*)Oleh: Chulil Barory SE MM
Anggota Majelis Tabligh PWM Jatim
Peran dakwah merupakan unsur yang penting dalam perkembangan agam Islam. Di mana yang di dalamnya merupakan ajakan kepada semua manusia untuk menyembah Allah SWT, beribadah hanya kepada-Nya, serta menyeru untuk berbuat kebaikan dan mencegah pada kemungkaran.
Dakwah memerlukan strategi agar tidak salah arah. Hal tersebut dikarenakan banyaknya tantangan dalam mengemban tugas dakwah baik pada individu maupun masyarakat.
Allah SWT berfirman:
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl 16: Ayat 125)
Ada beberapa hal yang ditempuh supaya dakwah tidak salah arah:
1. Berpegang teguh pada Alquran dan hadis
Kedua hal tersebut merupakan pedoman utama orang Islam, tak terkecuali sebagai rujukan dalam berdakwah dan tidak menjadikan sumber-sumber pedoman lain yang mengarah pada kesesatan.
Oleh karenanya Ketika seseorang mengalami hambatan dalam berdakwah, maka Allah sudah merumuskannya untuk segera kembali pada Allah dan Rosulnya, sebagaimana firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa ayat 59)
2. Tidak fanatik buta
Dalam buku Pluralisme Positif, Abdul Mu’ti dan Azaki Khoirudin menulis bahwa Kiai Dahlan berusaha menghapus tradisi rahibyiah. Sebuah tradisi yang meyakini bahwa ulama adalah figur suci, pemegang otoritas agama, dan penghubung manusia dengan Tuhan.
Melalui penyampaian dakwah yang dialogis, Ahmad Dahlan meletakkan dasar-dasar prinsip egaliter atau kesetaraan dalam beragama.
Ulama adalah manusia biasa, bukan “manusia setengah dewa” yang harus dipuja-puja dan dibenarkan segala perilakunya. Akibatnya, agama dipahami sebagai ajaran yang bisa dipelajari oleh siap pun, di mana pun, dan kapan pun.
Kiai Dahlan juga mencoba untuk menjangkau berbagai kalangan. Untuk itu, ia mengikuti Jamiat al Khoir, Budi Utomo, dan Sarekat Islam. Hal ini ia lakukan sebagai upaya membangun jaringan sosial dan memperluas dakwah.
Ketika belakangan Kiai Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah, hubungan dengan ketiga organisasi di atas masih terjalin dengan sangat harmonis.
3.Transformatif non-Konfrontatif
Muhammadiyah, sebagaimana yang diajarkan oleh Kiai Dahlan, tidak suka dengan cara-cara yang konfrontatif, melawan, memberontak, memusuhi, menyerang, dan lain-lain.
Corak dakwah Muhammadiyah bersifat solutif. Memberikan solusi nyata dari permasalahan yang ada di masyarakat.
Ketika melihat banyak anak-anak miskin yang tidak berpendidikan, Kiai Dahlan tidak menyalahkan pemerintah kolonial, keraton, atau elemen lainnya. Ia mengambil inisiatif untuk memberdayakan anak-anak tidak berpendidikan tersebut secara langsung.
Pembangunan berbagai amal usaha butuh waktu yang lama agar dampaknya bisa dirasakan oleh masyarakat. Namun, hal tersebut adalah perwujudan nyata dari agama Islam.
Tidak sekadar retoris atau slogan-slogan semata. Maka, dakwah Muhammadiyah bersifat pelan tapi pasti.
Selain itu, karakter dakwah Muhammadiyah yang lebih lembut dan tidak konfrontatif membuat Muhammadiyah bisa berhubungan dengan berbagai pihak seperti pemerintah dan organisasi yang lain.
Muhammadiyah juga berprinsip sedikit bicara banyak bekerja. Tidak suka berwacana tetapi lebih banyak bekerja dan berbuat sesuatu untuk menyelesaikan persoalan masyarakat.
4. Kultural Pro-Pluralistik
Dakwah kultural adalah dakwah oleh umat Islam kepada orang lain untuk kesejahteraan seluruh umat manusia tanpa memandang agama, ras, suku, etnik, warna kulit, bahasa, dan gender.
Dakwah ini merupakan penyebaran rahmat melalui pendekatan dan metode yang bijak sesuai dengan kapasitas intelektual dan psikologis manusia tanpa paksaan apa pun.
Hal ini dicontohkan oleh Muhammadiyah ketika mendirikan Perguruan Tinggi. Setidaknya ada enam Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang memiliki mayoritas mahasiswa non-muslim. Yaitu Universitas Muhammadiyah Sorong, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Muhammadiyah Sorong, STKIP Muhammadiyah Manokwari, Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Muhammadiyah Jayapura, Universitas Muhammadiyah Kupang, dan IKIP Muhammadiyah Maumere.
Di kampus-kampus tersebut, mahasiswa yang sebagian besar beragama Protestan dan Katholik memiliki kewajiban mempelajari mata kuliah Al-Islam dan Kemuhammadiyahan untuk memberi pemahaman tentang Islam secara benar, tanpa dipaksa untuk masuk Islam. Ada juga beberapa dosen non-muslim yang mengajar, termasuk pastur.
Demikian pentingnya strategi dakwah dengan bil lisan (ceramah, tausiah, seminar) maupun bil hal (aksi nyata) agar menghasilkan sesuatu yang diinginkan, yaitu menebarkan agama Islam pada setiap hati manusia dengan tetap bernilai hikmah dan mencontohkan kebaikan. (*)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News