Pembahasan berikut akan memberikan pandangan mengenai urgensi dari nilai dan etika dalam aktivitas ekonomi. Karena tidak sedikit sebagian dari kita yang masih mempertanyakan, “Apakah perlu nilai dan etika dalam ekonomi?”
Menjawab pertanyaan ini, tentunya menjadi keharusan, khususnya dalam ekonomi Islam yang nyata-nyata mengusung konsep ekonomi moral (nilai dan etika).
Sebelum masuk dalam pembahasan etika dalam ekonomi, perlu kiranya dimulai dari pembahasan pentingnya etika dalam kehidupan manusia.
Cara pandang manusia akan makna dan tujuan hidup akan mempengaruhi cara pandangnya dalam menjalankan setiap aktivitas kehidupannya.
Keluasan kajian dan pengembangan etika ke dalam semua sendi kehidupan menjadikan etika sebagai ilmu pengetahuan yang secara simultan menjadi bahan kajian dan diskusi di kalangan para ilmuwan. Termasuk para ahli filsafat Yunani kuno, filsafat modern, maupun filsafat Islam.
Secara teoritis, etika merupakan salah satu cabang filsafat. Selain etika, kata moral, moralitas, etika, akhlak, susila, dan norma, merupakan sekumpulan kata dan istilah yang lazim digunakan (contohnya di Indonesia) untuk menjelaskan seperangkat nilai yang dianut dan dipegang oleh sekelompok orang atau masyarakat untuk kemudian memberikan penilaian terhadap suatu perbuatan dan tindakan tertentu apakah diterima atau tidak.
Pengertian Etika dalam Kehidupan Manusia
Oleh filsuf Yunani klasik Aristoteles (384-322 SM), kata etika dipakai untuk menunjukkan filsafat moral, yaitu disiplin ilmu yang menjelaskan tentang apa yang secara moral dikatakan baik dan buruk, benar dan salah. Etika juga disebut sebagai sistem atau teori nilai dan prinsip moral.
Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahui dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan. Di dalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan.
Maksudnya adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab. Baik tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam, maupun terhadap Tuhan sebagai sang pencipta.
Dalam perkembangan sejarah etika, ada 4 teori etika sebagai sistem filsafat moral. Yaitu hedonisme, eudonomisme, utiliterisme, dan pragmatisme. Isi dari etika adalah bentuk-bentuk kerendahhatian, kedermawanan, dan ketulusan.
Kerendahhatian merupakan kapasitas untuk membuat jarak diri dengan kepentingan pribadinya, menjauhkan ego sehingga ia dapat melihatnya secara objektif dan akurat.
Tiga kebaikan utama ini masing-masing berkaitan dengan tatanan manusia. Ketulusan adalah kemampuan untuk mengetahui benda-benda secara aktual dan objektif.
Kedermawanan adalah melihat orang lain seperti pada dirinya sendiri, sedangkan kerendahhatian adalah melihat diri sendiri seperti orang lain.
Dalam Alquran, etika biasa disebut dengan istilah akhlak. Akhlak, dalam Alquran dijelaskan sebagai budi pekerti (QS. 68: 4), adat kebiasaan (QS. As-Syu’ara: 137), perangai muru’ah dan tabiat.
Al-Ghazali menjelaskan, akhlak merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa yang melahirkan berbagai macam perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu.
Dalam ajaran Islam, dikenal 3 jenis akhlak. Di antaranya yaitu akhlak terhadap Allah, akhlak terhadap sesama manusia, dan akhlak terhadap lingkungan.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat pemahaman dan memberikan batasan bahwa etika atau akhlak adalah ilmu yang menjelaskan arti yang baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia kepada lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.
Relasi Etika dan Ekonomi Islam
Etika dalam aktivitas ekonomi menjadi keharusan. Karena etika adalah kompas dalam mengarahkan ekonomi pada jalan kebaikan dan keadilan, mengetahui mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan, mana yang mendatangkan manfaat dan mana yang mendatangkan mafsadat.
Menurut Qardhawi, Islam tidak bisa dipisahkan antara ekonomi (bisnis) dan akhlak, sama halnya tidak bisa dipisahkan antara ilmu dan akhlak, politik dan akhlak, perang dan akhlak.
Artinya, akhlak menjadi nadi dari setiap kegiatan muamalah yang dilakukan oleh umat Islam. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 168:
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.“
Ayat tersebut memberikan arahan bahwasanya manusia dalam memenuhi kebutuhan (ekonomi) harus memenuhi unsur halal lagi baik.
Secara zatnya harus halal, begitu pun proses atau cara mendapat suatu barang haruslah baik pula. Ajaran ini memberikan suatu pandangan nilai dan etika dalam ekonomi Islam.
Islam menekankan etika dalam berekonomi, tidak sekadar untung atau tidak untung dalam materi. Jauh dari itu, Islam mendasari ekonomi dengan dasar keadilan.
Sehingga Islam sangat menjaga agar perilaku ekonomi manusia dengan manusia, bahkan negara antar negara, tidak menjadi ajang kezaliman atau penindasan, serta tidak ada yang pihak dirugikan dalam kegiatan ekonomi.
Jika melihat perilaku manusia modern, perilaku mereka sepertinya semakin menjauh dari nilai-nilai moral dan akhlak.
Perilaku menjauh ini menegaskan pendapat Bauman tentang sifat manusia yang secara moral bersifat ambivalen, di mana pada hakikatnya manusia itu bukan baik dan bukan pula buruk.
Perilaku Manusia Modern yang Ambivalen
Pada kondisi ini, jika perilaku manusia dihubungkan dengan perilaku bisnis, maka tidak bisa dipastikan apakah dalam tindakan ekonomi atau bisnis yang dilakukan, manusia akan memperhatikan dan mempertimbangkan aspek-aspek moralitas antara baik dan buruk.
Ambivalensi inilah yang mengarahkan pada kondisi tertentu untuk sebuah motif manusia akan berusaha memenuhi kebutuhannya itu. Sehingga bisa jadi ia akan mencapai tujuannya itu dengan cara yang baik atau dengan cara yang buruk.
Jika kita menelusuri sejarah, dalam agama Islam, tampak pandangan positif terhadap perdagangan dan kegiatan ekonomis. Nabi Muhammad saw adalah seorang pedagang, dan agama Islam disebarluaskan terutama melalui para pedagang muslim.
Dalam Alquran terdapat peringatan terhadap penyalahgunaan kekayaan, tetapi tidak dilarang mencari kekayaan dengan cara halal (QS. 2: 275): “Allah telah menghalalkan perdagangan dan melarang riba.”
Islam menempatkan aktivitas perdagangan dalam posisi yang amat strategis di tengah kegiatan manusia mencari rezeki dan penghidupan. Hal ini dapat dilihat pada sabda Rasulullah saw.:
“Perhatikan olehmu sekalian perdagangan, sesungguhnya di dunia perdagangan itu ada sembilan dari sepuluh pintu rezeki.”
Dawam Rahardjo justru mencurigai tesis Weber tentang etika Protestantisme, yang menyitir kegiatan bisnis sebagai tanggung jawab manusia terhadap Tuhan, mengutipnya dari ajaran Islam.
Prinsip Berdagang Rasulullah
Prinsip-prinsip perdagangan yang dicontohkan Rasulullah saw adalah prinsip keadilan dan kejujuran. Dalam Islam, konsep perdagangan yang jujur adalah seperti dalam Al-Baqarah ayat 279, yaitu tidak adanya unsur kezaliman, baik menzalimi orang lain atau menjadi korban.
Rasulullah pernah melakukan intervensi dalam menentukan harga barang ketika terjadi situasi di mana harga barang melambung naik. Peningkatan harga tersebut disikapi oleh para sahabat dengan mengajukan saran agar Rasulullah mematok harga barang tersebut hingga tidak mengalami peningkatan lagi.
Kemudian, Rasulullah menolak sambil berkata: “Sesungguhnya Allah lah yang menentukan harga, yang menahan dan melapangkan rezeki.
Sangat aku harapkan bahwa kelak aku menemui Allah dalam keadaan tidak seorang pun dari kamu menuntutku tentang kezaliman dalam darah dan harta.” (HR. Anas)
Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa manusia, dalam berbisnis atau berekonomi akan selalu dihadapkan pada dua pilihan yang bertentangan.
Apakah dia akan berbuat baik dengan mengedepankan etika untuk kepentingan keadilan, atau melanggar nilai kebaikan dengan berbuat ketidakadilan untuk kepentingan pribadinya.
Etika Islam memberikan jalan tengah (moderasi) di mana aktivitas ekonomi dan bisnis tidak selalu diorientasikan untuk kepentingan maksimalisasi keuntungan atau benefit ekonomi.
Melainkan aktivitas ekonomi bisa menjadi jalan mencapai fallah, yaitu keuntungan dunia (profit), dan keuntungan akhirat (bernilai ibadah). (*)