إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ ، مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Dari Al Mughirah, ia mendengar Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selainku.
Barang siapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 4).
Dalam hadis lain yang sahih, Nabi saw bersabda:
فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ بنيَ لَهُ بَيْتٌ فِي جَهَنَّمَ
“Barang siapa berdusta atas namaku, maka akan dibangunkan baginya rumah di (neraka) Jahannam.” (HR. Thobroni dalam Mu’jam Al Kabir)
Dari ‘Ali, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ رَوَى عَنِّى حَدِيثًا وَهُوَ يَرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبَيْنِ
“Siapa yang meriwayatkan dariku suatu hadis yang ia menduga bahwa itu dusta, maka dia adalah salah seorang dari dua pendusta (karena meriwayatkannya).” (Ibnu Majah 39).
Setelah membawakan hadis-hadis di atas, Imam Adz Dzahabi berkata, “Dengan ini menjadi jelas dan teranglah bahwa meriwayatkan hadis maudhu’ -dari perawi pendusta- (hadits palsu) tidaklah dibolehkan dan termasuk dosa besar.” (Lihat kitab Al Kabair karya Imam Adz Dzahabi, terbitan Maktabah Darul Bayan, cetakan kelima, tahun 1418 H, hal. 28-29).
Berdusta atas nama Nabi saw sama dengan berdusta dalam syariat dan dampaknya menimpa seluruh umat. Oleh karena itu, dosanya lebih besar dan hukumannya lebih berat.
Berdusta atas nama Nabi saw merupakan bentuk berdusta atas nama Allâh SWT. Karena perkara yang diperintahkan oleh Rasûlullâh saw juga diperintahkan oleh Allâh, wajib untuk diikuti sebagaimana wajibnya mengikuti perintah Allâh.
Dan perkara yang diberitakan oleh Rasûlullâh saw wajib diyakini seperti wajibnya meyakini perkara yang diberitakan oleh Allâh.
Barang siapa mendustakan berita dari Nabi saw atau tidak mau meyakini perintah Nabi, maka dia seperti orang yang mendustakan berita dari Allâh atau tidak mau meyakini perintah Allâh.
Dan telah diketahui bahwa barang siapa berdusta atas nama Allâh Azza wa Jalla , dengan mengatakan bahwa dirinya utusan Allâh, atau Nabi-Nya, atau dia memberitakan suatu berita dari Allâh padahal dia bohong sebagaimana Musailamah, al-‘Ansi, dan para nabi palsu lainnya.
Demikian juga orang yang sengaja berdusta atas nama Rasûlullâh, karena kedudukan berdusta atas Allâh sama dengan mendustakan-Nya.
Oleh karenanya, Allâh menggabungkan keduanya dengan firman-Nya:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ كَذَّبَ بِالْحَقِّ لَمَّا جَاءَهُ
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allâh atau mendustakan al-haq (kebenaran) tatkala al-haq itu datang kepadanya? [Al-‘Ankabût/29: 68]
Bahkan kemungkinan berdusta atas nama Allâh lebih besar dosanya daripada mendustakan berita-Nya.
Oleh karena itu, Allâh lebih mendahulukannya. Sebagaimana orang yang jujur berbicara tentang Allâh lebih tinggi derajatnya daripada orang yang membenarkan berita-Nya.
Maka jika orang yang berdusta seperti orang yang mendustakan, atau bahkan lebih besar, dan orang yang berdusta Allâh seperti orang yang mendustakan berita-Nya, maka orang yang berdusta atas nama Rasul sama seperti orang yang mendustakannya, karena perbuatan mendustakan sama dusta.
Karena mendustakan beritanya sama dengan menyatakan bahwa dia tidak benar dalam beritanya, dan itu sama saja dengan menganggap agama Allâh itu batil. Tidak ada beda antara mendustakannya dalam satu berita atau dalam dalam seluruh berita.
Dan dia menjadi orang yang ingkar, hal itu memuat pembatalan terhadap risalah dan agama Allâh.
Sedangkan orang yang berdusta atas nama-Nya, dengan sengaja telah memasukkan ke dalam agama Allâh suatu perkara yang bukan dari agama Islam, dan dia menganggap bahwa wajib bagi umat ini membenarkan berita tersebut dan melaksanakannya, karena itu merupakan bagian agama Allâh, padahal dia tahu itu bukan bagian dari agama Allâh.
Menambahkan (sesuatu) ke dalam agama sama hukumnya dengan mengurangi (sesuatu) darinya.
Dan tidak ada bedanya orang yang mendustakan satu ayat Alquran, atau sengaja menambahkan satu kalimat yang dia katakan sebagai surat dari Alquran.
Demikian juga, sesungguhnya sengaja berdusta atas nama Allâh merupakan perbuatan memperolok-olok dan merendahkan Allâh.
Karena dia mengatakan bahwa Allâh memerintahkan perkara-perkara yang tidak pernah diperintahkan oleh Allâh, atau bahkan ada kemungkinan tidak boleh diperintahkan.
Ini berarti menyemat sifat bodoh atau tidak tahu kepada Allâh. Atau dia memberitakan perkara-perkara dusta, ini berarti menisbatkan dusta kepada Allâh, dan ini merupakan kekafiran yang nyata.
Demikian juga seandainya dia mengatakan bahwa Allâh mewajibkan puasa satu bulan selain pada bulan Ramadan, atau mengatakan bahwa salat wajib itu hanya tiga waktu, dan semacamnya,
Jika dia tahu dan sadar dengan perbuatan dustanya, maka dia menjadi pelaku dosa besar yang sangat besar karena telah membuat syariat baru.
Maka, barang siapa mengatakan bahwa Nabi saw mewajibkan sesuatu yang beliau tidak wajibkan, atau Nabi mengharamkan sesuatu yang beliau tidak haramkan, maka dia telah berdusta atas nama Allâh.
Ini sebagaimana dia telah berdusta atas Nabi sejak awalnya, ditambah lagi dia mengatakan dengan terang-terangan bahwa Rasûlullâh mengucapkannya, atau beliau memberikan fatwa dan berkata, padahal dia tidak mengatakannya dengan ijtihad dan istimbath.
Intinya, barang siapa sengaja berdusta secara nyata atas nama Allâh, maka dia seperti orang yang sengaja mendustakan Allâh, atau bahkan keadaannya lebih buruk.
Dan jelas bahwa orang yang berdusta atas nama seseorang yang wajib untuk diagungkan, maka dia itu meremehkannya dan merendahkan kehormatannya.
Demikian juga orang yang berdusta atas nama seseorang, dia pasti memberikan citra buruk kepadanya dan merendahkannya.
Ada pun orang yang meriwayatkan sebuah hadis dan dia mengetahui bahwa itu dusta, maka ini haram (hukumnya) sebagaimana telah sahih bahwa Nabi saw bersabda:
مَنْ حَدَّثَ عَنِّى بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ
“Barang siapa menceritakan sebuah hadis dariku, padahal dia tahu bahwa hadis itu dusta, maka dia adalah salah seorang dari para pendusta. Tetapi dia tidak kafir, kecuali dia memasukkan di dalam riwayatnya sesuatu yang menyebabkan kekafiran.
Karena dia jujur saat mengatakan bahwa gurunya telah menceritakan hadits itu kepadanya, tetapi karena dia mengetahui bahwa gurunya berdusta dalam hadis tersebut maka dia tidak halal meriwayatkannya.
Sehingga kedudukannya seperti bersaksi atas pernyataan atau persaksian atau perjanjian, sedangkan dia mengetahui bahwa hal itu batil. Persaksian tersebut haram hukumnya, tetapi bukan persaksian palsu.”
Bahwa orang yang berdusta atas Nabi saw hukumannya berat, tetapi tidak menjadi kafir, dan dia tidak boleh dibunuh.
Karena penyebab kekafiran dan pembunuhan telah diketahui, sementara ini tidak termasuk di dalamnya. Maka tidak boleh menetapkan sesuatu yang tidak ada dalilnya. (*/tim)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News