*) Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari
Meskipun hidup dalam kurun waktu yang berbeda dengan tempat yang berlainan, para utusan Allah mendakwahkan kepada kaumnya misi yang sama, yakni mentauhidkan Allah.
Satu di antara mereka saling menguatkan, dan tidak ada perbedaan dalam menyebarkan misi suci ini.
Namun mereka mengalami respons yang sama, yakni penolakan dan perlawanan kolektif untuk memadamkan cahaya tauhid ini.
Pengagungan Allah
Para utusan Allah hidup di era yang berbeda dengan masyarakat yang berlainan karakter, namun mereka saling menguatkan misi mereka.
Misi tunggal mereka adalah memberi petunjuk berupa jalan yang yang lurus dan memberi peringatan ketika lalai dari pengagungan Allah saja. Para utusan yang diutus belakangan menguatkan nabi yang datang sebelumnya.
Mereka saling mengisi dan menguatkan sehingga bertemu satu titik yakni mengingatkan kaumnya untuk menyadari kesalahan dalam penyembahan kepada selain Allah.
Alquran memaparkan bahwa utusan Allah menghadapi kaum yang berbeda, namun kemaksiatan mereka sama, yakni melakukan kesyirikan.
Kesyirikan itu karena mengagungkan berhala selain Allah dan memasrahkan hidup padanya. Para rasul ibarat bangunan yang saling menguatkan satu sama lain, seolah-olah satu meletakkan pondasi yang sama pada masyarakatnya.
Nabi Muhammad merupakan utusan terakhir yang meneguhkan apa yang disampaikan para rasul sebelumnya. Hal itu dinarasikan Alquran sebagaimana firman-Nya:
بَلْ جَآءَ بِا لْحَقِّ وَصَدَّقَ الْمُرْسَلِيْنَ
“Padahal dia (Muhammad) datang dengan membawa kebenaran dan membenarkan rasul-rasul (sebelumnya).” (QS. As-Saffat : 37)
Dalam berpegang teguh pada nilai-nilai tauhid, para nabi dan rasul saling menguatkan, tanpa ada perselisihan sedikit pun.
Namun, akibat yang diterima para nabi dan rasul sama, yakni dituduh sebagai orang gila. Hal ini dinarasikan Alquran sebagaimana firman-Nya:
وَيَقُوْلُوْنَ اَئِنَّا لَتٰرِكُوْۤا اٰلِهَـتِنَا لِشَا عِرٍ مَّجْـنُوْنٍ
“Dan mereka berkata, “Apakah kami harus meninggalkan sesembahan kami karena seorang penyair gila?” (QS. As-Saffat : 36)
Distigma gila, karena apa yang disampaikan bertentangan dengan tradisi yang berkembang dan mengakar kuat di tengah masyarakat.
Berbagai komponen di masyarakat saling bersinergi untuk mempertahankan tradisi yang selama ini saling menguntungkan.
Sehingga ketika datang utusan untuk memberi peringatan akan bahaya tradisi itu, seolah-olah membongkar dan mengancam kepentingan mereka. Di sinilah mereka bersatu padu melawan untuk memadamkan cahaya Allah.
Mereka menghambakan diri pada berhala, dan bahkan menyisihkan sebagian rezekinya untuk berhala-berhala itu.
Oleh karena itu, ketika seorang rasul datang, mereka kompak dan bersatu mengadakan perlawanan. Kesombongan kolektif mereka muncul dan marah ketika diajak menyembah kepada satu Tuhan saja.
Hal dinarasikan dengan baik dalam Alquran sebagai berikut:
اِنَّهُمْ كَا نُوْۤا اِذَا قِيْلَ لَهُمْ لَاۤ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ ۙ يَسْتَكْبِرُوْنَ
“Sungguh, dahulu apabila dikatakan kepada mereka, “La ilaha illallah” (Tidak ada tuhan selain Allah), mereka menyombongkan diri,” (QS. As-Saffat : 35)
Sikap sombong dan merasa benar akan keyakinan lamanya, merupakan sikap yang selalu mereka tunjukkan. Akal pikiran mereka tidak jernih lagi ketika datang kebenaran.
Bukannya bersyukur dari peringatan, mereka justru mendustakan misi para rasul.
Seruan Profetik Vs Tradisi
Ajakan para rasul untuk mentauhidkan Allah mengalami perlawanan kolektif. Perlawanan kolektif itu dengan alasan bahwa apa yang diajarkan rasul itu merupakan hal baru yang belum pernah mereka dengar.
Hal ini ditegaskan Alquran sebagaimana firman-Nya:
مَا سَمِعْنَا بِهٰذَا فِى الْمِلَّةِ الْاٰ خِرَةِ ۖ اِنْ هٰذَاۤ اِلَّا اخْتِلَا قٌ
“Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama yang terakhir; ini (mengesakan Allah), tidak lain hanyalah (dusta) yang diada-adakan,” (QS. Sad 38: Ayat 7)
Mereka beralasan bahwa apa yang diserukan para nabi dan rasul merupakan hal yang tak pernah mereka dengar.
Rasul bukan hanya ditolak tetapi didustakan dengan dalih mengada-adakan hal-hal yang baru, dan tidak pernah ada dalam ajaran moyang mereka.
Para penentang dakwah tauhid dipelopori para.pemuka masyarakat. Mereka memprovokasi orang-orang yang lemah akal dan ekonominya sehingga mudah digerakkan untuk melawan ajaran rasul yang mengajak mentauhidkan Allah.
Hal ini dinarasikan Alquran sebagaimana firman-Nya :
وَا نْطَلَقَ الْمَلَاُ مِنْهُمْ اَنِ امْشُوْا وَا صْبِرُوْا عَلٰۤى اٰلِهَتِكُمْ ۖ اِنَّ هٰذَا لَشَيْءٌ يُّرَا دُ
“Lalu pergilah pemimpin-pemimpin mereka (seraya berkata), “Pergilah kamu dan tetaplah (menyembah) tuhan-tuhanmu, sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki.”(QS. Sad : 6)
Sebagai pemimpin, mereka meminta kepada rakyatnya untuk tetap sabar guna mempertahankan tradisi.
Pemimpin itu siap memberi dukungan dana untuk melestarikan tradisi itu. Perlawanan terhadap.kebenaran itu ditopang oleh keinginan untuk mengikuti hawa nafsu.
Ketika hawa nafsu menggerakkan seseorang maka suatu kebenaran yang datang, dengan berbagai bukti, serta merta ditolaknya. Hal ini sebagaimana papara Alquran:
يٰدَاوٗدُ اِنَّا جَعَلْنٰكَ خَلِيْفَةً فِى الْاَ رْضِ فَا حْكُمْ بَيْنَ النَّا سِ بِا لْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوٰى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗ اِنَّ الَّذِيْنَ يَضِلُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ لَهُمْ عَذَا بٌ شَدِيْدٌ بِۢمَا نَسُوْا يَوْمَ الْحِسَا بِ
“(Allah berfirman), “Wahai Daud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah.
Sungguh, orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari Perhitungan.” (QS. Sad : 26)
Kalau para rasul mengajak untuk tunduk dan patuh pada aturan Allah guna meraih surga, namun manusia memiliki kecenderungan untuk mengikuti hawa nafsu, yang justru menghalangi manusia dari jalan Allah.
Peran hawa nafsu itulah yang menjadi motor penggerak untuk melakukan perlawanan kolektif dari misi profetik ini. (*)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News