Soal Pertentangan Ayat dalam Alquran, Ini Penjelasan Ulama Tarjih
foto: shutterstock

Keberadaan beberapa teks dalam agama tidaklah mengandung kontradiksi. Pertentangan yang muncul hanyalah masalah yang bersifat lahiriah belaka.

Hal ini memberikan ruang dan peluang bagi peneliti hukum untuk mengungkap rahasia di balik beberapa teks agama tersebut.

Tidak ada pertentangan dalam syariat kecuali hanya dalam hal penampakan saja. Jika memang terdapat permasalahan atau ketidaksesuaian antara dalil-dalil, para ahli hukum Islam telah mengambil langkah antisipatif dalam menyelesaikannya.

Pertentangan tersebut tidak hanya terkait dengan dalil-dalil zanni (bersifat dugaan) dan qath’i (pasti), tetapi juga melibatkan beberapa teks agama yang memerlukan pendekatan kombinasi, kompromi, dan bahkan komparasi.

Dalam konteks ini, ta’arudh al-adillah yang berarti pertentangan dalil, terjadi ketika satu dalil menghasilkan ketentuan hukum yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan ketentuan hukum yang dihasilkan oleh dalil lainnya.

Secara etimologi, ta’arudh berarti ketidakpaduan atau ketidakcocokan antara dua hal. Artinya, salah satu dari dua dalil tersebut menghendaki hukum yang berbeda dengan hukum yang dihendaki oleh dalil yang lain. Namun, terdapat syarat-syarat tertentu untuk terjadinya ta’arudh al-adillah.

Pertama, kedua dalil yang bertentangan harus memiliki tingkat kekuatan hujah yang sama, seperti dua dalil yang bertentangan dari Alquran, Alquran dengan hadis mutawatir (diriwayatkan oleh banyak orang sehingga dapat dipastikan keasliannya), dua hadis mutawatir, atau dua hadis ahad (diriwayatkan oleh beberapa orang).

Kedua, kedua dalil tersebut harus berada pada posisi dan kedudukan yang sama, sehingga beroposisi satu sama lain.

Ketiga, kedua dalil tersebut harus memiliki kesamaan dalam dalalah (pengandaian atau indikasi hukum yang dikandung).

Contoh dua ayat Alquran yang secara lahiriah tampak bertentangan:

QS. Al-Baqarah Ayat 234: “Dan orang-orang yang mati di antara kamu serta meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari.

Kemudian apabila telah sampai (akhir) idah mereka, maka tidak ada dosa bagimu mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka menurut cara yang patut. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

QS. At-Talaq Ayat 4: “Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka idahnya adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.

Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya.”

Dengan pengungkapan pandangan ini, saya berupaya memperjelas bahwa pertentangan dalam hukum Islam dapat diatasi melalui pendekatan yang cermat dan pemahaman yang mendalam terhadap teks-teks agama.

Para ahli hukum Islam dapat memadukan, memahami, dan menggali rahasia di balik beberapa teks agama, sehingga mampu menyelesaikan permasalahan yang timbul akibat ta’arudh al-adillah. (*/tim)

(Disampaikan Kheruddin Hamsin, pakar hukum Islam Muhammadiyah, dalam Pengajian Tarjih 12 Juli 2023)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini