Sekum PP Muhammadiyah Hadiri Simposium Hukum dan Agama di AS
Abdul Mu'ti (tiga dari kiri). foto: ist
UM Surabaya

Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti hadir dalam Simposium Internasional Tahunan ke-30 tentang Hukum dan Agama yang digelar oleh Pusat Studi Hukum dan Agama Internasional Brigham Young University (BYU) di Utah, Amerika Serikat.

Kegiatan tersebut diselenggarakan selama tiga hari,1-3 Oktober 2023. Simposium membawa tajuk “Protecting the Right to Freedom of Thought, Conscience, and Religion: 75 Years of the Universal Declaration of Human Rights”. Forum ini mempertemukan cendekiawan dan pemuka agama dari sedikitnya 65 negara.

Pada kesempatan ini, Mu’ti menyampaikan sekian poin terkait peluang dan tantangan kebebasan beragama di Indonesia. Menurutnya, kebebasan beragama telah dijamin dan diatur lewat Konstitusi. Misalnya lewat sila pertama Pancasila dan pasal 29 ayat (1) UUD 1945.

Dari acuan itu, agama adalah hak pribadi setiap orang sehingga ateisme dan agnostisisme tidak dilarang oleh negara jika sebatas pilihan pribadi. Namun jika pilihan itu disebarkan maka termasuk tindakan melanggar hukum.

“Memercayai atau menganut agama adalah hak pribadi setiap orang, namun menyatakan agama adalah urusan publik. Dalam KTP, menurut undang-undang, seseorang boleh menuliskan atau tidak menuliskan agamanya dengan segala konsekuensinya,” ujar Abdul Mu’ti.

Selanjutnya, dia menjelaskan bahwa Indonesia termasuk negara yang bersifat “sekuler-religius”. Pancasila sebagai dasar negara bersifat “sekuler”, prinsip-prinsip Pancasila dikristalisasi dari nilai-nilai budaya Indonesia. Namun nilai-nilai tersebut tidak bertentangan dengan pengajaran agama.

Sementara itu dalam bernegara, agama mempunyai kedudukan yang setara dan tertinggi dalam segala aspek kehidupan manusia, pemerintahan, dan pemerintahan.

Kebijakan pemerintah, undang-undang, peraturan, dan kehidupan masyarakat -bahkan urusan pribadi- tidak boleh bertentangan dengan ajaran dan nilai-nilai agama.

Perzinahan dan perjudian, misalnya, adalah tindakan yang melanggar hukum, meskipun di banyak negara hal ini mungkin merupakan hal yang lumrah dan legal.

Upaya menjamin kebebasan beragama menurut Mu’ti juga ditegaskan oleh Indonesia lewat ratifikasi Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.

Dari sini, negara ikut memfasilitasi pemeluk agama untuk mengamalkan, mengembangkan, dan mengajarkan agamanya masing-masing.

Di sekolah misalnya, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 12 menjamin siswa untuk mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan ajarannya yang diajarkan oleh guru agama yang seagama.

Komitmen negara ini juga ditunjukkan pada soal perkawinan, perawatan medis, wali anak, dan pelayanan publik lainnya juga diberikan dengan memperhatikan agama.

Tantangan Kebebasan Beragama

Selain peluang-peluang kebebasan beragama di atas, Mu’ti menjabarkan sekian tantangan bagi prospek kebebasan beragama di Indonesia.

Meski kebebasan beragama telah dijamin lewat beberapa pasal di atas, menurutnya “secara hukum” masyarakat tidak mempunyai haknya.

Misalnya lewat Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 16 Tahun 2010 yang membatasi pendidikan agama hanya kepada enam agama yang resmi diakui oleh negara.

Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 27 Tahun 2016, penganut agama asli mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan agama sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.

Menyusul pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 16 Tahun 2010, pemeluk agama selain enam agama yang “dipelihara” seperti Yudaisme, Bahai, dan lain-lain tidak mendapat pendidikan agama sebagaimana tertulis dalam Undang-Undang. nomor 20/2003.

“Secara Undang-undang, keberadaan mereka termasuk. Tapi, berdasarkan Peraturan, mereka dikecualikan,” kata Mu’ti.

Kata Mu’ti, permasalahan serupa juga dialami oleh penganut enam agama “yang dianut” yang jumlahnya kurang dari 15 orang. Jika murid agama tertentu kurang dari 15 orang, maka pendidikan agama tidak diajarkan di sekolah.

“Hal ini diajarkan oleh komunitas agama di luar sekolah. Karena alasan “pragmatis”, para siswa tersebut lebih memilih mengikuti pendidikan agama yang tersedia di sekolah. Artinya mereka mempelajari pendidikan agama yang berbeda dengan agamanya,” imbuhnya.

Tantangan kebebasan beragama yang lain menurut Mu’ti juga terdapat pada penerapan pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pernyataan sahnya perkawinan menurut agama pasangan suami istri menunjukkan rasa hormat dan jaminan negara terhadap pengamalan agama. Namun pada praktiknya, pasal tersebut justru bisa menjadi sumber permasalahan.

Pertama, permasalahan terjadi jika calon pengantin berbeda agama. Agama memang mempunyai ajaran berbeda mengenai pernikahan beda agama.

Dalam Islam, para ulama berbeda pendapat mengenai perkawinan beda agama. Sebagian ulama, merujuk pada Alquran al-Baqarah:221, berpendapat bahwa umat Islam dilarang menikah dengan orang non-muslim baik musyrik maupun ahli kitab (ahl al-Kitab).

Ulama lain berpendapat bahwa laki-laki Muslim boleh menikahi perempuan Ahli Kitab. Namun, seorang muslimah dilarang menikah dengan laki-laki ahli kitab dan musyrik.

“Argumen mereka didasarkan pada Al-Quran al-Maidah:5. Pasal 40 dan 44 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan muslim hanya boleh menikah,” jelasnya. (afn/ded)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini