*) Oleh: Muh Taufiq Firdaus
Situasi sosial-politik Indonesia saat ini mudah memicu konflik dan ketegangan. Hal ini lantaran suhu politik Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 semakin menghangat dan membuncah.
Narasi yang kerap muncul di layar TV hanya sebatas makian, hujatan dan nir-adab. Masing-masing kelompok saling menegasikan dan memojokkan, tidak ada objektivitas apalagi rasionalitas.
Ini diperparah dengan gempuran informasi di media sosial pribadi, yang tidak pernah ter-filter dengan sempurna sehingga mengkristal begitu saja di benak masyarakat sebagai keyakinan a la fanatik buta (true believing).
Pemilu seakan-akan menjadi momok yang menakutkan meskipun di saat bersamaan tetap menggiurkan. Kendati demikian, pemilu menjadi salah satu proses yang legal dalam sistem demokrasi untuk mempertahankan (defend) atau dimakzulkan dari kekuasaan.
Demokrasi pasca reformasi di Indonesia, membawa satu risalah penting untuk menjadi negara Baldatun Thoyibatun (Negara yang Baik). Setelah lepas dari kerangkeng otoritarian, Indonesia baru bisa menghirup kebebasan sipil dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang sebelumnya di de-legitimasi oleh kekuasaan Orde Baru.
Muhammad Iqbal (1977-1938) memberikan definisi penting soal demokrasi, yang ia sebut sebagai “Demokrasi Spiritual”. Bahwa dalam demokrasi, kebebasan manusia dijamin penuh oleh konstitusi, tetapi harus berorientasi kepada tegaknya keadilan dan nilai-nilai moral secara nyata dalam kehidupan kebangsaan.
Aristoteles (384-322 SM), sejak 2000 tahun yang lalu, sudah menyatakan bahwa demokrasi sama dengan kebebasan. Menurutnya hanya dengan kebebasan warga negara dapat menjalankan fungsinya sebagai manusia penuh, karena mendapatkan kedudukan yang sama di mata hukum (equalitiy before the law).
Kritik atas Nalar Demokrasi
Dua puluh lima tahun sejak reformasi dikumandangkan, tesis soal demokrasi patut dimunculkan kembali ke publik seraya diuji kembali. Adagium “dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat” yang menjadi basis sosiologis dari demokrasi, menjadi anomali tersendiri dibalik rapuhnya pelaksanaan sistem demokrasi di Indonesia saat ini.
Dalil kedaulatan rakyat hanya menjadi retorika kosong di setiap musim pemilu. Demokrasi berjalan mundur, utopia demokrasi bukan lagi menjadi mimpi bagi bangsa secara kolektif. Dengan meminjam istilah Olle Tornquist (1999), demokrasi semacam ini pada realitasnya telah dibajak dan ditundukkan untuk kepentingan “Kaum Jahat”.
Mengapa 25 tahun sejak sistem demokrasi digulirkan, kesenjangan sosial-ekonomi semakin menganga dan ketidakadilan semakin terlihat? Bukankah demokrasi harusnya memangkas semua dera derita yang dialami di masa lalu? Lantas mengapa ironi ini kembali lagi setelah 25 tahun reformasi digaungkan? Mungkinkah yang salah demokrasi?
Menurut penulis, dengan berbagai kekurangannya, demokrasi masih menjadi pilihan yang terbaik dari berbagai sistem pemerintahan saat ini berlaku. Yang kita perlukan adalah kematangan secara moral, intelektual dan politik untuk merawat sekaligus mendewasakan proses demokrasi dengan berbagai risiko dan kecacatannya.
Ahmad Syafii Maarif (2010) menyebut demokrasi sebagai sistem yang “pincang”, namun demokrasi tetap lebih baik dibandingkan sistem-sistem politik lainnya yang dipandang “lumpuh”.
Bisa jadi demokrasi secara sistem sudah high quality, namun orang yang menjalankannya justru low quality. Hal ini yang menjadikan demokrasi di Indonesia terbengkala, lantaran belum memenuhi prasyarat bagi tegaknya demokrasi yang sehat nan kuat.
Orang-orang yang mengemudi dibalik sistem demokrasi justru bersikap tuna-moral dan tuna-tanggung jawab. Di bawah kendali oknum tersebut, demokrasi berubah menjadi biang dari kegagalan suatu bangsa, bahkan tidak layak disebut sebagai sistem demokrasi.
Kelompok ini adalah parasit demokrasi yang telah membajak bahkan menggerogoti esensial dari demokrasi untuk kepentingan sepihak dan kelompok, dengan mengabaikan kebaikan dalam tatanan sosial yang lebih luas.
Indeks demokrasi yang dirilis oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) tahun 2022, menunjukan demokrasi kita masih beada di peringkat ke-52 dengan skor 6.71, Indonesia dikelompokkan sebagai negara demokrasi yang cacat (Flawed Democracy).
Dalam catatan EIU, Indonesia masih memiliki masalah seperti kebebasan pers, budaya politik antikritik, partisipasi politik warga yang lemah, dan kinerja pemerintah yang belum optimal.
Pasca Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, komposisi pemerintahan dikuasai oleh dominasi partai politik yang memiliki pertalian bisnis dengan pemilik modal yang menjelma menjadi kekuatan oligarki (oligarchy). Oligarki digambarkan oleh Jefry Winters (2011), sebagai alat politik untuk mempertahankan kekayaan dan akses sumber daya.
Perangai kuasa dalam suatu oligarki, bahwa siapapun yang mempunyai kendali atas sumber daya materi secara otomatis akan mengendalikan kekuatan politik dan ekonomi di suatu negeri.
Pada gilirannya, kekuatan oligarki ini menciptakan situasi yang mencekam. Dalam situasi ini masyarakat tidak terlibat aktif dalam penentuan kebijakan strategis, bahkan suara mereka cenderung dikesampingkan.
Berbagai produk legislasi yang disahkan oleh Pemerintah dan DPR seperti Revisi KPK, UU Omnibus Law Ciptaker, UU Minerba, KUHP dan terakhir Perpu Ciptakerja meskipun menabrak segala aturan dan mengalami penolakan masif dari berbagai kalangan, produk hukum tersebut tetap sah diundangkan.
Haedar Nashir (2021) menyebut ini sebagai Pseudo Demokrasi (Demokrasi Semu), sebagai suatu kondisi politik demokratik yang hanya dinikmati oleh segelintir kaum elite, sementara masyarakat hanya sekadar menjadi pemberi suara dan suaka politik belaka tanpa memiliki akses yang leluasa untuk mengintervensi keputusan-keputusan fundamental yang mencakup hajat hidup mereka.
Dalam Pseudo democracy inilah, oligarki politik dan oligarki bisnis, beranak-pinak, menggurita dan meraksasa. Akibatnya, sistem demokrasi di tangan para elite, memberikan pemandangan yang buruk sebagai keadaan yang culas, penuh intrik, gimik, dan koruptif. Sementara narasi-narasi idealitas demokrasi hanya sebatas retorik yang tersimpan secara rapih dalam saku celana mereka di saat musim pemilu.
Situasi ini sekaligus membatalkan dalil demokrasi sebagai sistem yang mengutamakan partisipasi publik secara luas dan merata. Partisipasi tidak hanya sekadar diartikan sebagai keikutsertaan (to partake of) yang bersifat pasif dalam kehidupan berdemokrasi.
Namun lebih dari itu, partisipasi harus diniscayakan sebagai kontribusi bersama (to partake in). Pemimpin dan warga negara mempunyai kedudukan yang sama dalam memajukan kehidupan demokrasi, tidak ada sekat atau dinding pemisah, keduanya merupakan instrumen yang saling bertalian. Sehingga tidak ada lagi istilah subjek adalah pemerintah dan warga negara diposisikan sebagai objek negara.
Ruang Pengap Politik
Kendati kondisi demokrasi kurang menggembirakan, pemilu 2024 tetap musti berjalan sehat dan independen. Pemilu menjadi infrastruktur dalam demokrasi untuk memilih siapa yang absah menjadi pemimpin di suatu bangsa.
Tidak ada yang bisa membatalkan keputusan pemilu selain dari kehendak rakyat. Pemimpin dalam negara yang demokratis, akan memperoleh “surat-kuasa” yang berlaku dalam lingkup dan masa terbatas.
