*) Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari
Ketika seorang ayah hidup dalam serba keterbatasan dan kekurangan, patut memiliki kekhawatiran terhadap masa depan keturunannya.
Kekhawatiran meninggalkan generasi yang lemah dan tak bisa hidup lebih layak dari dirinya. Ketika orang tua mengalami situasi seperti ini Alquran memberi jalan agar senantiasa bertakwa dan berkata jujur.
Allah lah yang akan menanggung nasib generasi yang ditinggal oleh orang tua yang saleh dan menggantungkan nasibnya kepada Allah.
Allah mengisahkan Nabi Khidir dan Nabi Musa yang sukses menjadi perantara tersampaikannya harta dua anak yatim yang ditinggal mati orang tuanya.
Orang tuanya meninggal dunia dengan mewariskan harta kekayaan, namun Allah menjaga harta itu dan memberikannya kepada dua anak yatimnya.
Ketakwaan dan perkataan jujur dari kesalehan profetik orang tua menjadi kunci sampainya harta peninggalannya kepada anaknya.
Ketakwaan dan Kejujuran
Orang tua pada umumnya menginginkan kehidupan anaknya lebih baik daripada dirinya. Mereka menginginkan anaknya hidup lebih mapan dan terhindar dari kehidupan yang menyengsarakan.
Tidak sedikit di antara orang tua yang menghalalkan segala cara untuk menjadikan anak hidup dalam kemapanan, hingga berani menabrak aturan. Hal ini dengan tujuan untuk mewariskan kekayaan kepada keturunannya.
Tidak sedikit di antara warga miskin yang hidupnya mati-matian untuk mengumpulkan dunia demi anaknya. Bahkan jalan pintas terkadang dilakukan orang tua dengan berani melanggar peraturan, dan menabrak syariat.
Guna mengejar dan mengumpulkan harta kekayaan tidak sedikit orang tua meninggalkan shalat dan kewajiban syariat lainnya.
Tidak jarang di antara mereka yang bertransaksi di pasar mulai tengah malam hingga siang, tanpa mengindahkan waktu-waktu salat. Mereka lalai salat subuh, dan bahkan tidak salat zuhur dan asar karena capek.
Bahkan tidak jarang di antara mereka yang berani menipu, dan suka berbohong demi terkumpulnya harta. Bahkan mereka tak berkata jujur dan menghalalkan segala cara untuk mengumpulkan harta,
Mereka ini dilanda kecemasan terhadap nasib kehidupan anaknya agar bisa hidup lebih baik dari dirinya. Sehingga segala cara ditempuh, tanpa perhitungan halal-haram, yang penting bisa mengumpukan harta yang banyak.
Namun Alquran memotivasi dan menjamin orang-orang yang hidup dalam keterbatasan untuk tetap bertakwa kepada Allah dan berkata jujur.
Allah akan membalas ketakwaan dan kejujurannya dengan memberi kehidupan yang layak kepada keturunan mereka. Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya:
وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَا فُوْا عَلَيْهِمْ ۖ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوا قَوْلًا سَدِيْدًا
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya.
Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.” (QS. An-Nisa’ : 9)
Allah menjamin tumbuh generasi yang lebih baik, baik dari sisi ekonomi maupun taraf hidupnya. Hal ini karena memiliki orang tua yang tidak melanggar aturan agama, dan senantiasa menjaga lisan dengan berkata benar dan jujur.
Penjagaan Allah
Alquran menarasikan bahwa Allah membalas kebaikan seorang hamba yang menghambakan diri kepada Allah dengan mematuhi segala aturan-Nya.
Bahkan Allah menunjukkan bukti adanya seorang hamba yang telah mengisi hidupnya dengan penuh ketaatan.
Alquran juga mengilustrasikan adanya seseorang yang meninggal, dan mewariskan harta kekayaan. Harta itu disimpannya di bawah tanah yang berdiri dinding di sekelilingnya.
Dalam masa yang begitu panjang, harta itu dipelihara Allah dengan tetap tersimpan di dalam tanah di samping dinding.
Ketika dua anak yatim itu menginjak usia dewasa, Allah pun mengutus Nabi Khidir dan Nabi Musa untuk membangun mendirikan kembali dari dinding yang sudah roboh.
Allah sengaja merobohkan dinding itu untuk melindungi harta kekayaan yang tersimpang di dalam tanah itu. Alquran mengabadikan hal itu sebagaimana firman-Nya:
وَاَ مَّا الْجِدَا رُ فَكَا نَ لِغُلٰمَيْنِ يَتِيْمَيْنِ فِى الْمَدِيْنَةِ وَكَا نَ تَحْتَهٗ كَنْزٌ لَّهُمَا وَكَا نَ اَبُوْهُمَا صَا لِحًـا ۚ فَاَ رَا دَ رَبُّكَ اَنْ يَّبْلُغَاۤ اَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِّنْ رَّبِّكَ ۚ وَمَا فَعَلْتُهٗ عَنْ اَمْرِيْ ۗ ذٰلِكَ تَأْوِيْلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَّلَيْهِ صَبْرًا
“Dan adapun dinding rumah itu adalah milik dua anak yatim di kota itu, yang di bawahnya tersimpan harta bagi mereka berdua, dan ayahnya seorang yang saleh.
Maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya sampai dewasa dan keduanya mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu.
Apa yang kuperbuat bukan menurut kemauanku sendiri. Itulah keterangan perbuatan-perbuatan yang engkau tidak sabar terhadapnya.” (QS. Al-Kahfi : 82)
Allah pun menyingkap motif Nabi Khidhir dan Nabi Musa mendirikan dinding yang sudah roboh itu.
Apa yang dilakukan dua utusan Allah itu merupakan perintah suci untuk mengabarkan serta menyampaikan hak dua anak yatim atas hak terhadap harta peninggalan orang tuanya.
Allah tidak menyia-nyiakan kebaikan orang tua yang bertakwa dengan menjaga harta peninggalannya dan diserahkan kepada dua anak yatimnya. (*)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News