Negara Harus Hadir Konflik Agraria, Bukan Malah Menyengsarakan Rakyat
Dr Faisal SH MHum. foto: ist
UM Surabaya

Maraknya konflik agraria yang kerap terjadi di beberapa daerah yang berujung kerugian kepada rakyat. Seperti kasus Wadas, dan yang teranyar Rempang di Batam Kepulauan Riau, jelas menimbulkan keprihatinan mendalam bagi seluruh anak bangsa Indonesia.

“Hal ini dikarenakan negara yang seyogianya atas amanat konstitusi memberikan perlindungan, kesejahteraan, kepada rakyat, malah melakukan hal yang merugikan dan menimbulkan penderitaan bagi rakyat,” kata Anggota Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia (MHH) PP Muhammadiyah Dr Faisal SH MHum, Selasa (12/9/2023).

Menurut dia, terlepas dari permasalahan alas hak kepemilikan lahan, kata Faisal, yang jelas seharusnya negara hadir dalam rangka menyejahterakan rakyat, bukan justru menyengsarakannya.

“Pemberian hak kepemilikan oleh negara kepada pihak-pihak tertentu sah-sah saja, sepanjang tidak merugikan rakyat. Karena sejatinya negara tidak memiliki hak atas tanah, yang ada hanya hak menguasai, dan itu bertujuan untuk kesejahteraan rakyat,” jabar dekan Fakultas Hukum UMSU ini,

Kata Faisal, keliru besar jika negara mengatakan sebagai pemilik tanah. Karena Hukum Agraria telah memberi kewenangan absolut bahwa Negara tidak boleh memiliki tanah, dan rakyat Indonesia boleh memiliki tanah atas pengakuan hak milik, dan hak-hak lain yang diatur oleh Undang-undang.

“Sehingga jika negara merasa sebagai pemilik hak dan dengan sesuka hati mengambil tanah- tanah yang telah diusahai dan dikuasai rakyat, dan memberikan kepada pihak tertentu, dengan alasan apa pun termasuk investasi jelas suatu perbuatan pelanggaran atas amanah konstitusi,” tegasnya.

Faisal melihat, selama ini praktik investasi di tanah-tanah warga hanya menguntungkan pengusaha. Sementara masyarakat hanya menjadi buruh dengan tingkat kesejahteraan yang kian merosot.

“Faktanya kesejahteraan dan penghasilan masyarakat terus menurun akibat kehilangan tanah. Tanah mereka dikonversi dunia usaha atau konglomerasi menjadi investasi. Dan mirisnya, paling-paling masyarakat yang sudah kehilangan tanah itu cuma ditawarkan sebagai buruh di pusat-pusat investasi tersebut. Akhirnya bukannya menciptakan kesejahteraan di masyarakat, tetapi malah menciptakan pusat-pusat kemiskinan baru di masyarakat,” papar dia

Faisal menilai, selama ini tindakan aparat penegak hukum cenderung tidak mencerminkan motto sebagai pengayom dan pelindung masyarakat dan justru terkesan berpihak kepada pemilik modal.

Karena itu ia berharap kepada aparat penegak hukum harus paham tugas dan fungsinya sebagai alat negara, bukan alat penguasa dan pengusaha.

Dalam artian silakan bertugas, tetapi harus tahu dan paham tugas tersebut batasannya, jika merugikan rakyat dan melanggar amanah konstitusi, maka jangan laksanakan tugas tersebut

“Jangan alasan pembangunan, investasi rakyat dikorbankan, ingat investor tidak pernah mempertaruhkan jiwa raga, harta benda untuk merebut dan mempertahankan negara ini, tapi rakyat Indonesialah yang berkorban merebut dan mempertahankan kemerdekaan negara ini,” ujar aktivis mahasiswa 98 ini.

Kemudian untuk para penguasa, baik legislatif dan eksekutif yang sekarang diberikan amanah atau dipercaya oleh rakyat, Faisal mengingatkan jangan sekali kali menghianati amanah rakyat tersebut.

Menurut Faisal, salah satu penyebab konflik agraria di Indonesia adalah ketika pemerintah menggunakan hukum formal sebagai instrumen penyelesaian masalah tanah. Padahal, dia menilai hukum formal yang digunakan oleh pemerintah acap kali mengabaikan asas keadilan.

“Ada kecenderungan selama ini pemerintah memandang penyelesaian konflik agraria itu melulu berdasarkan hukum formil. Pada hal sesungguhnya hukum formil untuk kasus hukum di Indonesia sering kali tidak menemukan keadilan. Artinya tidak sama antara melakukan penegakan hukum dengan penegakan keadilan,” sebut Faisal.

Oleh sebab itu, Faisal meminta pemerintah bisa lebih bijak dan mengedepankan prinsip keadilan dalam menangani konflik agraria.

“Jangan sampai karena tidak ditangani secara bijak dan adil, konflik agraria justru malah berkembang menjadi konflik sosial,” pungkasnya. (syaifulh/tim)

Sumber: suaramuhammadiyah.id

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini