Pemahaman Salafus Shalih, Apakah Mengikat dan Layak Diikuti?
Ilustrasi: bincangsyariah
UM Surabaya

Pemahaman salafus shalih telah menjadi fokus perdebatan penting di kalangan para ulama. Istilah ini biasanya merujuk pada generasi awal Islam seperti para sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in.

Generasi ini memiliki kedudukan istimewa karena kedekatan mereka dengan zaman Nabi Muhammad saw yang memberi mereka pemahaman agama dalam konteks yang unik.

Namun pertanyaannya, apakah pemahaman mereka secara otomatis mengikat generasi berikutnya?

Para ulama membagi pandangan mengenai relevansi pemahaman salafus shalih dalam panduan agama.

Sebagian berpendapat bahwa pemahaman mereka adalah hujjah syar’iyah (dalil agama) yang sah dan harus diambil sebagai acuan ketika tidak ada dalil yang jelas dari Alquran, hadis, dan ijma’ (konsensus ulama).

Ketika pemahaman para sahabat berbeda, ulama ini mengusulkan memilih salah satu pendapat, dengan argumen bahwa peluang kebenaran dalam pemahaman mereka jauh lebih besar daripada kemungkinan kesalahan.

Argumen ini didasarkan pada fakta bahwa para sahabat adalah saksi langsung turunnya Alquran, memahami hikmah dan konteks hukum yang melandasi ayat-ayat, serta menghabiskan waktu panjang bersama Nabi saw dalam berbagai situasi.

Oleh karena itu, pemahaman mereka memiliki bobot lebih tinggi daripada generasi berikutnya.

Namun, ada pandangan lain di kalangan ulama yang menganggap bahwa pemahaman dan pendapat para sahabat tidak secara otomatis menjadi hujjah syar’iyah yang mengikat.

Argumen ini mengarah pada pentingnya mengikuti Alquran dan hadis sebagai sumber utama panduan agama. Pemahaman para sahabat dianggap sebagai hasil akal manusia yang mungkin benar atau salah.

Dalam konteks ini, ketidakpastian pemahaman bukan hanya berlaku pada para sahabat, tetapi juga pada semua orang, meskipun peluang kesalahan para sahabat dianggap sangat kecil.

Debat ini mencerminkan esensi diskusi di antara ulama mengenai otoritas pemahaman salafus shalih.

Bagaimana kita seharusnya memperlakukan pemahaman mereka dalam konteks panduan agama?

Apakah kita wajib mengikuti pendapat mereka atau apakah kita harus lebih fokus pada Alquran dan hadis?

Pertanyaan ini tidak hanya mencerminkan perbedaan interpretasi, tetapi juga mendemonstrasikan kompleksitas dalam memahami warisan intelektual dan spiritual para pendahulu agama kita.

Dalam perjalanan merumuskan pandangan kita terhadap pemahaman salafus shalih, penting bagi kita untuk menjaga keseimbangan antara menghormati warisan agama dan mempertimbangkan kerangka kerja yang mengutamakan nash-nash langsung dari Alquran dan hadis.

Sambil menghargai dan mempelajari pandangan para sahabat, kita juga perlu memahami bahwa pengembangan pemahaman agama adalah proses yang kontinu, yang menggabungkan warisan masa lalu dengan tantangan zaman modern.

Pandangan Majelis Tarjih

Muhammadiyah memiliki pandangan yang terperinci mengenai status dan relevansi pendapat dari generasi awal ini, sebagaimana tercermin dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) dan Kitab Beberapa Masalah.

Ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam HPT, khususnya Butir 21 tentang Usul Fiqih, memberikan panduan yang jelas mengenai status hadis mursal tabi‘i (hadis yang tidak memiliki rantai sanad langsung dari Nabi Muhammad saw., tetapi berasal dari para tabi’in).

Muhammadiyah membedakan tiga skenario yang berbeda: hadis mursal Tabi‘i murni tidak dijadikan hujjah, hadis mursal tabi‘i dapat dijadikan hujjah jika terdapat indikasi kebersambungan, dan hadis mursal shahabi (dari sahabat) dapat dijadikan hujjah dengan syarat ada bukti kebersambungan.

Analisis kaidah dan pandangan para ulama Muhammadiyah dalam HPT mengindikasikan bahwa pemahaman dan pandangan para sahabat dan tabi’in tidak dianggap sebagai dalil yang mutlak mengikat.

Pemahaman ini berakar pada prinsip bahwa mengamalkan pendapat mereka diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Alquran dan sunah.

Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa Muhammadiyah tidak melarang umatnya untuk mengikuti atau mengamalkan pemahaman dan amalan yang berasal dari generasi salafus shalih.

Namun, keyakinan ini harus selalu dikendalikan oleh prinsip-prinsip ajaran Islam yang lebih tinggi. Amalan dan pandangan dari generasi salafus shalih dapat dijadikan pedoman, selama sesuai dengan panduan Alquran dan sunah. (*/tim)

Referensi: Rubrik TJA dalam Majalah SM No 11 Tahun 2010

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini