Dakwah Kultural Muhammadiyah Meninggikan Kesadaran Bersama
Muhammad Damami Zein berbicara dalam Rakernas I Majelis Tabligh PP Muhammadiyah. foto: munahar/majelistabligh.id
UM Surabaya

Muhammadiyah sejak lama sudah memulai melakukan dakwah kultural. Muhammadiyah juga sudah menyiapkan payung besar yang mencakup konsep-konsep dakwahnya.

Hal itu disampaikan Muhammad Damami Zein, anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) I Majelis Tabligh PP Muhammadiyah di di Syariah Hotel Solo, Jumat malam (22/9/2023).

“Gagasan dakwah kultural Muhammadiyah Sidang Tanwir di Bali, 2002. Kemudian disahkan pada Tanwir di Makassar, 2003,” tegas dia.

Damami lalu menjelaskan, pengertian konsep dakwah kultural adalah upaya menanamkan nilai-nilai Islam dalam seluruh dimensi kehidupan dengan memperhatikan potensi dan kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya secara luas. Ini dilakukan dalam rangka mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Selain itu, imbuh dia, dakwah kultural juga disebut dakwah rahmatan lil ‘alamin dalam perspektif substantif, pendekatan, metodik, teknik, model, dan strategi di bawah bingkai dinamisasi dan purifikasi yang seolah paradoks, sekaligus sebagai peng-kultur baru dan social engeenering (rekayasa sosial).

Lalu, bagaimana hubungan gerakan kultural dan gerakan struktural? Damami menerangkan, secara definitif yang disebut gerakan kultural adalah yang lebih menekankan pada perspektif kultur sebagai potensi universal dari upaya manusia sebagai makhluk budaya.

“Sedangkan gerakan struktural menekankan pada perspektif struktur sebagai kekuasaan sistemik yang memang direkayasa,” katanya.

“Gerakan kultural bersifat mendatar-menaik, dari grassroot ke elite, dari bawah ke atas. Sedangkan gerakan struktural bersifat vertikal-menurun, dari elite ke grass-root, dari atas ke bawah. Umumnya, gerakan struktural berlaku di wilayah politik atau kekuasaan dan militer.,” timpal Damami.

Dari substansi gerakannya, sebut dia, muatan gerakan dakwah Muhammadiyah
menekankan sebagai gerakan kultural.

Namun dalam hal sistem pengorganisasiannya dibebaskan melakukan pilihan-pilihan yang konstruktif dan tidak kontraproduktif.

Dalam konteks tersebut, Damami juga menjelaskan model perjumpaan Islam sebagai din dan kultur sebagai calon sahabat, calon saudara.

Dari perspektif kewilayahan, agama besar dunia adalah sahabat atau saudara pendatang dan kultur lokal adalah sahabat pemilik rumah budaya.

“Yang kita butuhkan dalam dakwah berkemajuan adalah bagaimana meredam etnisitas dan meninggikan kesadaran bersama. Kultur jangan dijadikan lawan, tapi calon teman atau calon saudara,” tegasnya. (*/tim)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini