*) Oleh: Suko Wahyudi
PRM Timuran Yogyakarta
Islam merupakan agama samawi terakhir yang Allah turunkan ke muka bumi. Nabi Muhammad Saw sebagai rasul yang membawanya pun adalah rasul terakhir yang Allah utus bagi segenap umat manusia.
Sebelum di turunkannya Islam dan diutusnya Nabi Muhammad saw telah ada dua agama samawi yang mendahuluinya. Pertama adalah agama yang dibawa oleh Nabi Musa AS, dan yang kedua adalah agama yang dibawa oleh Nabi Isa AS.
Dan Dia (Allah) mengajarkan kepadanya (Isa) Kitab, Hikmah, Taurat, dan Injil. Dan sebagai Rasul kepada Bani Israil (dia berkata), “Aku telah datang kepada kamu dengan sebuah tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuatkan bagimu (sesuatu) dari tanah berbentuk seperti burung, lalu aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan izin Allah.
Dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak sejak dari lahir dan orang yang berpenyakit kusta. Dan aku menghidupkan orang mati dengan izin Allah, dan aku beritahukan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu orang beriman. (Ali-Imran [3]: 48-49)
Selain menurunkan dua agama samawi melalui utusan-Nya Musa dan Isa, Allah SWT juga mengutus rasul-rasul-Nya secara silih berganti sepanjang sejarah dengan membawa ajaran tauhid untuk disampaikan kepada umatnya masing-masing.
Dan setiap umat (mempunyai) rasul. Maka apabila rasul mereka telah datang, diberlakukanlah hukum bagi mereka dengan adil dan (sedikit pun) tidak dizalimi. (Yunus [10]: 47).
Alquran mengisahkan dua puluh lima nabi dan rasul. Masing-masing dari mereka diutus kepada umatnya: Nabi Nuh diutus kepada Bani Rasib (Al-A’raf [7]: 59), Nabi Hud dan Shalih diutus kepada kaum Tsamud (Al-A’raf [7]: 73), Nabi Syuaib diutus kepada kaum Madyan (Al-A’raf [7]: 85), dan seterusnya sampai kepada Nabi Muhammad SaW diutus untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman.
Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan kepada semua umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Saba’ [34]: 28)
Islam adalah agama termuda di antara agama-agama samawi sebelumnya. Sebagai agama samawi terakhir kedatangannya membawa konsekuensi berupa kesempurnaan dan kelengkapan ajarannya bila dibandingkan dengan dua agama pendahulunya.
Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. (Al-Maidah [5]: 3)
Kenikmatan terbesar yang Allah anugerahkan kepada umat ini adalah disempurnakannya agama Islam. Allah telah menyempurnakan agama kaum muslimin sehingga mereka tidak membutuhkan agama dan nabi yang lain.
Oleh karena itu, Allah menjadikan Nabi Muhammad sebagai penutup para nabi dan rasul yang diutus kepada seluruh umat manusia dan jin.
Maka, tidaklah ada sesuatu yang halal kecuali yang Allah halalkan melalui lisannya, tidaklah ada sesuatu yang haram kecuali yang telah Allah haramkan melaui lisannya.
Sebagai agama yang sempurna dan paripurna sudah menjadi ketentuan Ilahiah jika seluruh rangkaian syariat dan ajaran Islam sejalan dengan fitrah penciptaan manusia. Allah SWT telah menjamin hal ini dalam Firman-Nya,
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, (Ar-Rum [30]: 30)
Fitrah adalah nurani manusia. Fitrah telah ada jauh sebelum manusia dilahirkan ke dunia. Ketika semua janin ditiupkan roh kepadanya ditanya oleh Allah SWT, sebagaimana terekam dalam Firman-Nya:
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”
Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini,” (Al-A’raf [7]: 172)
Allah SWT menciptakan manusia dengan fitrah bertuhan, maka hati manusia akan merasa nyaman jika kepadanya disematkan predikat “hamba Allah”. Sebaliknya, ia akan merasa resah, gelisah, bahkan marah jika dikatakan sebagai “hamba dunia”.
Ini semua merupakan bukti bahwa pada dasarnya manusia memiliki fitrah bertuhan. Dalam hal ini Islam adalah satu-satunya agama yang senantiasa selaras dengan fitrah manusia.
Hal ini sebagaimana dituturkan Alquran, bahwa esensi penciptaan jin dan manusia adalah untuk menghamba kepada Allah SWT.
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. (Adz-Dzariyat [51]: 56)
Namun fitrah bertuhan yang ada pada diri manusia tersebut barulah merupakan potensi dasar yang harus terus menerus dipelihara dan dikembangkan. Apabila fitrah tersebut tertutupi oleh faktor-faktor dari luar nuraninya, manusia akan berlari dan menentang fitrahnya sendiri.
Tetapi bila dihadapkan pada persoalan-persoalan kehidupan yang rumit dan dia sudah kehilangan daya untuk menghadapinya, barulah secara spontan fitrah tersebut kembali muncul.
Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu darinya, dia kembali (ke jalan yang sesat), seolah-olah tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya.
Demikianlah dijadikan terasa indah bagi orang-orang yang melampaui batas apa yang mereka kerjakan. (Yunus [10]: 12)
Selain berhubungan dengan keimanan, fitrah manusia juga berkorelasi dengan segala sesuatu yang menyangkut cara manusia menjalani kehidupannya dengan berpatokan pada pedoman hidup yang telah ditetapkan Allah.
Apa yang menurut fitrah manusia itu baik Allah pasti memerintahkannya. Sebaliknya apa yang menurut fitrah manusia itu buruk maka Allah dengan tegas pasti melarangnya. Manusia memiliki fitrah menyukai keindahan. Islam pun mengajarkan kepada pemeluknya untuk senantiasa keindahan, kebersihan dan kerapian.
Sesungguhnya Allah itu baik, menyukai yang baik-baik. Dia Maha Bersih, menyukai kebersihan. Dia Maha Mulia menyukai kemuliaan. Dia Maha Pemurah menyukai kedermawanan. Karena itu, bersihkanlah tempat-tempatmu. (HR. Baihaqi)
Sebagai agama yang selaras dengan fitrah, Islam sangat memahami kemampuan manusia dalam menunaikan ajaran-ajaran agama. Allah telah menjamin bahwa Dia tidak akan membebani manusia di luar kemampuannya. Karena itu secara kodrati, pada dasarnya manusia mampu menjalankan syariat Islam dengan bekal yang dianugerahkan Allah.
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari kebajikan yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya…(Al-Baqarah [2]: 286)
Salah satu dari kelemahlembutan dan kasih sayang Allah kepada manusia adalah tidak membebani seorang pun melainkan sebatas kemampuannya.
Ketika seorang hamba tidak sanggup menunaikan suatu tanggung jawab yang dibebankan oleh Allah melalui syariat-Nya, hamba tersebut dapat mencari jalan keluar dengan menilik kemudahan yang Allah sediakan dibalik syariat tersebut sesuai ketentuan yang telah digariskan.
Islam telah mewajibkan salat lima waktu dalam sehari semalam. Penetapan lima waktu ini sudah diukur dengan kemampuan manusia untuk melaksanakannya.
Ada pun dalam kondisi di mana seseorang tidak mampu menunaikan salat dengan berdiri karena sakit Allah telah memaklumkan melaksanakannya dengan cara yang lain yang sudah ditentukan.
Demikian juga dalam kondisi sakit yang menghalangi seseorang dari penggunaan air sehingga ia tidak dapat berwudu, maka dipersilakan bersuci dengan cara lain yang sudah diatur di dalam syariat.
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih);
sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (Al-Maidah [5]: 6)
Allah menghendaki kemudahan bagi hamba-hamba-Nya dalam melaksanakan ibadah dan menjalani kehidupannya. Allah tidak menginginkan hambanya mengalami kesulitan ketika menjalankan syariat-Nya, karena syariat bukanlah untuk mempersulit manusia melainkan untuk mempermudah manusia.
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, karena manusia diciptakan (bersifat) lemah. (An-Nisa [4]: 28)
Dengan adanya kemudahan dalam syariat, agama yang telah Allah sempurnakan ini menginginkan agar kaum muslimin tidak meninggalkan satu perintah pun atau melanggar satu larangan pun sebab segalanya telah Allah mudahkan.
Dengan adanya kemudahan ini pula, Islam ingin menegaskan kepada seluruh umat manusia tentang sifat dasarnya sebagai ajaran yang luwes dan mudah diterapkan oleh manusia, sebab Islam sangat menghargai fitrah manusia dan jauh dari kekakuan serta kesulitan. Wallahu A’lam. (*)
(Artikel ini juga dimuat di suaramuhammadiyah.id)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News