Guru Besar Ilmu Alquran dan Tafsir Universitas Al-Azhar Mesir Prof Dr Muhammad Salim Abu Ashi menjeadi keynote speaker dalam International Guest Lecture bertajuk “Peran Al-Azhar Dalam Merumuskan Metodologi Tafsir Kontemporer Dan Posisinya Terhadap Hermeneutika” di Universitas Muhammadiyah Surakartam (UMS), Selasa (22/8/2023).
Dalam acara ini, Abu Ashi menyampaikan bahwa untuk membahas tema ini dibutuhkan waktu yang sangat panjang, tidak cukup hanya 45 menit karena kompleksnya pembahasan.
Dia menyampaikan bahwa pembahasan ini pernah beliau tuliskan dalam salah satu karyanya yaitu Maqalatani fi al-Ta’wil yang ditulis sekitar 20 tahun yang lalu.
Dalam buku ini beliau banyak membahas dhawabit atau kaidah dalam melakukan takwil. Dia juga mengkritisi beberapa pemikir muslim kontemporer yang menggunakan hermeneutik dalam melakukan takwil seperti Muhammad Arkoun, Abu al-Qasim Haj Hamad, Hasan Hanafi, dan Nasr Hamid Abu Zayd.
Abu Ashi juga mengkritisi pembacaan teks para pemikir kontemporer yang menyalahgunakan teori maqhashid al-syari’ah dan istilah ruh al-nash (spirit teks atau ayat) untuk mendekonstruksi penafsiran Alquran. Utamanya dalam masalah hukum Islam, sehingga sering melahirkan produk hukum yang kontroversial.
Dalam penyampaiannya, Abu Ashi mengingatkan bahwa untuk memahami Alquran dibutuhkan pemahaman yang baik terhadap bahasa Arab. Selain itu juga menguasai ilmu alat yang lain seperti ilmu ushul fiqh.
Abu Ashi menyampaikan ini mengingat banyak yang berani berspekulasi menafsirkan ayat tanpa mengindahkan kaidah-kaidah dalam metodologi penafsiran Alquran.
“Pembacaan teks Alquran di era kontemporer dengan hermeneutik banyak mengesampingkan kaidah penafsiran, seperti menghilangkan peran bahasa. Hermeneutik juga hanya mencakup penafsiran yang sifatnya realistis,” jelasnya.
“Ini sama juga dengan materialis. Hal-hal gaib seperti surga, neraka, dan hari kebangkitan dianggap bukan realitas kehidupan sehingga tidak mungkin dipahami,” imbuh Abu Ashi.
Dalam hermeneutik, semua boleh dan bebas menafsirkan karena sudah menjadi hak pembacanya. Tidak ada penafsiran yang absolut. Tidak ada penafsiran yang pasti benar karena semua penafsiran boleh disalahkan, bahkan pemahaman Nabi juga bisa disalahkan.
Jika Alquran mengatakan minuman keras itu haram, lalu ada yang mengatakan itu halal maka itu bebas-bebas saja. Jadi semua itu relatif. Semua hukum dalam Al-Qur’an menjadi relatif.
Oleh karena itu, Abu Ashi mengajak untuk mempelajari berbagai cabang ilmu syar’i dengan baik utamanya ilmu ushul fiqh yang didalamnya ada pembahasan tentang “dalalat” yang merupakan pondasi dalam memahami nash.
Dia juga mengutip perkataan Syekh al-Buti: “Apabila semua bebas memelintir kata-kata dalam Alquran dari makna asal kepada yang dia inginkan, maka tidak ada yang bisa memahami Alquran lagi dengan benar dan hilanglah nilai-nilai bahasanya”.
“Contoh sederhananya, saya katakan “besok ujian”. Lalu anda memahami bahwa kata besok maknanya adalah sebulan lagi. Maka ini akan menjadi kacau. Jika bahasa rusak maka tidak ada yang saling memahami. Dalam balaghah Alquran ada makna haqiqi dan makna majazi. Akan tetapi tidak boleh sembarangan memahami secara majazi kecuali ada dalilnya,” tandas Abu Ashi.
Dia menambahkan, dalam mentakwilkan Alquran harus sesuai dengan kaidah. Di antara buku yang menjelaskan masalah ini adalah kitab jam’u al-jawami.
Ibnu Subkhi menyatakan bahwa takwil harus berdasarkan dalil. Setiap takwil harus ada dalilnya baik dari segi ‘aqli, lughawi, ataupun lainnya. Tidak ada takwil tanpa dalil.
“Jika Anda mentakwil tanpa dalil maka Anda telah mempermainkan Alquran. Selain itu, mentakwil juga harus sesuai dengan kaidah bahasa Arab,” tegasnya.
Di zaman sekarang, imbuh Abu Ashi, ada yang membuat tafsir kontemporer yang menggunakan hermeneutik yang sebenarnya hanya merupakan kelanjutan dari tafsir “bathini”.
Polanya adalah dengan mengajak keluar dari bahasa Alquran dan kaidah tafsir untuk kemudian mempermainkan penafsiran ayat-ayat Alquran.
Abu Ashi melanjutkan dengan nada tanya, kenapa hermeneutika hanya untuk Alquran? Kenapa tidak ada hermeneutika dalam ilmu sejarah, ilmu sosial, ilmu psikologi, atau ilmu lainnya? Maka jawabannya adalah agar umat Islam terlepas dari Alquran dan hukum-hukumnya.
Di akhir sesi, diadakan sesi tanya jawab dan diskusi yang sangat hangat. Sebelum berakhir, Abu Ashi memberikan nasihat yang sangat menyentuh untuk para penuntut ilmu.
“Menuntut ilmu itu harus murni karena Allah. Tidak ada artinya belajar tanpa keikhlasan. Kita harus mengamalkan ilmu yang kita ketahui karena ilmu tanpa amal seperti pohon tanpa buah. Amal adalah akhlak Islam. Ibnu Atho’ berkata, amal adalah bagaikan jasad, sedangkan ikhlas adalah ruhnya,” katanya
“Tutuplah pandangan orang padamu dengan pandangan Allah padamu (maksudnya jangan mencari kemuliaan di sisi manusia, carilah kemuliaan di sisi Allah). Gunakanlah waktu dengan sebaik mungkin. Semoga kita semua khususnya yang di kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta ini selalu dijaga dan diberi taufiq oleh Allah SWT”,” pungkasnya. (kharis nugroho/tim)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News