksiatan it uterus berlangsung, maka musibah besar akan ditimpakan kepada mereka.

Binasanya kaum Nabi Nuh yang tertimpa banjir, kaum Nabi Luth yang ditenggelamkan ke bumi, merupakan jalan terakhir untuk menghentikan kemaksiatan yang tersebar luas.

Mereka merupakan contoh masyarakat yang diberikan rezeki dan kenikmatan profetik, namun justru mengagungkan berhala, hingga mendorong mereka untuk merendahkan Allah dengan terjerumus pada kemaksiatan yang tidak mungkin bisa dihentikan, kecuali dengan kematian.

Allah pun mengirimkan musibah besar yang tak terelakkan ketika berbagai peringatan tak dihiraukan. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini