Berhijrah Membentuk Pribadi Filantropi
foto: hphsolutions.com.au
UM Surabaya

Hijrah secara teologi memiliki makna, sebagaimana sabda Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam:

والمهاجر من هجر ما نهى الله عنه

“Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang Allah larang. (HR. Bukhari).

Dalam konteks kekinian, bahwa hijrah itu adalah upaya ikhtiar seseorang untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Qs. Ar Ra’du ayat 11:

إِنَّ اللهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”

Dari kedua dalil tersebut, dapat disimpulkan bahwa Allah Ta’ala menginginkan agar hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk melakukan hijrah perubahan dari kebodohan, ketidakadilan menuju ilmu pengetahuan dan kesejahteraan yang lebih layak.

Maka, syariat Islam memerintahkan kepada setiap orang yang beriman untuk bekerja keras dan bersungguh sungguh untuk menjaga kehormatan diri dan keluarganya dari praktik meminta-meminta kepada orang lain dalam memenuhi hajat kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Sebagaimana sabda Nabi shlallaahu ‘alaihi wasallam:

عَنْ أَبِي عُبَيْدٍ، مَوْلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا، فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ»

“Dari Abu Ubaid, Maulanya Abdurrahman bin Auf. Ia mendengar Abu Hurairah berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Sungguh, pikulan seikat kayu bakar di atas punggung salah seorang kamu (lantas dijual) lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang lain, entah itu diberi atau tidak diberi.” (HR Bukhari )

Bahkan sebaliknya, Islam mengajarkan kepada setiap orang mukmin untuk gemar memberi dan berbagi nikmat kebaikan kepada kaum duafa (masyarakat pra sejahtera) sebagaimana sabda Nabi saw:

عَنْ حَكِيْمِ بْنِ حِزَامٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُوْلُ، وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ

“Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu. Dan sebaik-sebaik sedekah adalah yang dikeluarkan dari orang yang tidak membutuhkannya.

Barang siapa menjaga kehormatan dirinya maka Allâh akan menjaganya dan barangsiapa yang merasa cukup maka Allâh akan memberikan kecukupan kepadanya.” ( HR. Muslim )

Dari hadis di atas secara jelas bahwa Nabi saw telah menerangkan sifat kepribadian yang melekat pada diri seorang filantropis.

Nabi saw memiliki rasa simpati sosial yang tinggi yang dibuktikan dengan sikap kedermawanannya terhadap keluarga dekatnya serta orang-orang fakir dan miskin yang tinggal di lingkungan tempat tinggalnya.

Wallahu ‘Alam Bishawab. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini