BNPT dan Stigma Buruk terhadap Umat Islam
Slamet Muliono Redjosari. foto: dewandakwahjatim.com
UM Surabaya

*) Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) kembali melontarkan gagasan agar pemerintah mengontrol semua tempat ibadah. Hal ini sebagai langkah antisipasi menangkal radikalisme.

Namun usulan itu ditolak Majelis Ulama Indonesia (MUI), karena dianggap sebagai langkah mundur dan mencerminkan cara berpikir yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi serta mencerminkan corak kepemimpinan yang tirani-despotisme.

Usulan BNPT ini merupakan bentuk kendali pemerintah terhadap aktivitas beribadah umat Islam. Mengontrol masjid merupakan refleksi atas stigma buruk pada umat Islam yang dicurigai sebagai penyemai radikalisme.

Fenomena Radikalisme

Kepala BNPT Rycko Amelza Dahniel dalam rapat dengan Komisi III DPR mengusulkan agar pemerintah mengontrol semua tempat ibadah di Indonesia agar tempat ibadah tidak menjadi sarang radikalisme, Senin (4/9/2023).

Dia menanggapi pernyataan anggota DPR Komisi III Fraksi PDIP Safaruddin yang mengulas adanya karyawan BUMN yakni PT KAI yang terpapar paham radikalisme.
Berdasarkan pengamatan Safaruddin, terdapat masjid di BUMN kawasan Kalimantan Timur yang setiap hari mengkritik pemerintah.

BNPT menanggapi hal itu dengan melakukan kontrol terhadap penggunaan dan penyalahgunaan tempat-tempat ibadah yang digunakan untuk penyebaran paham radikalisme.

Untuk menguatkan usulan itu, Rycko telah melakukan studi banding di negeri jiran Singapura dan Malaysia serta negara-negara yang jauh, yakni di Oman, Qatar, Arab Saudi, serta negara di Afrika Utara, yakni Maroko.

Di negara-negara itu, semua masjid, tempat ibadah, petugas di dalam yang memberikan tausiah, memberikan khotbah, memberikan materi, termasuk kontennya di bawah kontrol pemerintah.

Oleh karenanya, dia mengusulkan agar ada mekanisme kontrol serupa diberlakukan di Indonesia. Dia pun menegaskan bahwa hal ini tidak khusus untuk masjid saja, melainkan juga untuk semua tempat ibadah dari agama apa pun.

Seperti dilansir detik.com, di masjid-masjid selama ini siapa pun boleh memberikan, menyampaikan konten di masjid, sehingga menjadikannya sebagai alat untuk menyebarkan ajaran-ajaran kekerasan, ajaran-ajaran kebencian, menghujat golongan, pimpinan, bahkan menghujat pemerintah.

Tentu saja, apa yang disampaikan kepala BNPT ini menimbulkan reaksi keras dari berbagai komponen umat Islam.

Di antaranya Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menganggap usulan BNPT tidak lebih sebagai upaya untuk menghalangi kebebasan melakukan ibadah, serta sebagai cermin kepemimpinan tirani dan despotik.

Hal ini ditunjukkan dengan lebih menggunakan pendekatan keamanan (security) dari persuasif dan humanis. Pendekatan ini akan menciptakan saling curiga di antara umat Islam, sehingga tercipta ketidaknyamanan di lingkungan masjid.

Kepemimpinan Tirani-Despotik

Menggapai usulan BNPT itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sangat menyesalkan. Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas, menyatakan bahwa usulan tersebut jelas-jelas bertentangan jiwa dan semangatnya dengan UUD 1945 Padal 29 Ayat 2 yang mengatakan,

“Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Ini juga bertentangan dengan jiwa dan semangat Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang mengatakan bahwa Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Jadi kebebasan beribadah dan berpendapat di Indonesia sudah merupakan sebuah hak yang dilindungi oleh konstitusi.

Anwar Abbas menyatakan bahwa usulan BNPT agar rumah ibadah diawasi dan dikontrol oleh pemerintah, jelas sebuah langkah mundur dan mencerminkan cara berpikir serta bersikap yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang sudah kita bangun dan kembangkan selama ini secara bersusah payah.

Cara berpikir dan bersikap yang disampaikan oleh Kepala BNPT jelas-jelas tidak baik dan tidak benar karena mengarah kepada corak kepemimpinan yang tirani dan despotisme, yang lebih mengedepankan pendekatan security approach dan mengabaikan rasional.

Cara-cara kepemimpinan seperti ini, seperti dilansir republika.co,  biasanya dipergunakan orang dalam kepemimpinan yang bersifat otoritarianisme dan itu sudah jelas tidak sesuai jiwa dan semangatnya dengan falsafah dan hukum dasar negara kita yaitu Pancasila dan UUD1945.

Usulan kepala BNPT itu juga ditolak oleh KH Cholil Nafis, Ketua MUI bidang Dakwah dan Ukhuwah. Dia menyatakan bahwa usulan BNPT itu merupakan rencana pemerintah untuk mengontrol tempat ibadah.

Padahal keberadaan negara adalah untuk menjamin kebebasan umat beragama dalam beribadah dan menjalankan keyakinannya.

Usulan yang disampaikan oleh BNPT itu, merupakan bentuk kendali pemerintah terhadap aktivitas beribadah, sehingga tidak didapati lagi kebebasan beragama lagi sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.

Kalau alasan masjid dikontrol karena dijadikan sebagai sarana untuk mengkritik pemerintah, dan tumbuhnya radikalisme, maka hal itu menunjukkan adanya kezaliman dan pemaksaan oleh pemerintah kepada umat beragama.

Bahkan Kiai Cholil pun menegaskan bahwa negara sudah memiliki instrumen hukum sebagai aturan penyelesaiannya, dan apabila ada persoalan bisa diserahkan kepada ormas keagamaan, yang tidak lain sebagai mitra pemerintah.

Penolakan yang dilakukan oleh elemen MUI tidak lebih sebagai sebuah kekhawatiran adanya upaya untuk melakukan kontrol terhadap umat Islam melalui masjid. Masjid sering kali dipandang atau dicurigai sebagai tempat untuk menyemai paham radikalisme.

Padahal tudingan itu hanya dikait-kaitkan tanpa memiliki signifikansi yang jelas. Adapun kritik dari para dai yang berkhotbah di masjid dipandang sebagai bibit penyebaran radikalisme juga tidak memiliki basis data yang kuat.

Yang jelas, upaya mengontrol masjid tidak lebih sebagai kekhawatiran dari sebagian kelompok yang fobia terhadap Islam.

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini