Kepemimpinan Nasionalis sekaligus Agamis Tak Bisa Dibelah
Haedar Nashir
UM Surabaya

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyebut Pemilu 2024 sebagai harapan publik tentang demokrasi yang substantif dengan prinsip Luber Jurdil dan beretika, bermartabat, serta berlandaskan nilai luhur Pancasila.

Karena Pemilu tidak sekadar suksesi atau pergantian pemimpin semata. Melainkan Pemilu juga harus mewujudkan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang sejalan dengan Konstitusi 1945.

“Dalam hal itu, pemimpin yang terpilih berkewajiban mewujudkan perikehidupan Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur serta membawa negara dan bangsa berkemajuan jiwa dan raganya,” katanya saat menyampaikan Kuliah Umum tentang Keislaman dan Kebangsaan “Suksesi Kepemimpinan: Mencari Pemimpin yang Nasionalis dan Agamis” di Fakultas Hukum UII, Kamis (7/9/2023)

Menurut dia, para kontestan, khusus untuk Pilpres, berdemokrasi secara cerdas dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip bernegara yang benar berbasis Pancasila, agama, dan kebudayaan luhur bangsa.

Haedar memandang, kepemimpinan nasionalis dan agamis tidak bisa di dikotomi. Karena antara agama dan nasionalisme sudah mendarah daging pada setiap bangsa Indonesia.

Kedua entitas tersebut bisa saling koheren untuk menciptakan kemaslahatan di mana pun insan itu berada.

“Nilai-nilai dasar Islam itu sejatinya telah memiliki kerangka dasar yang penting tapi bersifat umum. Tinggal bagaimana setiap muslim itu hidup dalam kesamaan maupun keragaman berbasis pada nilai-nilai adil, amanah, kemudian ta’aruf, tasamuh, tawasuth dan berbagai nilai lainnya,” terang Haedar.

Melihat bangsa Indonesia dan sejarah panjangnya, Haedar menyebut bahwa sudah terbangun relasi antara prinsip-prinsip nasionalis dan agamis. Baik relasi secara sosiologi maupun ideologis.

Maka dalam pandangannya antara Keindonesiaan dan Keislaman berada dalam satu tarikan napas. Satu kesatuan untuk memajukan bangsa dan negara baik jiwa maupun raganya.

Terkait relasi agama dan negara, Muhammadiyah memiliki pandangan Indonesia sebagai Negara Pancasila Darul Ahdi Wasy Syahadah.

“Pandangan ini merupakan jawaban dari Muhammadiyah dalam menyikapi kemajemukan yang ada di tubuh bangsa ini. Sekaligus sebagai worldview bagi warga Persyarikatan Muhammadiyah ketika dihadapkan dalam dua entitas, agama dengan negara,” jabar Guru Besar Sosiologi ini.

Dia lalu menjelaskan, politik sepenuhnya masuk dalam muamalah. Maka berbangsa dan bernegara sepenuhnya adalah wilayah ijtihad, bahkan sistem politik islam itu sendiri sepenuhnya merupakan wilayah ijtihad.

Maka berlaku kaidah hukum semuanya boleh, sampai kemudian ada dalil yang melarangnya.

“Maka kalau sekarang dunia Islam beragam sistem politiknya itu memang wilayah ijtihad dan Alquran sendiri tidak memastikan sebuah sistem yang tunggal,” tutur Haedar.

Oleh karena itu, meskipun Indonesia sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim tetapi Agama Islam tidak “dinegerikan”.

Namun demikian, tokoh-tokoh Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo dan lain-lainnya berperan penting dalam merumuskan negara dan memerdekakan bangsa Indonesia.

Bahkan disetujuinya Pancasila sebagai filosofi negara adalah hasil kompromi tokoh-tokoh Muhammadiyah. (*/tim)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini