Soal Pinjaman Pribadi di Medsos, Begini Penjelasan Ulama Tarjih
foto: pixabay/semevent
UM Surabaya

Belakangan, jagad Twitter saat ini sedang diramaikan dengan istilah PINPRI. PRINPI, singkatan dari Pinjaman Pribadi, merupakan jenis pinjaman yang mengandalkan platform media sosial dengan tujuan memenuhi kebutuhan pribadi.

Banyak pihak yang merasa tertarik dengan tawaran PRINPI ini karena syaratnya yang terbilang mudah.

Hanya dengan menyediakan KTP, nomor WhatsApp, alamat tempat tinggal, dan bahkan akun media sosial, seseorang dapat mengajukan pinjaman.

Namun, ada yang perlu diwaspadai, yaitu PINPRI cenderung memberikan tenor atau jangka waktu yang sangat singkat dengan tingkat bunga yang lumayan tinggi.

Ini menjadi perdebatan di antara masyarakat, karena beberapa pihak berpendapat bahwa PINPRI lebih berisiko dibandingkan dengan pinjaman online (Pinjol).

Sebab PINPRI tidak memiliki badan hukum dan tidak diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Oleh karena itu, penyedia layanan PINPRI seringkali menggunakan taktik tekanan dan ancaman terhadap mereka yang gagal membayar pinjaman sesuai jatuh tempo.

Dalam perspektif Fikih Muamalah, istilah pinjam-meminjam disebut sebagai Ariyah atau I’arah. Dalam kitab Al-Fiqh al-Minhaji, Ariyah atau I’arah adalah perizinan penggunaan manfaat barang yang dibolehkan oleh agama tanpa merugikan fisik barang tersebut.

Prinsip ini didasarkan pada ayat-ayat Alquran, seperti yang tertulis dalam surat Al-Maidah ayat 2, yang mengajak untuk tolong-menolong dalam perbuatan baik dan takwa.

Sekretaris Divisi Kajian Ekonomi Syariah Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Agus Miswanto, menjelaskan bahwa tolong-menolong, terutama kepada mereka yang membutuhkan, merupakan bagian integral dari ajaran Islam.

Sebaliknya, eksploitasi terhadap individu yang rentan atau lemah adalah tindakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan prinsip ekonomi Islam.

Hal ini sesuai dengan ajaran yang termaktub dalam Alquran, seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 275, 276, 278, dan surat Al-Nisa ayat 161, yang mengharamkan segala bentuk pinjaman yang melibatkan riba.

“Meminjami orang dengan mengenakan bunga apalagi bunga tinggi, bukanlah menolong tetapi melakukan eksploitasi ekonomi, dengan memanfaatkan orang yang membutuhkan untuk dikeruk manfaatnya oleh orang lain. Dengan ungkapan lain, penindasan ekonomi dengan kedok menolong sangat bertentangan dengan spirit ekonomi Islam dan nilai kemanusiaan universal,” terang Agus kepada muhammadiyah.or.id, Jumat (1/09).

Dengan demikian, PINPRI, meskipun menawarkan keringanan syarat, dapat berisiko tinggi dan tidak sesuai dengan prinsip ekonomi Islam yang menekankan tolong-menolong dan keadilan ekonomi yang berlandaskan nilai kemanusiaan.

Oleh karena itu, dalam mempertimbangkan opsi pinjaman, penting untuk merenungkan nilai-nilai agama dan prinsip-prinsip ekonomi yang mendukung kebaikan bersama dan menjaga keadilan. (*/tim)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini