Indonesia Maju, tapi Tidak Menjadi Sekuler dan Agnostik
Haedar Nashir menghadiri Rakernas Majelis Tabligh PP Muhammadiyah di Solo.

Muhammadiyah sudah kaya dengan fikih dakwah. Termasuk panduan-panduan dakwah kultural dan komunitas sebagai petunjuk untuk meningkatkan pesan keislaman yang mendamaikan, menyatukan, dan memperkokoh nilai keagamaan, keumatan, dan kebangsaan.

Penegasan itu disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Haedar Nashir, dalam agenda Pembukaan Rakernas Majelis Tabligh PP Muhammadiyah di Syariah Hotel, Surakarta, Jumat (22/9/2023).

Menurit dia, dakwah bagi Muhammadiyah sekaligus juga untuk membawa umat dan bangsa pada kemajuan.

Fikih dakwah Muhammadiyah yang mendamaikan, menyatukan dan memperkokoh nilai tersebut di sisi lain juga untuk merespon perubahan yang dinamis di masyarakat.

“Masyarakat kita ini masih beragama, tetapi orientasi keagamaan dan religiusitasnya itu sudah demikian beragam,” kata Haedar

Guru Besar Sosiologi ini melihat, tantangan dakwah di era sekarang semakin kompleks, lebih-lebih ketika masyarakat dihadapkan dengan kemajuan teknologi informasi digital, yang mengakibatkan salah satunya luruhnya keadaban.

Tentang peluruhan keadaban itu tidak berlebihan, sebab menurut survei ditemukan bahwa warganet Indonesia peringkat digilitynya rendah dibandingkan dengan negara-negara lain.

“Maka Muhammadiyah ingin hadir menyemaikan benih-benih keislaman yang membangun nilai-nilai luhur kehidupan, bertutur kata yang baik, kemudian menyebar semangat untuk kebersamaan, kalau ada masalah pada umat dan bangsa kita selesaikan bersama,” tutur Haedar.

Dia berharap dakwah Muhammadiyah juga berperan untuk meredam benih-benih konflik. Karena hal itu cerminan nilai-nilai agama yang hanif, lurus, dan mencerahkan.

Dalam konteks pembangunan bangsa Indonesia, Haedar menekankan supaya pembangunan bukan hanya tentang ragat saja, tetapi juga ruhani bangsa.

Dia beralasan karena bangsa ini beragama, berpancasila, dan punya kebudayaan luhur. Ketiga entitas tersebut diharapkan menjadi fondasi karakter bangsa Indonesia.

“Kita harus menjadi bangsa yang maju, tetapi tidak menjadi bangsa yang sekuler, bangsa yang agnostik, jauh dari agama. Termasuk bangsa yang ateis, yang menisbikan Tuhan. Tapi bangsa yang religius,” jelas Haedar.

Religiusitas yang dimiliki oleh bangsa Indonesia harus memajukan, sehingga bangsa ini tidak ketinggalan dengan bangsa lain. Harapan dan kenyataan tersebut menjadikan Muhammadiyah tidak hanya fokus mendirikan rumah sakit, sekolah dan universitas saja, melainkan juga menggarap akar rumput atau masyarakat.

“Apa pun agamanya, orientasi politiknya kita harus rekat menjadi jamaah yang menjadi pilar kemajuan dan persatuan Indonesia,” imbuhnya.

Maka dengan berbagai cita-cita luhur tersebut, metode dakwah Muhammadiyah diharapkan adaptif terhadap kemajuan teknologi informasi.

Akan tetapi, tidak kemudian meletakkan instrumen atau alat dakwah sebagai tujuan, dan menyebabkan terjadinya dehumanisasi. (*/tim)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini