Guru Besar Al-Azhar: Muhammadiyah Menjadi Representasi Modernitas dari Dunia Islam
Prof Muhammad Salim Abu Ashi (tengah) menghadiri seminar internasional di UMY. foto; ist
UM Surabaya

Prof Muhammad Salim Abu Ashi, Guru Besar Ilmu Alquran dan Tafsir Universitas Al-Azhar, memuji keberhasilan Muhammadiyah sebagai representasi dari dunia Islam yang sukses membangun dakwah dan organisasi modern serta memadukan ilmu agama dan ilmu-ilmu umum.

Pujian tersebut sampaikan Muhammad Salim Abu Ashi dalam seminar internasional bertajuk “Alquran dan Integrasi Ilmu-ilmu Syariah, Sains dan Sosial Humaniora” di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Selasa (22/8/2023).

“Saya juga berdoa agar Allah Swt memberikan rahmat dan ampunan bagi pendiri organisasi ini, Muhammadiyah, yakni As-Syaikh Ahmad Dahlan, semoga beliau dilimpahi rahmat-Nya,” ucapnya.

Menurut Abu Ashi, apa yang dilakukan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan selaras dengan keberhasilan Muhammad Abduh menyadarkan institusi Al-Azhar yang dulu hanya sibuk pada kitab turats dan mengharamkan ilmu-ilmu modern.

Fenomena dikotomis itu, kata dia kini tidak berlaku lagi di Al-Azhar. Di samping ilmu agama, ilmu-ilmu umum juga ditekankan untuk dipelajari dengan tekun.

Abu Ashi lantas menjelaskan bahwa makna kata tafaqquh dalam kosakata Alquran dan hadis bukan ditujukan untuk ilmu agama saja, melainkan ilmu secara umum.

Di sanalah letak prinsip agama Islam yang mencintai ilmu pengetahuan. Hal ini kata dia ditegaskan dalam Surat Az Zumar ayat ke-9.

“Maka pelajar yang belajar fisika dan biologi termasuk dalam pengertian tafaqquh. Karena itu bagi kami ilmu adalah agama dan agama sendiri adalah ilmu. Agama mendorong mempelajari semua ilmu yang bermanfaat bagi kemanusiaan,” jelasnya.

Berbeda dengan tradisi agama dan kebudayaan Barat serba biner, Islam menurut Abu Ashi tidak mengenal dikotomisasi.

Sama dengan tidak adanya perbedaan antara mana yang lebih utama antara jasad/ruh, dunia dan akhirat, maka bagi Islam tidak ada perbedaan antara ilmu agama maupun ilmu umum.

Semua saling melengkapi dan menjalankan fungsinya masing-masing. Bahkan sebagian hal yang dulu masuk dalam perkara gaib, akhirnya dapat dirasionalisasi melalui penemuan sains dan teknologi.

“Sehingga yang paling takut kepada Allah adalah orang yang berilmu, bukan hanya ilmu agama saja. Karena mereka mengetahui rahasia di alam semesta,” tutur Abu Ashi.

“Ini yang saya lihat dengan jelas di Muhammadiyah. Semuanya (ilmu agama dan ilmu dunia) dapat dipadukan dengan baik,” imbuh dia

Abu Ashi. berharap umat semakin tercerahkan agar tidak berpatokan pada tokoh agama yang hanya mampu melaksanakan ritual keagamaan saja namun tidak mengenal kehidupan modern, bahkan anti terhadapnya.

Sebab para tokoh ini kata dia tidak selaras dengan prinsip bahwa agama Islam relevan di setiap tempat dan zaman (Al-Islamu shalihun likulli zaman wal-makaan).

Terkait tema, Abu Ashi menuturkan jika Alquran memiliki dua keistimewaan. Yakni, terjaganya keaslian Alquran melalui metode periwayatan yang bersambung dan ketat, serta sisi kemukjizatannya yang membuat tidak ada satu pun manusia/teknologi yang mampu membuat sesuatu yang serupa.

Di sisi lain, Alquran sebagai wahyu Allah kata dia juga menekankan pada kaum muslimin dan kaum beriman untuk bersemangat mencari ilmu.

Sebagai kitab petunjuk, Alquran juga memuat berbagai pancingan/pemantik terhadap beragam disiplin ilmu.

“Tidak ada agama yang mengajak umatnya untuk beriman dengan ilmu seperti Islam yang membuka pintu lebar-lebar untuk pengetahuan dan dialog,” tegasnya. (*/tim)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini