Soedirman dan Sarbini Kader HW Andalan Soekarno
Para pimpinan TNI, Juni 1947. Barisan depan dari kiri ke kanan: Letjen Oerip Soemohardjo, Jenderal Soedirman, Laksamana Muda Nazir, dan Jenderal Mayor Djoko Eujono. Barisan belakang dari kiri ke kanan: Komodor Suryadharma, Jenderal Mayor Sutomo, dan Jenderal Mayor Ir. Sakirman. (Ipphos)

Kwartir Pusat Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan (HW) Muhammadiyah bakal menggelar Muktamar ke-4 di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), 26-29 Juli 2023.

Salah satu agenda besarnya adalah mengukuhkan Panglima Besar Jenderal Sudirman sebagai Bapak Pandu Hizbul Wathan. Pengukuhan sekaligus testimoni Organisasi sayap Muhammadiyah ini telah melahirkan Jendral penuh pertama.

Kader Hizbul Wathan tidak ingin Jenderal Besar Soedirman hanya dikenal sebagai Ikon Tentara Nasional Indonesia (TNI), melainkan juga salah satu kader terbaik yang lahir dari Padvinder Muhammadiyah.

Perjalanan panjang Jenderal Sudirman sebagai pemimpin gerilyawan perjuangan kemerdekaan tanah air tidak sekadar menjadi legenda bangsa Indonesia, melainkan sosok mengenai yang disegani musuh kala itu.

Oleh sebab itu, pengukuhan Jenderal Soedirman sebagai Bapak Pandu Hizbul Wathan adalah bagian dari merawat sejarah ketokohan sosok seorang Guru sekolah Muhammadiyah di Cilacap itu.

Hampir tidak ada yang meragukan, kedekatan Soedirman sebagai tokoh muda paling moncer didunia Militer adalah sahabat karib Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno.

Kedekatan duo kader yang sama-sama pernah ditempa di Kepanduan Hizbul Wathan bukanlah sekadar isu, terbukti setelah Soedirman wafat akibat Penyakit paru-parinya, Soekarno menempatkan sahabatnya itu sebagi ikon sejarah.

Ketika membangun sebuah jalan baru yang besar dan lebar tahun 1962 untuk akses ke pinggiran kota menuju sebuah stadion baru termegah di dunia saat itu, Soekarno menamakan jalan tersebut Jalan Jenderal Soedirman.

Sebaliknya, Soedirman juga selalu melindungi dan memastikan sahabatnya itu. Bahkan pernah suatu hari terucap semacam kalimat “ancaman” yang pernah dikeluarkannya kepada siapapun jika ada yang mengusik Soekarno.

“Kalau Belanda menyakiti Soekarno, bagi mereka tak ada ampun lagi. Belanda akan mengalami pembunuhan besar-besaran,” Ancam Soedirman di depan Soekarno tanggal 18 Desember 1948, ketika Yogyakarta ibukota negara jatuh ke tangan kekuasaan Belanda dikutip dari dpad.jogjaprov.go.id.

Kepada Soedirman, Soekarno memanggilnya Adinda karena 15 tahun lebih tua dari Soedirman, Sebaliknya firman memanggilnya dengan sapaan akrab Kanda.

Seperti yang tertulis dalam sebuah situs Bisnis.com, sebulan sebelum Soedirman wafat Ia menuliskan sepucuk surat dan kalimat yang tertulis di antaranya berbunyi: “Kanda doakan kepada Tuhan, moga-moga Dinda segera sembuh…”

Saat itu, tanggal 28 Desember 1949 ketika pagi hari Soekarno diantar oleh Let.Kol Soeharto, menuju Lapangan Terbang Maguwo (sekarang Adi Sutjipto).

Soedirman dan Sarbini Kader HW Andalan Soekarno
Sarbini Martodiharjo (29 Mei 1914-21 Agustus 1977), bapak veteran RI. tirto.id/Sabit

Sarbini, Tangan Kanan Soekarno

Sarbini nama lengkapnya adalah Mohammad Sarbini Martodiharjo. Selain pernah menjadi anggota HW sebelum masa penjajahan Jepang, Sarbini Martodiharjo pernah menjadi guru HIS Muhammadiyah dan Wakil Ketua Pemuda Muhammadiyah Banyumas. Demikian tulis M.T. Arifin dalam Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah Dalam Pendidikan (1987).

Pendidikan kepanduan di HW, mengantarkan Sarbini menjadi sosok yang menonjol saat dirinya bergabung dengan tentara sukarela yang dibuat Jepang, PETA (Pembela Tanah Air).

Tak hanya Sarbini, para alumni HW seperti Kasman Singodimedjo, Soeharto, Soedirman, dan Yunus Anis tampil moncer di karier kemiliteran PETA.

Selama beberapa bulan, Sarbini masuk pendidikan PETA di Bogor sebelum akhirnya menjadi komandan kompi (chudancho) di Gombong dari 1943 hingga 1945. Pasca Proklamasi, Sarbini bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR).

Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, Sarbini menjadi komandan batalion sekaligus komandan resimen dalam pertempuran Ambarawa.

Setelah masa revolusi, Sarbini menjabat sebagai Panglima Tentara & Teritorial Brawijaya di Jawa Timur dari 1956 hingga 1959, dan panglima Diponegoro di Jawa Tengah dari 1961 hingga 1964.

Presiden Sukarno lalu mengangkat Sarbini sebagai Menteri Urusan Veteran dan Demobilisasi pada 27 Agustus 1964. Lantaran kedekatannya dengan Sukarno, dia dianggap sebagai Sukarnois dari kalangan Angkatan Darat.

“Sarbini sangat disegani di kalangan Angkatan Darat sebagai bekas Panglima divisi-divisi Brawijaya dan Diponegoro dan punya hubungan dekat dengan Sukarno,” tulis Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia (1986).

Sarbini lalu menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan menggantikan Jenderal Nasution Kabinet Dwikora pada 21 Februari 1966.

Menjabat hanya sebulan karena digantikan oleh Soeharto, Sarbini lalu menjabat sebagai Menteri Demobilisasi dan Pensiunan Tentara dari Maret hingga Juli 1966 dan Menteri Veteran dan Demobilisasi dari Juli 1966 hingga 17 Oktober 1967.

Sarbini juga sempat menjabat sebagai Menteri Transmigrasi, Veteran dan Demobilisasi pada 1967 hingga 1968. Dalam Kabinet Pembangunan I, Sarbini jadi Menteri Transmigrasi dan Koperasi dari 1968 hingga 1971.

Soedirman dan Sarbini Kader HW Andalan Soekarno
Ir Soekarno. foto: istimewa

Balai Sarbini dan Pujian Soekarno

Pada Desember 1964, Sarbini dan pimpinan Legiun Veteran RI mengusulkan pembangunan gedung untuk para veteran dan meminta pembebasan tanah kavling di Semanggi.

Sekarang, kompleks di Semanggi itu terdiri dari tiga bangunan besar, yaitu Plaza Semanggi, Gedung Veteran dan sebuah gedung dengan namanya sendiri, Balai Sarbini.

Di akhir masa hidupnya, Sarbini menjabat sebagai Ketua Kwartir Nasional (Kwarnas) Gerakan Pramuka Indonesia.

Sarbini dijuluki sebagai “bapak veteran Indonesia” karena kariernya di sejumlah organisasi dan kementerian yang mengurusi para veteran.

Presiden Soekarno juga sering kali memuji sosok Sarbini. Dalam Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno, 30 September 1965, Pelengkap Nawaksara (2014), Soekarno memuji prinsip hidup Sarbini dalam mengurusi veteran dan mengingat jasa para pahlawan kemerdekaan yang gugur.

“Ya, saudara-saudara, sayalah memang, sebagai dikatakan oleh Mayor Jenderal Sarbini itu tadi, berulang-ulang berkata, hanya bangsa yang tahu menghargai pahlawan-pahlawannya dapat menjadi bangsa yang besar. Menghargai, menghormati. Hanya bangsa yang tahu menghargai dan menghormati pahlawan-pahlawannya dapat menjadi bangsa yang besar,” kata Soekarno. (*)

Catatan: Diolah dari berbagai sumber

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini