Tegak lurus di atas Khittah Ujung Pandang tahun 1971 menjadikan Muhammadiyah secara organisasi tidak berafiliasi dengan partai politik (parpol) mana pun.
Komitmen tidak berafiliasi politik yang dipedomani Muhammadiyah tersebut juga dikuatkan dengan Khittah Surabaya 1978.
Kedua khittah tersebut menjadi dasar independensi Muhammadiyah dalam kaitannya dengan politik kekuasaan. Dalam pandangan Ridho, dalam menjaga independensi Muhammadiyah tersebut juga tidak bisa melupakan Khittah Denpasar 2002.
Saya memahami bahwa Muhammadiyah adalah independen. Mungkin sebagian dari tokoh menyatakan bahwa Muhammadiyah netral, namun publik menganggap sikap ini bersifat politis.
Setelah melakukan pembacaan terhadap berbagai khittah tersebut, Ridho mengatakan, bahwa Muhammadiyah secara organisatoris adalah independen, tidak apolitis, tetapi juga tidak netral – berpegang pada moral utama.
Posisi tegas tersebut, meskipun Muhammadiyah tidak berafiliasi pada parpol tertentu, tetapi kader atau simpatisannya diberikan keleluasaan untuk memilih dan proaktif dalam proses-proses politik di Indonesia.
Keterlibatan secara proaktif kader, maupun simpatisan Muhammadiyah dalam pesta demokrasi tidak hanya dimaknai dalam urusan dukung-mendukung calon. Tetapi juga turut serta mereka membantu jalannya Pemilu dengan baik.
Seperti keterlibatan kader dalam pengawasan Pemilu. Hal itu dilakukan untuk menciptakan Pemilu yang Langsung, Bersih, Jujur, dan Adil atau Luber Jurdil. Pengawasan riil di TPS bisa dikawal dan jadi gerakan nasional.
Hal itu untuk memastikan pemilu berintegritas dan mengurangi risiko kecurangan yang semakin besar.
Tugas kader dan warga adalah menjadi bagian nahi munkar, keterlibatan Muhammadiyah dalam mengawal pesta demokrasi, dan semua pihak di Persyarikatan harus mengawal agenda ini. (*)
(Disampaikan oleh Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah Ridho Al Hamdi di UMY, 6 Agustus 2023)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News