Pemimpin yang menerima surat kuasa tersebut punya konsekuensi harus bertanggungjawab atas kinerjanya kepada rakyat secara langsung, dan bila dianggap perlu, surat kuasa bisa ditarik kembali (pemakzulan) jika beberapa hal diingkari.
Di alam pikir negara modern, raison d’etre dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Kedaulatan sebuah bangsa berada ditangan warga negara yang setara tanpa mengulik perbedaan, baik dari perbedaan agama, ras, suku, pandangan ideologi, status pendidikan, kelas sosial, warna kulit atau jenis kelamin sekalipun.
Dalam lintasan sejarah ketatanegaraan, Indonesia sudah lama menjajaki dan menghendaki sistem pemilu, namun pemilu yang paling dianggap demokratis baru ada setelah era reformasi.
Pemilu tahun 2004 diasumsikan sebagai millestone penting bagi sejarah kepemiluan di Indonesia dengan menghadirkan pemilihan langsung oleh rakyat (direct voters). Setelah 19 tahun berlalu, kini kita berada persis di depan gerbang pemilu 2024.
Kendati kontestasi politik masih terbilang cukup jauh, namun geliat adanya perpecahan telah terendus sejak dini. Suhu politik diantara kandidat semakin memanas. Masing-masing pendukung melakukan reaksi mendahului argumentasi, berbagai tindakan bullying, menebar hoax, melepas kebencian dan hujatan, menjadi komsumsi politik kita sehari-hari.
Kini, politik kita benar-benar menjadi runyam dan menjadi pengap sebab tak ada lagi ruang untuk dialog keadaban politik. Politik benar-benar memunculkan tabiatnya who gets what, when and how (siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana).
Di saat yang bersamaan, partai politik tidak lagi memprakarsai keadaban politik, mereka tercabut dari akar ideologisnya, kehilangan sisi genuine-nya sebagai instrumen dasar dari pemilu dan mencoba untuk mendulang manfaat sebanyak mungkin di tengah konflik dan ketegangan.
Kenyataannya kebanyakan partai politik dalam mengusung ide dan gagasan, nyaris tidak banyak yang berbeda. Baik partai yang berbasis agama maupun nasionalis tidak mampu menghadirkan platform yang tegas di antara keduanya, koalisi yang terbentuk hanya sebatas pertemuan elektoral dan transaksional yang bersumbu pendek.
Maka tidak heran, politisi di setiap musim pemilu akan sering gonta-ganti pasangan koalisi, mempertemukan kepentingan kelompok, bisnis, keluarga dan individu. Sementara kepentingan hajat hidup rakyat, akses pendidikan, penegakan HAM, keadilan hukum, sosial dan ekonomi berada diantrian terakhir dalam pertemuan itu.
Komposisi kandidat Pilpres 2024 sudah memasuki babak final, dengan tiga sosok Calon Presiden (Capres) yang kerap saling sikut menyikut diperolehan hasil survei. Namun Pilpres 2024 masih menyimpan banyak enigma dan kejutan.
Persis yang digambarkan oleh Michael Gallagher dan Michael Marsh (1988) yang diilustrasikan sebagai “kebun rahasia politik” (the secret garden of politics), karena proses pemilihan kandidat dan dukung-mendukung yang tertutup rapat antara elite politik, sukar tersentuh oleh publik.
Hal yang patut ditegaskan, menyodorkan kandidat ke publik tentu menjadi hak konstitusional bagi partai politik, namun yang diingingkan oleh publik, bukanlah kandidat yang dapat dipasung, dirantai, disekap, dan dihimpit diantara kepentingan partai politik semata.
IMM dan Tantangan Kebangsaan
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) sebagai organisasi otonom (Ortom) Persyarikatan Muhammadiyah, sejak tahun 1964 telah menapaki berbagai macam dinamika sosial-politik kebangsaan di Indonesia.
Dalam rentan yang sangat jauh itu, IMM terlatih dan terdidik untuk terlibat dan bertanggungjawab pada proses penyelenggaraan Pemilu 2024 nantinya.
Tanwir Banjarmasin yang diselenggarakan pada tahun 2023 turut melahirkan salah satu naskah ideologis yang starategis unutk menjawab persoalan Keislaman, Kemuhammadiyahan dan Keindonesiaan.
Tanwir yang mengangkat tema “Bergerak Bersama Membangun Peradaban” berhasil merumuskan 7 poin deklarasi.
Salah satu poin dalam deklarasi tersebut menyoroti laku politik kebangsaan yang akhir-akhir terjebak dalam laku pragmatis dan partisan.
IMM dengan tegas menyatakan dalam deklarasinya “Organisasi IMM sebagai gerakan politik kebangsaan yang bersifat independen memberikan solusi konstruktif serta terlibat aktif dalam politik diaspora kader berbasis nilai Ikatan di ruang-ruang kekuasaan demi kemajuan bangsa”.
Dalam poin itu, ditunjukkan kesadaran histroris dan ideologis IMM menghantarkan pada pilihan terlibat aktif dalam politik kebangsaan (genuine participation), yang dalam waktu dekat akan ada kontestasi elektoral yang berpotensi mengganggu bingkai harmoni kebhinekaan dan kebangsaan.
Setidaknya IMM dalam melakukan intervensi terhadap penyelenggaraan pemilu yang bersih dan sehat, sudah memiliki modal sosial yang kuat dan terjamin. Pertama, secara institusi, IMM telah banyak membuat legacy di wilayah kebangsaan dan kebhinekaan di Indonesia.
Merespons berbagai macam kebijakan eksekutif maupun legislatif, melakukan advokasi terhadap kaum marginal, musthad’afin dan ringkih, dan turut terlibat dalam rangkaian beberapa peristiwa demonstrasi yang berakhir pada kemenangan-kemenangan kecil bagi masyarakat.
Di wilayah Timur Indonesia, IMM mempunyai peran Kebhinekaan untuk merajut solidaritas lintas iman yang barada dibawah naungan Amal Usaha Muhammadiyah, yang disebut oleh Abd Mu’ti (2023) sebagai “Kristen Muhammadiyah”, yaitu salah satu varian pertemuan sosiologis yang saling terbuka dan menerima antara satu sama lain.
Beberapa mahasiswa Nasrani di Kampus Muhammadiyah turut terlibat aktif dalam beberapa kegiatan IMM. IMM tidak pernah sedikitpun melupakan atau dengan sengaja meninggalkan basis Trilogi-nya (Keagamaan-Kemahasiswaa-Kemasyarakatan) sebagai pijakan organisasi dan pergerakan.
Kedua, kader IMM yang tersebar di seluruh Indonesia mempunyai kekuatan besar di wilayah kepemimpinannya masing-masing. Mulai dari tingkatan komisariat, cabang, daerah, IMM memiliki kuantitas kader yang berlimpah.
Realitas numerik ini menegaskan besarnya peran dan tanggungjawab IMM dalam kehidupan kebangsaan. Modalitas numerik ini menjadi tantangan bagi IMM untuk memaksimalkan intervensi terhadap penyelenggaraan Pemilu yang berintegritas.
Bila diasumsikan sebagian besar usia para kader aktif IMM mulai dari tingkatan komisariat hingga pusat berada diusia 18 – 31 tahun, artinya kader IMM akan menjadi pemilih di tahun 2024.
Bila dilihat pravelensi usia kader IMM dengan mengikuti klasifikasi teori generasi (Generation Theory), kader IMM termasuk dalam kategori pemilih muda (Generasi Millenial dan Z), yang mendominasi suara pemilih pada pemilu 2024 dengan total 54,64 persen Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang disahkan oleh KPU.
Survei yang dilakukan Center for Strategic and International Studies (CSIS) menjadikan pemilih muda sebagai suara penentu di pemilu 2024. Maka tak heran partai politik dan politisi belakangan sibuk mendekati pemilih muda dengan berbagai macam strategi, mulai perekrutan kader hingga memainkan strategi kampanye di media sosail yang dekat dengan aktivitas anak muda.
