Rempang dan Ketiadaan Amdal-HPL
Polisi menjaga aksi unjuk rasa warga Pulau Rempang. foto: antara

*) Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari

Sebagai eksekutor Penggusuran lahan di Rempang, BP Batam ternyata belum mengantongi sertifikat Analisa Dampak Lingkungan (Amdal), dan belum mengantongi ijin Hak Pengelolaan Lahan (HPL).

Hal ini berdasarkan temuan Ombudsman, sehingga apa yang dilakukan oleh pemerintah yang memaksa warga Rempang untuk mengosongkan lahan bersifat ilegal.

Padahal pemerintah telah mengerahkan aparat negara, seperti polisi, tentara, Satpol PP, sehingga menimbulkan korban material dan non-material.

Sebagai negara demokrasi, dengan temuan Ombudsman itu, mengharuskan negara untuk membatalkan rencana menerapkan Proyek Strategis Nasional (PSN) di Rempang dan meminta maaf kepada warga serta mengganti rugi kepada warga Rempang.

Kebijakan Ilegal

Ombudsman telah membuka mata publik bahwa Rempang sebagai Proyek Strategis Nasional, tidak memiliki Amdal.

Hal ini tentu saja membantah pernyataan Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, yang sebelumnya menyatakan Rempang merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) yang legal dan harus didukung oleh masyarakat.

Bahlil pun pernah menyatakan bahwa investasi Rempang melalui prosedur yang benar dan tidak ada perlakuan khusus.

Hal itu disampaikan sebagaimana dia katakan, “angan ada persepsi seolah-olah untuk investasi Rempang itu perlakuannya khusus dengan yang lain. Kalau Kementerian Investasi enggak seperti itu. Kenapa? Karena perwakilan saya, tim saya di China, itu sudah melakukan pertemuan berbulan-bulan, berkali-kali, dan tim saya berikan rekomendasi untuk mengecek perusahaan ini, pengembangan investasi di Rempang, merupakan upaya pemerintah dalam menggalakkan hilirisasi.”

Kata dia, Pemerintah menilai perlu memperluas cakupan hilirisasi setelah sukses dengan nikel melalui hilirisasi pasir kuarsa atau pasir silika di Batam.

Pasir kuarsa atau pasir silika merupakan bahan baku kaca dan solar panel yang saat ini menjadi salah satu pilihan sumber energi terbarukan.

Bahlil menilai, investor asal China tersebut, yakni Xinyi Group, merupakan mitra strategis untuk mendukung pengembangan hilirisasi pasir kuarsa, sehingga setelah mengunjungi pabriknya di China. Ia pun meminta mereka untuk bisa berinvestasi di Tanah Air.

“Sekali lagi saya clear-kan, kami tidak pernah membeda-bedakan perusahaan-perusahaan mana (yang akan berinvestasi),” katanya seperti dilansir cnnindonesia.com, Senin (2/10/2023)

Terkait dengan legalisasi, Bahlil pun mengklaim sebanyak 322 kartu keluarga (KK) warga Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau menyatakan sukarela untuk bergeser meninggalkan area yang menjadi lokasi pembangunan Rempang Eco City ke Tanjung Banun.

Masih menurut Bahlil, jumlah tersebut merupakan bagian dari 961 KK yang menjadi prioritas pergeseran ke Tanjung Banun. Bahkan sudah bersosialisasi dengan sekitar 1.000 warga perkampungan di Pulau Rempang.

Ia mengaku berkunjung ke Rempang karena diundang oleh para tokoh masyarakat setempat untuk mensosialisasikan keputusan-keputusan pemerintah. BP Batam akan menyediakan rumah dengan luas lahan 500 m2 dan rumah tipe 45 seharga Rp120 juta dan dana Rp 1,2 juta per orang untuk sewa rumah sementara, serta Rp 1,2 juta untuk biaya hidup seperti makan.

“Itu adalah prioritas pemindahan penduduk totalnya 961 KK dan Kampung Tanjung Banun setelah itu arahan Presiden kepada Kementerian PUPR dan kami jadi kampung percontohan,” terang Bahlil.

Ombudsman dan Temuan

Semua pernyataan Bahlil itu tertolak setelah ada temuan dari Ombudsman yang menyatakan bahwa Rempang sebagai Proyek Strategis Nasional, tidak memiliki Amdal.

Anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro menyampaikan temuan sementara atas tindak lanjut penanganan masalah Rempang Eco City.

Ombudsman menemukan bahwa sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Pulau Rempang atas nama Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) belum diterbitkan.

“Hak Pengelolaan yang dimohonkan pihak BP Batam belum diterbitkan dengan alasan lahan belum clean and clear karena masih dikuasai oleh masyarakat. Surat Keputusan Pemberian Hak Pengelolaan untuk lahan Area Penggunaan Lain (APL) telah terbit dari Menteri ATR/KBPN tertanggal 31 Maret 2023 dan akan berakhir pada tanggal 30 September 2023. Meskipun dapat diperpanjang dengan persetujuan Menteri ATR/BPN berdasarkan permohonan BP Batam,” terang Johanes dalam konferensi pers di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Rabu (27/9/2023).

Johanes mengatakan bahwa belum ada dasar hukum terkait ketersediaan anggaran baik itu terkait pemberian kompensasi dan program secara keseluruhan.

“Berdasarkan keterangan dari BP Batam, terkait dengan pemberian kompensasi berupa rumah pengganti maupun uang tunggu dan hunian sementara bagi warga terdampak, memerlukan dasar hukum agar program berjalan,” ucapnya.

Terkait keputusan pemerintah mengenai penundaan relokasi, Johanes meminta Pemkot Batam dan BP Batam segera menyampaikan secara langsung baik lisan maupun tertulis kepada warga Pulau Rempang, bukan hanya melalui media massa
]
Setidaknya ada beberapa elemen negara yang menjadi korban kebijakan negara, dalam hal ini yang dikomandani BP Batam, yakni TNI dan Polri.

Aparat keamanan negara menjadi alat kekuasaan untuk melakukan tindakan illegal. Betapa tidak, tanpa memiliki keabsahan, TNI dan Polri telah melakukan tindak kekerasan terhadap warga yang secara turun temurun, sudah ratusan tahun tinggal di Rempang.

Rempang menjadi tumpukan pelanggaran HAM, karena di dalamnya, ada unsur kebohongan dan kekerasan publik.

Secara moral, pemerintah harus mengevaluasi ulang atas kebijakan yang sangat fatal itu. Dikatakan fatal, karena rakyat Rempang mengalami kerugian material dan non-material.

Secara material, kehidupan ekonomi mereka terganggu, karena tidak bisa bekerja sebagaimana biasanya. Secara non-material, mereka mengalami tekanan psikologis yang sangat mendalam.

Mereka menjadi trauma berkepanjangan karena menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh TNI dan Polri.

Ketiadaan Amdal seharusnya membuat pemerintah malu dan meminta maaf kepada warga negaranya sendiri.

Hal ini sangat wajar, sebagai negara yang beradab, sudah selayaknya mematuhi temuan dari Ombudsman yang menunjukkan BP Batam belum memiliki izin HPL.

Tindakan kekerasan jelas-jelas merendahkan warga Rempang, karena memperlakukan mereka seperti penghuni gelap.

Untuk memulihkan beban psikologis warga Rempang, pemerintah seharusnya, minimal memberi ganti rugi kepada keluarga korban kekerasan. Warga Rempang sudah benar posisinya karena mempertahankan hak atas tanah mereka.

Tanpa Amdal, berarti tindakan bar-bar telah dilakukan. Terlebih lagi yang mengalami korban adalah warganya sendiri.

Dengan demikian, warga Rempang bisa melakukan tuntutan perdata karena merasa dirugikan dan seolah warga telah melakukan pematokan ilegal.

Padahal negara yang melakukan pelanggaran, dengan mematok tanah warga tanpa memiliki dokumen Amdal dan HPL. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini