Meluruskan Kiblat Kebudayaan IMM
Ilustrasi: medium.com
UM Surabaya

*) Oleh: Syauqi Khaikal
Kabid SBO PC IMM Bantul

Tulisan ini akan sangat sederhana. Sebagai seorang Kader IMM, bagaimana mungkin kita dapat “nguri-nguri lan ngajeni kabudayan” jika sejak awal setiap orang di dalamnya sudah salah mengartikan kerja-kerja kesenian, kebudayaan, dan olahraga yang kemudian menjadi tupoksi utama dari bidang Seni, Budaya, dan Olahraga (SBO) di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.

Ini baru tuduhan yang ringan, sebab yang mendera SBO bukan cuma sekadar kegagalan Kader dan Pimpinan dalam memberi arti kehadiran bidang ini, lebih dari itu, SBO di IMM juga kadung menerima banyak penyederhanaan secara makna sekaligus fungsi.

Artinya, ketidakjelasan bidang ini sejak awal sudah dimuluskan oleh kegagalan setiap orang dalam memberi arti soal seberapa penting kebudayaan dan kesenian untuk dibahas dan diberi tempat.

Kondisi ini kemudian diperparah dengan berbagai penyederhanaan, pembiaran, dan rasa enggan untuk meluruskan apa-apa yang sejak awal sudah bengkok. Implikasinya serius, pasalnya “disrupsi” ini menjadikan pembahasan soal arah kesenian, kebudayaan, dan olahraga di IMM menjadi demikian abu-abu.

Begini, kita tidak akan pernah mengerti hikmah diutusnya umat manusia ke muka bumi ini sebelum kita belajar memaknai Al-Baqarah ayat 30. Begitu juga dengan kebudayaan dan kesenian di IMM, kita tak akan pernah mengerti seberapa penting kehadirannya sebelum kita tahu bahwa bidang SBO adalah satu di antara beberapa bidang yang dibentuk sejak masa-masa awal IMM didirikan.

Empunya bidang adalah Abdul Hadi WM, seorang penyair kenamaan yang hingga kini dikenal sebagai pelopor sastra sufistik di Indonesia.

Rumusan masalahnya sederhana, kenapa bidang ini dibentuk? Kenapa IMM membutuhkan SBO guna menemani kiprahnya bahkan sejak masa-masa awal organisasi ini didirikan?

Pemandangan seperti apa yang mengharuskan kebudayaan dan kesenian mengambil peran dalam kerja-kerja awal IMM? Dan, kenapa ini menjadi penting untuk dibahas?

Rumusan masalah ini akan senantiasa menjadi masalah jika IMM tak segera melakukan diskusi serius guna membongkar setiap gejala yang ada padanya, IMM sudah harus mulai mencatat persoalan ini sebagai salah satu agenda penting organisasi, dan bahkan IMM harus sudah mulai mempersiapkan arah kebudayaan dan keseniannya yang baru jika apa-apa yang diwariskan para pendahulunya itu sudah tak relevan lagi.

Senada dengan apa-apa yang mendera Muhammadiyah, duduk persoalan yang kini dialami oleh IMM sudah sejak lama dibahasakan oleh Abdul Munir Mulkhan, bahwa para elite di Muhammadiyah sesudah generasi pendiri tampak kurang berhasil memahami jati-dirinya sebagai gerakan sosial dan budaya (Mulkhan, 2007).

Barangkali, apa yang dialami elite Muhammadiyah juga kini tengah membudaya di kalangan para elite IMM, siapa tahu?

Ada beberapa hal yang digarisbawahi Abdul Munir Mulkhan dalam memandang kegagalan memahami jati diri ini, yakni Muhammadiyah (dan barangkali juga IMM) kian terbiasa menenggelamkan dirinya ke dalam romantisme politik dan romantisme Sunni (Mulkhan, 2007).

Di sinilah letak pentingnya kongres kebudayaan IMM sebagai agenda organisasi guna melangsungkan “revolusi kebudayaan” IMM, atau dalam bahasa penulis ialah upaya-upaya nyata untuk kembali meluruskan kiblat kebudayaan kita.

Kegagalan Memaknai Agenda Seni-Budaya

Kesenian dan kebudayaan di IMM akan senantiasa menjadi kurang penting, sekadar pelengkap, dan wacana klas dua jika kita masih terus menyaksikan orang-orang bernyanyi, menari, dan membaca sajak dalam acara-acara Milad, Pembukaan Musyawarah, Pelantikan Pimpinan, dan diskusi-diskusi publik.

Tentu saja SBO yang jadi biang-keroknya, atau dalam beberapa kasus, SBO tak dapat menghindar dari keadaan semacam ini, menerima apa adanya, kemudian kian menegaskan bahwa agenda kesenian dan kebudayaan menjadi wacana klas dua dalam organisasinya.

Mari kita belajar sejarah meski tak banyak. John F. Kennedy mengundang seorang penyair besar ketika dirinya hendak dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat di Gedung Putih.

Penyair pesanan itu membaca beberapa puisi kemudian menutup pembacaan sajaknya dengan sebuah ungkapan yang barangkali masih popular hingga kini: “Jika politik kotor, maka puisi membersihkannya”.

Benarkah demikian? Faktanya Kennedy-lah yang kian menabalkan rasialisme di Amerika, Kennedy otak di balik penyerangan negara-negara Arab, dan Kennedy yang kian memastikan dunia ketiga macam Indonesia ini sebagai negara miskin imbas dari kebijakan Dasawarsa Pembangunan miliknya pada dekade 1960-an.

Apakah agenda kebudayaan dan kesenian IMM berada di posisi serendah itu? Yang cuma hadir sebagai kelompok penghibur dalam acara-acara tertentu. Penulis pikir tidak, seni-budaya IMM bukanlah penari ronggeng dalam upacara penyambutan Gubernur Jenderal Belanda di rumah seorang Bupati Pribumi.

Seni-budaya IMM bukanlah tepuk tangan setelah pembacaan puisi dalam agenda penting organisasi, seni-budaya IMM adalah puisi itu sendiri, puisi yang dibaca dan dimaknai kehadirannya guna menyelamatkan, mengontrol, dan mengarahkan jalannya organisasi.

Sebab Pimpinan IMM bukanlah John F. Kennedy, maka agenda seni-budaya IMM tak boleh jadi cuap-cuap penyair pesanan dalam pelantikan Presiden Amerika Serikat itu. Lebih lagi, cuap-cuap itu cuma ungkapan kosong tanpa makna, cuma sekadar puisi yang tak dapat membersihkan politik kotor Kennedy, cuma sekadar tarian dan nyanyian yang berujung pada tepuk tangan dan lalu hilang tanpa aba-aba.

Sederhananya, IMM dan segenap kadernya sudah harus terbiasa untuk tak senantiasa menjadi musabab di balik disrupsi bidang-bidang di organisasinya.

Studi kasus yang nyaris sama terjadi di bidang Media dan Komunikasi, bidang Medkom kini bergeser fungsi dan maknanya menjadi sekadar tukang desain pamflet.

Melupakan fungsi utamanya sebagai alat yang dapat meningakatkan kualitas kader, gagal menciptakan media komunitas yang mumpuni, melupakan kerja-kerja image building organisasi, apalagi sebagai pembangun kapasitas kader di bidang skill komunikasi.

Asal pamplet yang dibuat sudah menarik dan ”enak” dipandang, maka berhasil juga kerja-kerja bidang Media ini.

Kabar buruknya, SBO sedang menuju ke sana. Penyederhanaan makna dan fungsi yang menasbihkan seni-budaya sebagai kelompok hiburan organisasi, arti penting kehadirannya sesempit acara senang-senang guna mencairkan suasana dalam rundown kegiatan.

Kita sudah bias sejak awal dalam memandang seni dan budaya di IMM, maka tak ada pilihan selain mendiskusikan pokok permasalahan ini dengan serius guna menegaskan, memperjelas, dan bahkan merumuskan ulang agenda kebudayaan, kesenian, dan olahraga IMM.

Gerakan seni dan budaya tak pernah diciptakan sebagai penghibur semata, ada ukuran dulce et utile, indah dan berguna, sehingga suatu produk dapat disebut sebagai seni dan budaya.

Ini mesti dipahami sejak awal, seni itu dulce et utile, seni itu vitalisme yang membikin gairah hidup di dada dan kepala manusia. Kalaulah bahasanya hendak dibikin agak Islami, Kuntowijoyo membahasakan kerja-kerja di bidang kesenian dan kebudayaan, yang selain harus indah, juga sebagai bagian dari ibadah umat manusia sekaligus penegas keberpihakannya pada kaum-kaum mustadh’afin (Kuntowijoyo, 2013).

IMM belum mengarah ke sana, organisasi ini belum mengartikan seni dan kerja-kerja kebudayaannya sebagai bagian dari ibadah.

Bahwa ibadah yang dimaksud tak sesederhana seorang Pimpinan SBO yang menuntaskan program kerja menjelang musim Musyawarah tiba. Itu belum lagi dapat disebut seni-budaya sebagai ibadah, hal semacam itu cuma sekadar ibadah guna mengentaskan tanggung jawab seorang pengurus organisasi.

Soal kedua barangkali akan lebih menarik, bahwa maksud dari seni-budaya yang berguna atau keberpihakan seni-budaya itu bukan mereka yang membaca puisi Rendra, Wiji, dan/atau seniman “rebel” lainnya dalam panggung-panggung bebas di kampus.

Kalau pikiran semacam ini masih terus dilestarikan dan diberi tempat, maka sampai kapan pun kita tak akan pernah dapat melakukan revolusi kebudayaan ala Abdul Munir Mulkhan di Muhammadiyah, maka hingga bertahun lamanya IMM tak akan pernah dapat nguri-nguri lan ngajeni kabudayan, melestarikan dan menghargai kebudayaan cuma sekadar omong-omong yang menunggu waktu untuk hilang-lenyap, terlupakan.

Jadi, berangkat dari kesalahan-kesalahan pemaknaan terhadap kerja-kerja kesenian dan kebudayaan di IMM, dapatlah kita tarik kesimpulan yang sifatnya sementara bahwa seni dan kebudayaan Kader IMM mesti patuh pada dulce et utile ini, mengandung nilai-nilai keindahan seni dan sekaligus juga diartikan sebagai ibadah yang tidak hanya memuliakan Tuhan, melainkan juga memuliakan kemanusiaan.

Kesimpulan ini dapatlah kita pakai jika kita benar-benar sudah dapat melepas-bebaskan diri dari kesalahan memberi arti dan makna.

Romantisme Politik, Romantisme Sunni

IMM sudah terlalu sering membahas agenda politik, lucunya politik yang dimaksud tak pernah benar-benar politik, cuma sekadar bermain di riak air yang dangkal, bahkan cuma berhasil menyentuh permukaan.

Bermodal konsolidasi politik yang dangkal inilah agenda-agenda “membangun peradaban” itu dimulai. Tentu saja agenda kebudayaan terlupakan.

Tak ada istilah konsolidasi kebudayaan, sementara konsolidasi politik nyaring terdengar, gaungnya ke mana-mana dan membikin bingung kader yang tak mengerti apa-apa.

Begini Kuntowijoyo membahasakan kecenderungan “apa-apa politik” ini dalam memandang krisis peradaban dan kealpaan pendekatan kebudayaan dalam mengatasinya, bahwa krisis peradaban yang tengah melanda tak akan dapat diselesaikan oleh politik, sekalipun politik yang baik, apalagi politik yang kotor.

Ungkapan ini muncul ketika Maklumat Sastra Profetiknya diumumkan ke khalayak ramai. Sementara Abdul Munir Mulkhan lain lagi, ia menandai alpanya pendekatan kebudayaan di tubuh Persyarikatan dengan semakin menjauhnya Muhammadiyah dari problem kehidupan umat yang mayoritas miskin, kaum buruh dan petani.

Romantisme politik yang sekaligus mengesampingkan pendekatan seni-budaya dalam upaya-upaya mengentaskan persoalan keumatan sudah jadi pemandangan biasa di tubuh IMM dan hasilnya mengecewakan.

Menyitir Kuntowijoyo, bagi penulis, dengan fondasi politik yang baik sekalipun kita tak akan pernah berbuat apa-apa, apalagi dengan fondasi politik yang buruk, dangkal, dan tergesa-gesa.

Itulah kenapa pendekatan budaya mesti diambil, itulah kenapa SBO itu penting, itulah kenapa kita tak boleh melupakan jati diri sebagai organisasi yang bergerak di bidang sosial-budaya dan keumatan.

Pemandangan selanjutnya, sebagaimana yang telah dibahasakan pada sub-bab sebelumnya soal kehadiran penyair pesanan Kennedy dan posisi seni-budaya sebagai alat penghibur kegiatan di IMM.

Lihatlah bagaimana politik merusak kebudayaan dan seni, sebab memang sedemikian berbahaya alat yang kita sebut sebagai seni dan kebudayaan ini dalam mengganggu agenda-agenda politik yang kian hari semakin jauh dari persoalan orang banyak.

Padahal, mereka tak punya urusan dengan politik, para seniman itu cuma hendak mengembalikan pendekatan seni-budaya ke tengah masyarakatnya guna menegaskan pengabdiannya pada masyarakat melalui seni, melalui kebudayaan.

Tak percaya? Cobalah bertanya, soal nasib dua anggota PRD (Partai Rakyat Demokratik) di masa-masa Reformasi tengah bergejolak, kenapa Wiji Thukul hilang sementara Budiman merapat ke Prabowo Subianto?

Benar, politisi memang lawan dari politisi yang lain, tapi seniman, tapi seni dan kebudayaan, adalah musuh dari setiap politisi.

Kalau saja ada seniman yang tak jadi musuh politisi, kerja-kerja seni-budayanya mesti ditimbang kembali.

Ini bukan soal dikotomi, ini soal kesadaran, bahwa sejak awal yang dibutuhkan dalam mengatasi krisis peradaban yang terjadi di tengah masyarakat banyak adalah pendekatan seni-budaya, sementara pendekatan politik justru hendak menjauhkannya.

