Warisan sejarah sering kali membentuk identitas sebuah budaya. Begitu pula dengan Kalender Jawa, sebuah penanggalan yang menggabungkan akar-akar dari dua tradisi berbeda.
Kalender Jawa adalah buah dari percampuran antara penanggalan Saka dari India dengan Kalender Hijriah. Keunikan inilah yang menjadikan Kalender Jawa memiliki nilai dan makna yang mendalam.
Sebelumnya, Mataram Islam telah mengadopsi kalender Saka dalam penghitungan waktu mereka. Namun, perubahan penting datang dengan tangan bijak Sultan Agung.
Pada hari Jumat Legi, di saat pergantian tahun baru Saka 1555, yang tak terpisahkan dari tahun baru Hijriah 1 Muharam 1043 H dan 8 Juli 1633 M, Kalender Jawa mengalami perubahan mendasar. Sekarang, angka tahun Jawa telah mencapai 1957.
Sultan Agung memiliki pandangan yang mendalam. Ia berharap agar perayaan adat yang dilakukan oleh keraton dan hari besar Islam dapat bersamaan dalam satu waktu.
Oleh karena itu, penyesuaian perlu dilakukan.
Perubahan ini terkait dengan sistem perhitungan waktu, di mana Kalender Jawa beralih dari mengikuti kalender Saka yang berdasarkan matahari, menjadi mengikuti Kalender Hijriah yang mengacu pada pergerakan bulan.
Tidak hanya dalam perhitungan waktu, Kalender Jawa juga memiliki sistem penamaan bulan yang khas. Bulan-bulan dalam Kalender Jawa seperti Suro, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rejeb, Ruwah, Poso, Sawal, Dulkangidah, dan Besar, memberikan nuansa keunikan tersendiri bagi kalender ini. Nama-nama bulan ini diadopsi dari bulan-bulan Hijriyah.
Selain itu, kata Ghoffar, salah satu aspek menarik dari Kalender Jawa adalah penggunaan dua siklus hari yang berjalan beiringan. Pertama, siklus mingguan yang menghadirkan tujuh hari, sejalan dengan kalender Masehi yang dikenal luas.
Seperti sebutan dalam bahasa Arab yang meresap dalam nama-nama hari, seperti Ahad (Minggu), Isnain (Senin), Tsalasa (Selasa), Arba’a (Rabu), Khamisi (Kamis), Jum‘ah (Jumat), dan Sab’ah (Sabtu), Kalender Jawa menyambungkan tali sejarah melintasi batas-batas geografis.
Namun, kedalaman Kalender Jawa terletak pada siklus pancawara, sebuah perwujudan unik dari sistem penanggalan ini. Terdiri dari lima hari pasaran, yakni Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon, siklus pancawara menawarkan perspektif yang lebih dalam terhadap alur waktu.
Seperti aliran sungai yang tak henti mengalir, setiap hari pasaran membawa karakteristik dan energi tersendiri, menciptakan ritme kehidupan yang khas.
Namun, di balik harmoni ini, terdapat jejak sejarah yang menggugah. Penanggalan ini merupakan hasil kreasi bijak Sultan Agung, yang pada suatu hari Jumat Legi mengubah sistem penanggalan sekaligus menggambarkan semangat penyatuan dalam perbedaan.
Kalender Jawa ini memiliki wilayah keberlakuan yang meliputi Pulau Jawa dan Madura, mempererat ikatan budaya di antara penduduknya.
Dalam narasi sejarah tentang Kalender Jawa ini terdapat catatan khusus. Banten, sebuah daerah dengan ciri khasnya sendiri, terpencil dari implementasi sistem penanggalan ini.
Meskipun mungkin terasa seperti sekadar catatan kaki dalam sejarah, hal ini mengingatkan kita akan kompleksitas dan dinamika dalam penyebaran budaya dan tradisi. (*/tim
(Disampaikan Ghoffar Ismail dalam Pengajian Tarjih, 2 Juli 2023)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News