Kesuksesan gerakan dakwah berbasis komunitas ditentukan oleh kekayaan paradigma, kematangan strategi, dan gerakan yang adaptif sekaligus inklusif dalam praksisnya di lapangan.
Karena itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Haedar Nashir menekankan perubahan mindset dan paradigma dakwah berbasis komunitas di Muhammadiyah yang lebih kontekstual, transformatif, dan sesuai dengan objek dakwah yang beragam.
“Dakwah komunitas tidak mungkin kita lakukan jika kita tidak mentransformasi paradigmanya,” ujar Haedar saat membuka Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Lembaga Dakwah Komunitas (LDK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Jumat (25/8/2023).
Haedar menyebut basis gerakan komunitas telah dirintis oleh Kiai Ahmad Dahlan dan penggerak Muhammadiyah generasi awal. Misalnya dengan pendirian PKO, panti sosial, rumah yatim, hospital, hingga lembaga pendidikan.
Semua institusi itu, kata dia berasal dari kekayaan paradigma Muhammadiyah dalam menafsir ulang Alquran dan hadis yang tidak normatif, dogmatis, dan sekadar teosentris sehingga gagasan yang dilahirkan oleh Kiai Ahmad Dahlan bersifat melampaui zaman (breaktrough).
Sayangnya, tradisi ini kata dia sempat mengalami penyempitan fokus pada amar makruf nahi munkar semata sehingga paradigma dakwah Muhammadiyah yang kaya mengalami kesan stagnasi.
Padahal tujuan Muhammadiyah sebagai gerakan tidak hanya amar makruf nahi munkar saja, tapi juga pada aspek tajdid (pembaruan).
Untuk memperkuat corak gerakan dakwah komunitas, Haedar berpesan agar pimpinan dan dai-dai di LDK Muhammadiyah merujuk pada dokumen-dokumen ideologi dan pemikiran Persyarikatan, utamanya pada Risalah Pencerahan, Risalah Islam Berkemajuan, termasuk gagasan GJDJ.
Agar memiliki jangkauan yang luas, Haedar juga berpesan supaya paradigma LDK beranjak dari kecenderungan lil-mu’aradhah (reaktif) pada paradigma dan pendekatan yang lil-muwajahah (konstruktif dan solutif) terhadap realitas di lapangan yang tidak selamanya ideal.
Pertimbangan strategi dakwah pun kata dia harus memiliki basis yang kaya sesuai Manhaj Tarjih; Bayani (teks/dalil), Burhani (ilmu pengetahuan), dan Irfani (hikmah).
“Jadi kalau mau ke dakwah komunitas, mindset kita harus berubah dalam memahami ayat dan hadis, lalu kontekstualisasinya harus bersifat sesuai dengan konsep pencerahan kita, yakni pembebasan, pemberdayaan, dan pemajuan,” jabarnya
Menuju perubahan paradigma dakwah komunitas, Haedar menyebut Muhammadiyah memiliki modal melimpah berdasar pada corak yang dibangun oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan.
Salah satunya adalah hubungan komplementer antara konsep amar makruf nahi munkar dalam Surat Ali Imran ayat 104 dengan gagasan khairu ummah pada Surat Ali Imran ayat 110.
Khairu ummah sendiri dicirikan oleh Ibn Katsir sebagai umat tengahan yang menjadi saksi bagi umat manusia melalui kemanfaatan yang diberikannya.
“Ini konsep progresif sekali. Maka perlu perubahan. Nah, memahami ini penting bagi para pimpinan, khususnya yang bergerak di LDK agar paradigmanya tidak paradigma lama,” seru Haedar.
Jika perubahan paradigma dilakukan, Haedar optimistis dakwah Muhammadiyah semakin mengakar dan menjangkau masyarakat luas.
“Jadi mohon dengan sangat, kita ubah mindset kita tentang dakwah, lebih-lebih menyangkut dakwah komunitas. Jangan lagi pakai disket (metodologi) lama, nggak cocok,” ucap Haedar. (*/tim)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News