Kisah Warga Persyarikatan Jelang Pilpres
Ilustrasi: kpu

*) Oleh: Ahsan Jamet Hamidi
Ahsan Jamet Hamidi, Wakil Sekretaris LPCR-PM PP Muhammadiyah

Pekan lalu, panggung perpolitikan Indonesia dihebohkan oleh sebuah kejutan terkait ketetapan pasangan calon Presiden oleh salah satu kontestan dalam Pilpres 2024 nanti.
Partai Nasdem tiba-tiba menggandeng PKB, lalu memasangkan Anies Baswedan dengan Muhaimin Iskandar. Jumlah perolehan kursi kedua Partai tersebut memenuhi syarat untuk bisa mencalonkan Presiden.

Kabar itu langsung menjadi perbincangan publik. Terutama di media sosial. Ketetapan itu juga mengagetkan banyak pihak. Terutama partai yang selama ini tergabung dalam koalisi, yang digadang-gadang akan menjadi pasangan sebagai calon wakil presiden.

Ada kelompok yang suka, gembira. Sebaliknya, ada yang kecewa, sedih bahkan marah. Risikonya pasti sudah dipertimbangkan dengan matang untung-ruginya oleh para pemangku partai politik. Mereka sadar, tidak ada keputusan terkait urusan politik yang bisa menyenangkan semua pihak.

Sebagai penonton aktif, saya tidak melihat keanehan. Dalam permainan politik, perubahan bisa terjadi secara mendadak, kapan saja. Pola seperti itu hampir terjadi dalam setiap Pemilu.

Mengapa itu terjadi? Karena ada jarak cukup dalam antara logika para pemilih dengan kepentingan para kontestan dan partai politik. Bahkan, bisa jadi bertolak belakang.

Dalam sebuah pertemuan antar pengurus RT dan RW untuk acara pembubaran panitia 17 an di kampung saya, obrolan tentang Pilpres itu juga mengemuka. Banyak sekali komentar. Ada yang optimistis, mendukung penuh.

Sebaliknya ada yang pesimistis. Mereka memandang kejutan ini tidak lepas dari intervensi penguasa. Bahkan, ada yang menuduh bahwa kegaduhan ini sengaja dibuat untuk menggeser berita tentang kenaikan harga BBM.

Anehnya, ada juga yang merespons gembira. Menurutnya, “alam telah membuktikan dengan jujur bahwa petugas partai dan kepanjangan tangan oligarki itu nyata adanya”. Menarik dan lucu lucu.

Ketika bahan obrolan sudah habis terdiskusikan, tiba-tiba ada yang bertanya, “Kok Muhammadiyah adem ayem saja nih, Pak? Apa dong arahan pimpinan organisasi kepada para pengikutnya?”

Sang penanya tahu bahwa saya adalah Ketua Ranting Muhammadiyah di kampung itu. Mungkin, dia dan yang lainnya berharap saya bisa memberikan ulasan panjang terkait sikap politik Muhammadiyah.

Sebuah pernyataan kritis, sebagai oposan, atau sarat pujian, sebagai pendukung. Apa pun bentuknya, pernyataan itu akan mengundang perhatian jika dibarengi dengan sikap ekstrem.

Sikap Resmi Organisasi

Saya gagal memenuhi harapan mereka untuk menjelaskan tentang sikap Muhammadiyah terhadap hiruk pikuk soal Pilpres. Dengan santun saya sampaikan bahwa di Muhammadiyah belum ada arahan resmi terkait itu.

Kebijakan organisasi, biasanya akan disampaikan oleh Ketua atau Sekretaris Umum Muhammadiyah.

Sebagai pribadi, saya bebas memberikan pandangan politik, apa pun isinya. Namun demikian, saya melarang diri sendiri untuk mengidentikkan atau mengatasnamakan pernyataan atau tulisan saya itu sebagai pandangan organisasi. Tidak etis !

Saya menjelaskan tata krama dalam berkomunikasi di Persyarikatan Muhammadiyah. Pandangan atas suatu perkara, terutama yang terkait dengan persoalan politik, yang akan disampaikan oleh para pengurus Persyarikatan di semua tingkatan, memang harus mengacu pada sikap dan keputusan resmi Organisasi di tingkat pusat.

Keputusan resmi organisasi, ditentukan oleh unsur Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Hasilnya akan disampaikan oleh Ketua, Sekretaris Umum atau unsur Pimpinan terkait.

Jika ada pernyataan dalam bentuk verbal atau tulisan yang disampaikan oleh warga ataupun pengurus Persyarikatan, yang isinya tidak selaras dengan keputusan resmi organisasi, maka hal itu harus dipahami sebagai sikap pribadi.

Menjelang Pemilu 2024, sebagai Ketua Ranting Muhammadiyah, saya harus mengacu pada arahan Pimpinan. Misalnya, Sekretaris Umum Muhammadiyah, Prof Abdul Mu’ti pernah mengingatkan agar seluruh kader Muhammadiyah tidak membawa misi partai politik ke internal Muhammadiyah.

Sebaliknya, kader-kader justru harus membawa dakwah Muhammadiyah masuk ke partai-partai politik. Sebagai kader Persyarikatan, siapa pun bebas untuk ikut serta dalam kontestasi Pemilu.

“Jangan pernah bawa Partai dalam Persyarikatan Muhammadiyah dan Aisyiyah tapi bawalah Muhammadiyah agar bisa dakwah dalam beberapa partai agar sehingga marwah Persyarikatan Muhammadiyah dan Aisyiyah akan terus terjaga dan semakin mencerahkan umat,” kata Abdul Mu’ti dalam acara Tabligh Akbar Musyawarah Cabang (Musycab) Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Bumiayu, Brebes, Jawa Tengah, 31 Juli 2023 lalu seperti yang dilansir situs resmi Muhammadiyah.or.id

Watak Obrolan Tentang Politik

Saya berpengalaman dalam mengikuti obrolan tentang politik di berbagai komunitas. Hemat saya, hanya pada pernyataan-pernyataan ekstremlah yang menarik perhatian untuk disimak dan ditanggapi. Apalagi jika sudah menyentuh pada obrolan tentang masalah pribadi para calon kontestan.

Setiap detail informasi, haruslah disampaikan dengan gaya dan artikulasi bak seorang pejuang yang radikal, progresif dan revolusioner.

Jika tidak, maka obrolan akan terasa hambar. Meski sumber informasi yang disampaikan belum tentu valid dan sulit dikonfirmasi, karena berasal dari medsos.

Dalam obrolan tidak resmi itu, respons orang juga beragam. Ada yang hanya menyimak, ada yang ikut menanggapi dengan datar.

Tetapi, ada juga yang ingin mengimbangi sikap ekstrem orang lain dengan sikap yang serupa. Untuk itu, jangan kaget, jika pada akhirnya banyak cerita yang sejatinya biasa-biasa saja, tetapi kelihatan lebih menarik karena bumbunya banyak sekali.

Repotnya, meski obrolan itu setingkat warung kopi, tetapi terkadang memiliki efek yang luar biasa. Informasi yang didapat dari jurnal atau hasil penelitian ilmiah, bisa kalah oleh obrolan kelas kaki lima itu. Ia bisa begitu mengesankan.

Bahan mampu menghapus kesan baik seseorang yang sudah lekat dalam ingatannya. Obrolan warung kopi itu mampu menggeser sikap politik seseorang. Dari benci menjadi senang atau sebaliknya. Mungkin juga akan berpengaruh pada pilihan.

Pengalaman lainnya adalah, dalam obrolan itu, ada orang-orang tertentu yang sejatinya tidak benar-benar ingin mendapatkan informasi benar. Mereka hadir, menyimak tetapi sekedar untuk mendapatkan pembenaran atas sikap pribadinya yang lebih dulu ada.

Jadi, memang hanya mau mendengarkan informasi yang mereka kehendaki. Informasi yang bisa mendukung pandangan dan menguatkan pilihan politiknya. Jika ada pernyataan yang klop, maka obrolan akan semakin seru. Jika bertolak belakang, otomatis akan terhenti, bubar jalan.

Sebagai warga Persyarikatan, kita tentu harus selalu mawas diri. Selalu bersikap cermat dalam memfilter semua informasi. Kemampuan dalam mengkritisi setiap kabar berita yang terbaca dan terdengar, akan sangat berpengaruh pada pilihan seseorang dalam Pemilu. Hasil Pemilu, tentu juga akan berpengaruh pada kualitas demokrasi di Indonesia.

Sejauh pengetahuan saya, dalam setiap hajatan PEMILU, warga Persyarikatan memiliki kemerdekaan penuh untuk menentukan pilihan. Sebagai organisasi, Persyarikatan Muhammadiyah tidak pernah mengarahkan warganya untuk memilih calon tertentu. Karena kebebasan memilih tidak bisa diintervensi oleh siapa pun. Mari kita jaga prinsip itu. (*)

(Artikel ini juga dimuat di suaramuhammadiyah.or.id)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini