Fikih memiliki peran sentral dalam membimbing umat dalam menjalani kehidupan berdasarkan ajaran agama. Dalam konteks Muhammadiyah, pendekatan dalam metodologi fikih tidak sekadar berfokus pada penentuan halal dan haram semata.
Metode yang digunakan dalam Fikih Muhammadiyah mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang harmoni antara berbagai elemen dalam ajaran agama, serta relevansi terhadap permasalahan kehidupan.
“Metodologi Fikih Muhammadiyah didasarkan pada dua asumsi utama, yaitu asumsi integralistik dan asumsi hirarkis,” ujar Ketua Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Ruslan Fariadi dalam Sekolah Tarjih yang digelar di Madina Inn Hotel, Sabtu (5/8/2023)
Kata dia, dalam asumsi integralistik, Fikih Muhammadiyah mengakui perlunya kolaborasi dan dukungan antara berbagai elemen sumber untuk membangun landasan kuat dalam merumuskan norma.
“Metode ini terinspirasi dari teori istiqra ma’nawi dari Imam Syatibi. Dengan demikian, norma yang dihasilkan memiliki kekuatan yang komprehensif, karena didukung oleh berbagai sudut pandang yang berimbang,” papar Ruslan.
Sementara itu, imbuh dia, asumsi hirarkis dalam Fikih Muhammadiyah menggambarkan struktur berjenjang dari norma yang paling dasar hingga paling tinggi.
Norma dasar ini, yang disebut al-Qiyam al-Asasiyyah, meliputi norma teologis, etik, dan heuristik yang bersumber dari nilai-nilai universal dalam Alquran dan sunah.
Norma dasar ini menjadi pijakan bagi norma-norma lainnya, yang berjenjang dari al-Ushul al-Kuliyyah atau prinsip umum hingga al-Aḥkām al-Far’iyyah atau norma spesifik.
“Struktur berjenjang ini bisa dilihat dari dua arah, yaitu dari bawah ke atas maupun sebaliknya. Norma dasar yang terletak pada bagian paling bawah berfungsi sebagai dasar yang mengokohkan seluruh sistem norma, serta membimbing asas-asas yang digunakan dalam merumuskan hukum,” jlentreh Ruslan.
Pendekatan ini memberikan keleluasaan dalam merespons permasalahan sosial dan kemanusiaan, tidak hanya melalui norma konkret seperti halal dan haram, tetapi juga melalui penggalian asas-asas ajaran agama yang menjadi pedoman bertindak.
Menurut Ruslan, dalam banyak keputusan tarjih, seperti Fikih Tata Kelola dan Fikih Air, pendekatan ini telah terbukti memberikan panduan yang holistik dan relevan.
Oleh karena itu, Fikih dalam Muhammadiyah melebihi konsepsi sempit tentang halal dan haram. Ia muncul sebagai pedoman yang menyeluruh, mengintegrasikan berbagai elemen ajaran agama, nilai-nilai dasar, serta aspirasi sosial dan kemanusiaan.
“Metodologi yang cermat dan inklusif ini memungkinkan Fikih Muhammadiyah untuk tetap relevan dan responsif terhadap dinamika masyarakat serta tantangan zaman, sambil tetap setia pada prinsip-prinsip ajaran Islam yang mendasar,” pungkasnya. (*/tim)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News