Masih tidak percaya? Mari kita tengok beberapa kasus ini misalnya, Slank yang dulu lantang mengkritik itu kini sukses jadi objek politik dengan Polisi yang Baik Hatinya. Butet dengan sadar berdiri membagus-baguskan kepentingan politik golongan tertentu. Keduanya dicemooh orang banyak.

Maka, jika IMM bertanya ke mana arah kesenian dan kebudayaannya mesti dibawa, penulis akan menjawab, jadilah Wiji Thukul yang tidak hilang dan jangan jadi Slank atau Butet sang penyair pesanan.

Romantisme Sunni adalah pokok masalah yang selanjutnya akan dibahas dalam sub-bab ini. Menyasar agenda seni, budaya, dan olahraga yang kerap dilakukan IMM serta beberapa persoalan yang menyertainya.

Penulis berangkat dari PHIWM, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, dalam memandang seni dan budaya dimuat sebanyak 7 poin guna menjawab kekhawatiran tentang posisi seni dan budaya di Persyarikatan.

Lengkap beserta dalil pendukungnya. IMM tak perlu lagi takut mengekspresikan seni yang bagi PHIWM itu dapat menumbuhkan perasaan halus-indah (PHIWM, 2000).

Namun kegagalan mengartikan apa-apa yang dimuat dalam PHIWM kadang menjadi penghambat ekspresi itu sendiri, pasalnya halus-indah ini dimaknai secara normatif. Bahwa halus yang dimaksud bukan sekadar untaian kalimat picisan yang indah tak berperi tapi kemudian membuat kita lupa melihat sekitar.

Bagaimana kita dapat bermanis-manis kata sementara jutaan manusia di luar sana tak memiliki rumah, diusir dari tanahnya, atau dipukul habis oleh aparat negara? Ini mesti digarisbawahi, bahwa halus yang dimaksud bukan sedang membahas produk seni dan budaya yang dihasilkan, melainkan perasaan.

Soal seberapa perasa kita dalam memandang kemiskinan masyarakat banyak dan seberapa besar hati kita tergerak untuk berbicara atas nama kaum-kaum yang terpinggirkan. Itulah halus dalam ekspresi seni IMM. Maka IMM boleh bahkan wajib marah, dan seni-budaya adalah salah satu medianya.

Membahas olahraga lain lagi, penulis akan mendakwa SBO gagal ketika pertanyaan-pertanyaan semacam “Apakah boleh laki-laki bermain futsal menggunakan celana pendek?” masih timbul-tenggelam, berkelindan hadir di tengah-tengah kader.

Pasalnya ihwal pokok persoalan ini sudah sejak lama dibahas. Kemudian muncul pemandangan lain yang tak kalah menarik ketika IMM berbondong-bondong melakukan olahraga yang katanya (dan memang) sunnah, yakni panahan, berkuda, dan berenang.

Maksud penulis begini, IMM sudah harus mulai mengerti tentang perbedaan “Islam Identik” dengan “Islam Otentik”.

IMM mesti jadi kurir ideologis yang baik dalam menderaskan pandangan Islam Berkemajuan Muhammadiyah, ekspresinya tentulah menghindari jurang beragama yang sifatnya simbol-simbol belaka. Identik belum tentu otentik, tapi otentik sudah pasti identik. Hematnya, tak perlu ada pengkhususan dalam kegiatan olahraga yang diinisiasi oleh IMM. Posisinya sama dan kesemuanya mesti diniatkan ibadah.

Alternatif Gerakan SBO IMM, Mungkinkah?

Tidak. Jika duduk persoalannya adalah alternatif gerakan, maka penulis akan menjawab ‘tidak’ sebelum akhirnya permasalahan ini dibahas secara resmi dalam konsolidasi kebudayaan IMM, kongres kebudayaan, dan dijadikan agenda penting organisasi.

Kebudayaan adalah bunga, sementara masyarakat adalah tanah tempat bunga-bunga ini akan mekar nantinya. Dalam kasus IMM, kebudayaan adalah bunga yang mesti terus disiram-dipupuk kembali dalam bingkai gerakan guna mewujudkan revolusi kebudayaan tahap kedua, guna meluruskan kiblat kesenian dan kebudayaan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.

Namun jika yang ditanya adalah alternatif kegiatan, mulailah dari beberapa agenda sederhana guna memberi pendidikan kebudayaan sebagaimana yang sejak awal sudah penulis jelaskan di atas.

Kemas penjelasan ini dengan kegiatan yang sesuai dengan peta kader di tempat khalayak pembaca sekalian berada, sembari kita lakukan kampanye bahwa pada suatu waktu yang akan datang IMM akan melangsungkan kongres kebudayaan. Bidang SBO sedunia, bersatulah! (*)

(Artikel ini juga dimuat di suaramuhammadiyah.id)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini