*) Oleh: Chulil Barory, SE, ME
Di antara sekian banyak teladan Nabi Muhammad saw adalah sikap beliau yang tidak membeda-bedakan perlakuan atas dasar suku atau pun agama.
Di saat Rasulullah memotong kambing, beliau selalu membagikan kepada tetangganya terlebih dahulu. Termasuk orang-orang Yahudi.
Beliau juga orang yang pertama menjenguk kaum Yahudi apabila sakit, suka memberi hadiah, juga bermuamalah melalui perdagangan, bisnis, jual beli dan berbagai hubungan sosial lainnya.
Teladan yang sama juga terjadi pada sahabat beliau: kisah Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra yang menunjuk Amr bin Ash sebagai Gubernur Mesir.
Pada suatu hari Amr bin Ash berinisiatif untuk memperluas bangunan masjid dan terpaksa menggusur rumah kakek Yahudi untuk proyek tersebut.
Meski Amr memberikan penawaran hingga lima belas kali lipat dari harga pasar agar si kakek merelakan tempat tinggalnya. Si kakek bersikukuh menolak rencana Amr bin Ash tersebut. Ujungnya, Amr bin Ash pun menggusur paksa rumah kakek Yahudi itu.
Akhirnya, orang Yahudi itu tidak terima dan mengadukan jauh-jauh ke Madinah melaporkan peristiwa tersebut kepada Khalifah Umar bin Khattab.
Setelah mendengar aduan dari orang Yahudi tersebut, maka Khalifah Umar mengambil sebuah tulang dan menggoreskan garis lurus vertikal dan garis horizontal dengan pedangnya.
“Berikan tulang ini pada gubernurmu,” kata Umar.
Kemudian orang Yahudi tersebut kembali ke Mesir sambil terheran-heran lantaran jauh-jauh hanya mendapatkan sebuah tulang.
Sesampainya di Mesir, tulang tersebut diberikan kepada Gubernur Amr bin Ash. Seketika tangannya bergetar dadanya berdenyut kencang diiringi keringat yang mengucur deras saat memegang tulang yang ada dua goresan pedang tersebut.
“Ada apa dengan tulang tersebut wahai gubernur,” tanya orang Yahudi,
Amr bin Ash bila jika Khalifah Umar menitipkan tulang ini kepadamu dan menggores dengan pedangnya bermaksud mengingatkanku agar menjadi pemimpin yang adil dengan goresan vertikalnya.
“Dan jika tidak bisa adil maka Umar akan memenggal kepalaku dengan isyarat goresan horizontalnya,” ucap Amr bin Ash.
Mengetahui kejadian tersebut, orang Yahudi terkagum-kagum pada metode dan akhlak kepemimpinan dalam Islam yang tidak membeda-bedakan antara agama, suku maupun golongan.
Dan di luar dugaan, orang Yahudi tersebut akhirnya masuk Islam, kemudian memberikan rumah beserta tanahnya untuk perluasan bangunan masjid.
Apa yang terjadi di zaman itu tentu harus terefleksikan di masa sekarang. Pemimpin umat dilarang untuk mengambil tanah milik orang lain dengan kezaliman.
Pun mana penegakan keadilan merupakan conditio sine qua non (syarat wajib) yang harus dijalankan tanpa pandang bulu.
Jangan sampai ada kesan jika menegakkan keadilan di negeri ini adalah barang langka. Masyarakat membutuhkan pembuktian konkret. Jangan malah dibawa dalam suasana penuh kecurigaan, prasangka, dan fitnah. (*)