Sebagai pemilih muda, kader IMM bisa menjadi The guardian of election untuk menjaga kualitas dan menjamin kehadiran iklim politik yang beradab. Kader IMM perlu untuk memaksimalkan peran ini dengan berbagai macam variasi program dan kebijakan.
Di musim pemilu, kader-kader IMM patut untuk mewaspadai varian penyakit TBC, yaitu takhayul politik, bid’ah politik dan coruption (korupsi) politik.
Ketiga macam penyakit politik ini termasuk kategori purba yang sukar untuk dihilangkan. Takhayul politik adalah panggung elite politik untuk mengumbar janji dan program, pemilih berpotensi percaya dan yakin bila tidak mawas diri, pemilih akan tertipu dari jargon kosong yang dibalut retorika. Penyakit hoax juga bagian dari penyakit ini.
Bid’ah politik adalah serangkaian strategi kampanye yang berusaha berselancar di arus isu agama dan politik identitas untuk mengafirmasi kekuatan dan kekuasaan, kerap disalah-gunakan sehingga berujung persekusi politik dan kekerasan politik.
Alih-alih menyatukan, diujung dari bid’ah politik justru akan semakin meninggikan dan melebihkan perbedaan. Saling merasa benar dan paling kuasa, justru sikap ini membahayakan bingkai kebhinekaan. Terakhir korupsi politik, mulai dari penyelenggara pemilu, peserta pemilu hingga pemilih, berpotensi untuk terjangkit pada penyakit ini.
Money politics yang sering dilakukan dengan metode “Serangan Fajar” membuat demokrasi kita menjadi keropos dan rapuh. Pilar yang harusnya ditegakkan sebagai prinsip pemilu yang jujur dan sehat kerap ternodai. Persekongkolan kebijakan penyelenggara pemilu juga menjadi bagian dari penyakit ini.
Salah satu vaksinasi yang dapat menghalau itu semua adalah kesadaran dan partisipasi kader IMM. Infrastruktur yang dimiliki IMM menjadi landasan pacu untuk terlibat dalam serangkaian proses politik kebangsaan. Sekaligus meneguhkan peran kebangsaan IMM terhadap dinamika politik di Indonesia.
Mungkin IMM perlu merumuskan beberapa pertanyaan srtategis yang akan membantu memvalidasi keabsahan proses partisipasi dan kesadaran IMM diamana sebenarnya kita terlibat.
Apakah dinamika politik ini benar-benar melibatkan kita? Apakah kita hanya diperlakukan sebagai bidak catur yang bagaimanapun telah dilakukan pengaturan (dramaturgi) seluruh adegan politik di panggung? Apakah kita benar-benar memberikan kontribusi? Atau hanya organisasi yang melegitimasi seluruh manipulasi yang terjadi?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut patut kita ajukan sebagai bagian reflektif dinamika dan peran kebangsaaan pada proses demokrasi kita, agar keterlibatan IMM dalam membangun dan merawat kebangsaan benar-benar dilakukan dan dirasakan secara kolektif dan demi tujuan utopia Muhammadiyah dan IMM. (*)
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal
Hadiz, Vedi R. Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Indonesia Pasca-Soeharto, Jakarta: Penerbit LP3ES, 2005.
Hardiman, F Budi. Demokrasi Deliberatif, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2009
Hardiman, F. Budi Ruang Publik; Melacak “Partisipasi Demokratis” dari Polis Sampai Cyberscape, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2010
Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan Diskriminasi, Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2010
Nashir, Haedar. Agama, Demokrasi dan Politik Kekerasan, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2021
Nashir, Haedar. Indonesia: Ideologi dan Martabat Pemimpin Bangsa, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2022
Mu’ti, Abdul & Riza, Fajar Ul Haq. Kristen Muhammadiyah, Mengelola Pluralitas Agama dalam Pendidikan, Yogyakarta: Kompas, 2023
Murod, Ma’mun Al-Barbasy. Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan Demoralisasi Politik Indonesia, Bekasi: Penjuru Ilmu, 2020
Syafii, A. Maarif. “Demokrasi yang dibajak; Perselingkuhan Negara, Fundamentalis Pasar dan Agama”. MAARIF 6 .1. (2011)
(Artikel ini juga dimuat di suaramuhammadiyah.id)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News