Tasyabbuh (Penyerupaan) Tradisi Nonmuslim
Ilustrasi: imperial.ac.uk

Islam memiliki karakteristik tersendiri. Ciri khas yang melekat pada muslim sudah dicontohkan oleh Rasulullah saw. yang selalu berseberangan dengan tradisi jahiliyah dan orang-orang kafir lainnya.

Tasyabbuh dalam pengertian “penyerupaan”, tentu ada yang positif dan ada pula yang negatif. Dalam hal yang positif misalnya, muslim boleh tasyabbuh dengan nonmuslim.

Nabi menggunakan stempel untuk surat-surat yang dikirim kepada masyarakat kafir atas usul Abu Sufyan, tradisi tadmiya’ masyarakat jahiliyah yang kemudian diislamisasi menjadi syariat aqiqah, kultur bersalaman dari masyarakat Hadramaut yang tradisi Arab aslinya adalah mu’anaqah (berpelukan), perbudakan dan persusuan yang biasa dilakukan masyarakat sebelum Islam.

Walaupun pada akhirnya dikikis habis oleh Rasulullah saw. dan sebagainya, namun juga ditemukan larangan keras penyerupaan terhadap tradisi nonmuslim yang akan dipaparkan di artikel ini.

Meniru budaya atau tradisi milik bangsa lain merupakan buah dari adanya interaksi sosial antara dua entitas atau kultur yang berbeda.

Persinggungan budaya semacam ini membuka peluang adanya keterpengaruhan suatu kelompok terhadap tradisi atau kebiasaan kelompok lain. Keterpengaruhan yang kemudian melahirkan peniruan-peniruan tradisi kerap terjadi.

Dalam ranah kajian hadis, konsep seperti ini dinamakan tasyabbuh. Tasyabbuh merupakan hal yang dilarang dalam Islam.

Sebagaimana yang terdapat dalam banyak hadis, bahwa Rasulullah melarang akan praktik tasyabbuh tersebut khususnya terhadap tradisi atau kebiasaan dari kaum Yahudi dan Nasrani.

Dalam memaknai hadis-hadis tentang tasyabbuh tersebut, memang terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama terkait boleh atau tidaknya tasyabbuh khususnya meniru tradisi kaum Yahudi dan Nasrani.

Dalil-Dalil Larangan Tasyabbuh

Ditemukan dalil Alquran dan hadis yang membimbing muslim tidak tasyabbuh dengan kelompok lain. Firman-Nya:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ}

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu), sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain.

Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah: 51).

Catatan: Makna “Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka”, merupakan sinyal tasyabbuh yang dilarang oleh Allah swt.

Hadits Ibnu Umar ra:

وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيْ السَّاعَةِ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللهَ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذُّلُّ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Dinarasikan Ibnu Umar ra, Rasulullah saw. bersabda: Aku di utus antara aku dan hari kiamat dengan pedang, sehingga seseorang beribadah kepada Allah semata yang tiada sekutu baginya, dan dijadikan rezekiku di bawah bayangan tombakku, dijadikan kehinaan dan pembayaran jizyah bagi orang yang menyelisihi perkaraku.

Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia masuk golongan mereka.” (Hr. Ahmad: 5115. Periksa al-Irwa’: 1269)

Hadits Ibnu Umar:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Dinarasikan Ibnu Umar ra., Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia masuk golongan mereka. Hr. Abu Dawud: 4031; Ahmad: 5114.

Hadis Abdullah bin Amr ra:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو رضي الله عنهما قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: لَيْسَ مِنَّا مِنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا، لَا تَشَبَّهوا بِالْيَهُودِ وَلَا بِالنَّصَارَى، فَإِنَّ تَسْلِيمَ الْيَهُودِ الْإِشَارَةُ بِالْأَصَابِعِ، وَإِنَّ تَسْلِيمَ النَّصَارَى الْإِشَارَةُ بِالْأَكُفِّ [والرُّءوسِ] وَلَا تَقُصُّوا النَّوَاصِي وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ، وَأَعْفُوا اللِّحَى، وَلَا تَمْشُوا فِي الْمَسَاجِدِ وَالْأَسْوَاقِ وَعَلَيْكُمُ الْقُمُصُ إِلَّا وتَحْتَها الْأُزُرُ

“Dinarasikan Abdullah bin Amr ra., Rasulullah saw. bersabda: Bukan termasuk kami orang yang berserupa dengan selain kami. Janganlah kalian berserupa dengan Yahudi dan Nasrani.

Sesungguhnya bacaan salam Yahudi dengan isyarat jari-jari, orang Nasrani dengan bersedekap (isyarat kepala), hanya memotong bagian ujung-ujung rambut kepala, cukurlah kumis, peliharalah jenggot, jangan jalan hanya melintasi masjid dan pasar, jangan gunakan gamis kecuali dengan bersarung. (Hr. Tirmidzi: 2680; Nasai (dalam Kubra): 10172; Thabrani (dalam Ausath): 7380; Dailami: 7323).

Analisa

Dari paparan Alquran dan hadis di atas tergambar contoh-contoh tasyabbuh dengan kultur nonmuslim walaupun pada pemahaman sebagian teks hadis ada yang menawarkan secara temporer.

Artinya, misalnya salam dengan isyarat tangan, cukurlah kumis, peliharalah jenggot yang justru dewasa ini nonmuslim marak menjalaninya, sampai-sampai dapat disaksikan mereka mengadakan olimpiade jenggot yang berskala internasional, apalagi para sinterclas berjenggot tebal. Dalam hal ini penulis sudah terangkan panjang lebar di buku saku “jenggot”.

Sungguh ironis, umat lain saja juga melarang tasyabbuh dengan muslim, maka tidak salah jika Rasulullah saw. juga melarang tasyabbuh dengan nonmuslim, apalagi jika bersentuhan dengan masalah teologis.

Umat Islam harus pandai-pandai menjaga ketauhidan dalam berbagai ritual, jangan seperti masyarakat jahiliyah yang selalu menyekutukan Tuhan.

Dalam berdoa misalnya, Islam memutus mata rantai bermediator dengan ruh-ruh yang diyakini suci dengan dekat dengan Tuhan, seperti yang dilakukan masyarakat jahiliyah awal yang bermediator dengan Hubal, Lata, Manat, Yaghuts, Yauq, Uzair, Isa dan para hamba Allah yang diyakini terdekat dengan Allah lainnya.

Sehingga seluruh doa sahih selalu memohon langsung kepada-Nya dengan redaksi Allahumma, Rabbana, Rabbi, atau penyebutkan asma’ dan sifat Allah.

Ada juga mediator dengan penyebutan amal saleh yang pernah dilakukan, seperti cerita Nabi terhadap tiga orang yang masuk goa kemudian terimpit batuan besar sehingga tidak dapat keluar.

Seperti itu pula dalam berinteraksi sosial jika penyerupaan itu dapat berseberangan dengan nilai kodrati, laki-laki yang berkarakter seperti perempuan, baik dalam berpakaian maupun berperilakunya, padahal ini terjadi di internal umat Islam.

Tentunya konsep tasyabbuh dengan orang-orang nonmuslim itu jika seorang muslim melakukan sesuatu yang sudah menjadi kekhususan orang kafir.

Dan tidak termasuk tasyabbuh yang dikutuk jika umat Islam mengikuti tradisi nonmuslim seperti yang pernah dilakukan Rasulullah saw. dalam contoh-contoh di atas.

Apalagi dalam urusan dunia, semestinya seorang muslim mengikuti nonmuslim jika dipandang lebih manfaat.

Jadi jangan dinilai tasyabbuh jika muslim belajar dengan menggunakan bangku, papan tulis, taptop, invocus, zoom, google meet dan sebagainya seperti orang Yahudi.

Karena sumua prasarat proses pembelajaran membutuhkan sarana yang lebih memadai. Contoh lain pergi dengan berkendaraan kapal terbang, kereta api dan sebagainya sebagaimana Yahudi juga berkendaraan seperti itu.

Contoh lain berkomunikasi dengan Hp, WA, media chat dan lainnya, sebagaimana orang-orang Yahudi. Semua itu media interaksi sosial yang sama sekali tidak ada unsur ritual dan kekhasan tradisi suatu kaum.

Semua umat membutuhkan sebagai dampak kemajuan urusan dunia dan tidak berseberangan dengan pokok-pokok ajaran Islam.

Muhammadiyah menyelenggarakan milad, nonmuslim juga menyelenggarakan natal. Sungguh sangat beda proses milad dan natal. Dalam milad tidak ditemukan unsur ritual, namun dalam natal sarat dengan ritual, seperti itu pola pikir yang harus dibangun sehingga tidak menggeneralisasikan dalam konsep larangan tasyabbuh.

Maka seperti milad yang dilakukan warga Muhammadiyah, apakah itu tergolong ritual atau kultur?

Sungguh tidak mungkin dikategorikan ritual, karena tidak ada ikatan ruang dan waktu, mau pagi, mau siang, mau malam silakan, mau tanggal ini atau tanggal itu silakan.

Andaikan dipaksakan masuk kategori ritual, itu pun masih dipilah ritual yang mahdhah atau ghairu mahdhah?

Pada ritual yang ghairu mahdhah masih diperbolehkan adanya inovasi, kreasi, modifikasi dan sebagainya.

Catatan Akhir

Dari paparan di atas dapat dipahami konsep tasyabbuh yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. ada yang dibolehkan dan ada juga yang dilarang.

Maka perlu dipertimbangkan efek tasyabbuh itu. Jika tasyabbuh dengan nonmuslim pada aspek ritual jelas harus dihindari, namun dalam aspek interaksi sosial, supaya dipahami bahwa jika ada nilai kodrati yang berbeda, maka jangan ada tasabuh.

Untuk mengikuti kemajuan ilmu dan teknologi umat Islam justru dituntut untuk mengikuti nonmuslim, sehingga dalam fasilitas perang, Nabi menggunakan baju besi seperti mereka, menggunakan senjata seperti mereka, bahkan semestinya sarana dan prasarana yang lebih memadai.

Dengan demikian, tak ada tasyabbuh laki-laki atau perempuan menaiki motor bebek, tak ada tasyabbuh laki-laki dan perempuan pakai celana, tak ada tasyabbuh laki-laki dan perempuan menaiki mobil jenis apa pun. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini