Kebaikan Seberat Dzarrah, Berikut Penjelasan Menurut Alquran
foto: molekule.com

7. فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ

“Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Al-Zalzalah: 7)

Dalam ayat ini, lafadz خَيْرًا “kebaikan” datang dalam bentuk nakirah dan di awal ayat terdapat isim syarat مَنْ “barang siapa”.

Berdasarkan kaidah ushul fiqih, jika suatu kata dalam bentuk nakirah disebutkan dalam bentuk syarat maka akan memberikan faedah keumuman. Dan kaidah ini berlaku pada ayat ketujuh ini.

Sehingga kebaikan yang dimaksud adalah umum meliputi segala macam kebaikan, walaupun seberat dzarrah.

Para ulama menjelaskan, dzarrah dalam bahasa Arab ada tiga tafsiran:

Pertama, semut kecil (semut yang baru lahir). Sebagaimana dalam sebuah hadis disebutkan:

يُحْشَرُ الْمُتَكَبِّرُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَمْثَالَ الذَّرِّ فِي صُوَرِ الرِّجَال

“Orang-orang yang sombong akan dihimpunkan pada hari kiamat seperti dalam bentuk semut-semut kecil dengan rupa manusia.” (HR Tirmidzi no. 2492)

Kedua, apabila seseorang meletakkan debu di tangannya, kemudian dihempaskan maka sisa-sisa butiran-butiran debu yang ada di tangannya itulah yang disebut dzarrah.

Ketiga, partikel-partikel kecil yang terlihat di sela-sela cahaya matahari ada debu-debu yang berterbangan, dan tidak bisa dilihat kecuali ada cahaya matahari. Itulah yang disebut dengan dzarrah. (lihat Fathul Baari 1/104)

Alquran berkata:

وَهِيَ فِي الْجُمْلَةِ عِبَارَةٌ عَنْ أَقَلِّ الْأَشْيَاءِ وَأَصْغَرِهَا

“Secara umum maksud dari dzarrah adalah ibarat dari sesuatu yang tersedikit dan terkecil.” (Tafsir Al-Qurthubi 5/195)

Intinya, dzarrah adalah benda yang sangat kecil yang secara dzhahir-nya tidak mempunyai berat apabila ditimbang, atau bahkan tidak berasa ketika dipegang.

Pada ayat ini, Allah ingin menjelaskan bahwasanya kebaikan sekecil apapun bahkan sampai-sampai tidak terasa beratnya juga akan dibalas oleh Allah. Inilah ke-Maha Adil-an Allah, tidak ada yang terluputkan untuk mendapatkan balasan.

Muqotil ketika menafsirkan ayat ini dan menjelaskan sababun nuzul-nya turun tentang dua orang. Yang pertama ketika turun firman Allah:

وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا

“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.” (QS. Al-Insan: 8)

Diantara ciri-ciri ahli surga yaitu memberikan makanan yang dia sukainya, bukan makanan bekas atau makanan tidak enak.

Ketika turun ayat tersebut, ada sesorang didatangi oleh peminta-minta, lantas ia memeriksa persediaan makanan yang ia punyai, tetapi tidaklah dijumpai makanan melainkan hanya sedikit.

Sehingga hal itu membuatnya enggan dan tidak jadi bersedekah kepada peminta-minta tersebut, karena menganggap pemberian itu adalah khusus untuk barang yang bernilai, adapun yang remeh maka tidak pantas untuk diberikan kepada orang lain dan tidak bernilai di sisi Allah.

Akhirnya turunlah ayat ini, yaitu barang siapa yang melakukan kebaikan sedikit pun maka dia akan melihat hasilnya.

Demikian juga sebaliknya ada orang yang meremehkan dosa-dosa yang dianggap sepele seperti memandang yang haram, menurutnya yang Allah ancam dengan neraka adalah para pelaku dosa besar. Maka turunlah ayat ini (Lihat Tafsir Al-Baghowi 8/503)

Sebagaimana Nabi juga memotivasi agar memberi itu tidak harus berupa barang yang banyak. Akan tetapi berikanlah walaupun itu sedikit. Nabi pernah bersabda:

اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ ، فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ

“Jauhilah api neraka, walau hanya dengan bersedekah sebiji kurma. Jika kamu tidak punya, maka bisa dengan kalimah thayyibah.” (HR Bukhari no. 6539, Muslim no. 1016). (*/tim)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini