Makna dan Praksis Jamaah untuk Warga Muhammadiyah
Lautan manusia menghadiri Tabligh Akbar di UMS. foto: muhammadiyah.id

*) Oleh: Budi Nurastowo Bintriman
Mubaligh akar rumput, pengasuh anak yatim, anak duafa, dan anak terlantar. NBM: 576.926.

Peristiwa hijrah adalah peristiwa besar dalam Islam. Banyak hikmah di balik peristiwa tersebut.

Dan peristiwanya itu sendiri banyak mengandung nilai-nilai dan kisah-kisah utama. Oleh karena itu, peristiwa hijrah dijadikan momentum awal hitungan kalender Islam.

Rasulullah SAW berhijrah adalah karena adanya perintah dari Allah SWT. Perintah hijrah tujuannya ke suatu daerah yang bernama Yatsrib.

Daerah yang didiami pertama oleh keturunan Nabi Nuh AS, dari proses diaspora para keturunan Nabi Nuh AS pasca banjir besar.

Meskipun demikian, Yatsrib daerah yang sudah terbilang heterogen. Saat Rasulullah SAW dan beberapa pengikutnya hijrah, Yatsrib banyak dihuni oleh masyarakat yang beragama Yahudi.

Karena mereka punya keyakinan, bahwa di daerah itulah akan munculnya manusia agung sebagai Nabi Akhir Zaman.

Namun kondisi sosial di Yatsrib banyak diwarnai oleh perpecahan yang dilatari faktor-faktor perbedaan. Perpecahan yang paling legendaris adalah perpecahan antara kaum Bani Aus dengan kaum Bani Khazraj.

Dan perintah utama Allah SWT kepada kaum Muhajirin adalah agar menjadi kaum pemersatu, jangan menjadi kaum yang berposisi sebagai bagian dari perpecahan.

Itu dilaksanakan dengan sangat baik oleh Rasulullah SAW. Maka di kemudian hari, kaum Bani Aus dan kaum Bani Khazraj bisa hidup damai berdampingan di Yatsrib. Di mana sebelumnya, kaum Muhajirin telah bersatu dengan kaum Anshar dalam ikatan berjamaah.

Istilah Anshar itu sendiri mengandung makna orang atau kaum yang menolong sesuai kebutuhan orang yang ditolong dengan dilandasi ikhlas tanpa pamrih lillahi ta’ala.

Kala itu kaum Anshar ada di posisi orang-orang penduduk Yatsrib. Dan orang-orang yang butuh pertolongan kala itu adalah orang-orang Mekah yang berhijrah, dengan sebutan kaum Muhajirin.

Tentu saja kaum Muhajirin sangat-sangat banyak membutuhkan pertolongan dalam banyak hal, kecuali perkara akidah. Semua kebutuhan kaum Muhajirin akan dipenuhi oleh kaum Anshar, apa pun rupa kebutuhan yang diinginkan.

Ditawarkan siapa yang membutuhkan harta (bergerak), siapa yang membutuhkan istri, siapa yang membutuhkan tanah, dan lain sebagainya.

Persatuan dan (kemudian) persaudaraan mereka benar-benar bersifat transendental. Bisa jadi, kondisi itu merupakan fakta sosiologis satu-satunya yang pernah tercipta di muka bumi ini.

Itulah makna hakiki jamaah dalam wujud yang sebenarnya. Yang kemudian hari mampu melahirkan Madinah (kota yang berkeadaban tak hanya fisiknya saja, tapi juga ruhaniahnya).

Ada kisah utama di Madinah (sebagai nama pengganti Yatsrib). Bahwa ketika kaum Anshar menawarkan “kenikmatan-kenikmatan” kepada kaum Muhajirin, namun ternyata mereka menerimanya hanya dengan takaran secukupnya saja. Mereka tidak memanfaatkan kesempatan dengan modus aji mumpung.

Di bawah kepemimpinan Rasulullah saw, keberadaan Masjid Madinah tak hanya menjadi pusat pelaksanaan ritual belaka.

Namun masjid benar-benar merupakan sekumpulan jama’ah yang menjadi problem solver terhadap segala permasalahan orang atau masyarakat sekitar.

Permasalahan apa pun akan terpecahkan di masjid. Persoalan dalam segala aspek kehidupan akan terselesaikan oleh jamaah yang aktif melaksanakan salat berjamaah di masjid. Seideal itulah makna jama’h yang nyata dan kongkret mengejawantah.

Kisah utama yang lain, ada orang asing atau musafir yang “mampir” salat di masjid Madinah. Rasulullah SAW menawarkan kepada para jamaah (para sahabatnya) untuk menjamunya.

Ternyata hampir semua jama’ah angkat telunjuk menyatakan bersedia. Dan Rasulullah SAW menentukan pilihan kepada jamaah (sahabat) yang paling cepat dalam mengangkat telunjuknya.

Padahal ternyata persediaan makan hari itu hanya tersedia satu porsi. Namun sang isteri dan anak merelakan makanan satu porsi itu untuk sang musafir. Maka ketika hendak makan (malam) bersama, sahabat meredupkan lampu hingga agak gelap.

Dalam kondisi gelap itu, sang musafir makan. Sementara sahabat, istri, dan anak hanya melakukan adegan makan. Karena sejatinya piring mereka kosong tak ada apa-apa.

Itulah makanya dahulunya Yatsrib yang carut-marut berubah menjadi kota yang tertata rapi dan berkeadaban.

Kondisi-kondisi positif kota yang kemudian memancar hingga keluar kawasan (Madinatul Munawwarah). Itulah makanya Islam memancar ke seluruh dunia hingga detik ini. Dan akan terus memancar. Betapa dahsyatnya kekuatan jama’ah.

Itulah mentalitas jamaah yang terbangun kuat di masjid, kemudian mengejawantah di rumah-tangga mereka masing-masing. Sudah terbentukkah jamaah di masjid-masjid kita?

Sudah terwujudkah mentalitas jamaah pada kita yang aktif berjamaah di masjid? Sudahkah individu-individu dalam rumah-tangga kita memiliki mentalitas jama’ah?

Inti dari semua kajian Ustaz Adi Hidayat (UAH) adalah cintai masjid, bangun jamaah hakiki, transformasikan mentalitas jamaah substansial ke dalam rumah-tangga sendiri!

Di era digital seperti sekarang ini, tentu hal itu akan sangat memudahkan kita untuk mewujudkannya. Baik masjidnya, atau jama’ahnya, maupun mentalitas jama’ah di dalam rumah-tangga masing-masing.

Karena hanya dengan bangunan jamaah hakiki itulah Islam akan berjaya. Karena hanya dengan mentalitas jamaah itulah Muhammadiyah akan hebat yang bukan cuma bangunan-bangunan fisiknya saja dan jumlah kuantitasnya saja.

Kita tak perlu mengarahkan telunjuk kita kepada pihak lain. Sekarang arahkan saja telunjuk kita kepada diri kita sendiri. Wahai warga Muhammadiyah yang mengaku umat Nabi Muhammad SAW, sudahkah? Sudahkah..? Sudahkah…?

Wallahu a’lam bishshawwab. (*)

(Disarikan dari Pengajian Ustadz Adi Hidayat, Wakil Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah di UMS, 22 September 2023)

NB:

Penulis berharap kepada Ustadz Adi Hidayat atau Majelis Tabligh PPM berkenan memberi hadiah berupa dukungan kepada Panti Asuhan Yatim ‘Aisyiyah 03 Banyudono Boyolali yang penulis asuh.

Dukungan kepada kegiatan amaliah sosial kami dalam mengadakan Gerakan Tahsin Alquran. Anak-Anak asuh kami mengajarkan Tahsin Alquran kepada masyarakat umum.

Dengan hadiah dukungan dari Ustaz Adi Hidayat dan Majelis Tabligh PPM, saya sangat berharap amaliah tersebut nantinya bisa berkembang sesuai harapan kita bersama.

Telah menjadi rahasia umum, bahwa masih banyak bacaan Alquran warga Muhammadiyah yang nyata masih terbilang jauh di bawah standar. Wallahu a’lam. Terima kasih.

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini