*) Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari
Manusia menolak hari kebangkitan dengan dalih bahwa jasad yang sudah hancur, sulit untuk dikembalikan menjadi utuh.
Namun Allah membantah hal itu dengan mengatakan bahwa membangkitkan sesuatu, yang sebelumnya sudah ada, jauh lebih mudah daripada menciptakan sesuatu yang baru.
Kalau penciptaan manusia berasal dari pertemuan air mani dan ovum hingga berwujud manusia sempurna.
Bagi Allah, menghidupkan kembali manusia yang sudah pernah ada, jauh lebih mudah, daripada menghidupkan kembali barang yang sudah pernah ada.
Allah pun menegaskan penciptaan langit dan bumi, sebagai makhluk yang sangat besar, sangat bagi Allah.
Apalagi menciptakan manusia, yang sangat kecil dan sederhana, maka jauh lebih mudah dan ringan bagi Allah
Penolakan Hari Kebangkitan
Permusuhan terbesar suatu kaum terhadap rasulnya ketika diajak untuk mentauhidkan Allah. Rasul berargumen bahwa Allah akan membangkitkan jasad mereka untuk dimintai pertanggungjawaban.
Kaumnya pun menentang adanya hari kebangkitan. Mereka berargumen bahwa ketika manusia mati, dan jasadnya dikubur di dalam tanah akan hancur lebur.
Oleh karenanya, hari kebangkitan merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Narasi ini diabadikan Alquran sebagaimana firman-Nya :
قَا لُوْۤا ءَاِذَا مِتْنَا وَكُنَّا تُرَا بًا وَّ عِظَا مًا ءَاِنَّا لَمَبْعُوْثُوْنَ
“Mereka berkata, “Apakah betul, apabila kami telah mati dan telah menjadi tanah dan tulang belulang, kami benar-benar akan dibangkitkan kembali?” (QS. Al-Mu’minun : 82)
Argumen ini sepintas rasional dan benar dimana manusia yang sudah menjadi mayat akan hancur ketika berada terkubur di dalam tanah beberapa tahun.
Oleh karenanya, tidak mungkin bisa dihidupkan kembali. Namun bagi Allah, mengembalikan kembali jasad yang sudah hancur, untuk dikembalikan ke dalam bentuk yang baru, begitu mudah.
Alquran menegaskan hal itu sebagaimana firman-Nya:
وَهُوَ الَّذِيْ يَـبْدَؤُا الْخَـلْقَ ثُمَّ يُعِيْدُهٗ وَهُوَ اَهْوَنُ عَلَيْهِ ۗ وَلَهُ الْمَثَلُ الْاَ عْلٰى فِى السَّمٰوٰتِ وَا لْاَ رْضِ ۚ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
“Dan Dialah yang memulai penciptaan, kemudian mengulanginya kembali, dan itu lebih mudah bagi-Nya. Dia memiliki sifat Yang Maha Tinggi di langit dan di bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (QS. Ar-Rum : 27)
Allah ingin menegaskan bahwa mengulangi penciptaan merupakan hal yang mudah. Hal ini bisa diilustrasikan seorang pembuat barang seperti motor.
Membuat motor pertama kali bisa jadi lebih sulit, dan mengulang pembuatan motor yang sejenis dengan bentuk dan model yang sama lebih mudah.
Apalagi bagi Allah yang memiliki segalanya, mengulangi sesuatu pasti jauh lebih mudah.
Penciptaan Langit dan Bumi
Langit dan bumi merupakan makhluk yang jauh lebih besar dan lebih rumit daripada manusia.
Namun bagi Allah, penciptaan kedua benda ini sangat mudah. Manusia merupakan barang ciptaan yang kecil dan sangat tidak ada artinya bila disandingkan langit dan bumi.
Kedua makhluk ini memiliki tujuh lapis dan masing-masing lapis ada kehidupan dengan berbagai makhluk yang ada jutaan makhluk hidup.
Sekali lagi bahwa penciptaan kedua makhluk ini sangat mudah bagi Allah. Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya :
لَخَلْقُ السَّمٰوٰتِ وَا لْاَ رْضِ اَكْبَرُ مِنْ خَلْقِ النَّا سِ وَلٰـكِنَّ اَكْثَرَ النَّا سِ لَا يَعْلَمُوْنَ
“Sungguh, penciptaan langit dan bumi itu lebih besar daripada penciptaan manusia, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ghafir : 57)
Allah pun memberi ilustrasi begitu mudahnya Allah membangkitkan makhluk yang sudah mati ratusan tahun.
Di mana makanan dan minuman masih dalam keadaan baik, dan binatang telah berubah menjadi tulang belulang.
Sementara manusia yang dihidupkan merasa mati hanya sehari atau setengah hari saja. Alquran menunjukkan bahwa mengembalikan tulang belulang menjadi binatang yang utuh merupakan hal yang sangat mudah.
Hal ini dinarasikan Alquran sebagaimana firman-Nya:
اَوْ كَا لَّذِيْ مَرَّ عَلٰى قَرْيَةٍ وَّ هِيَ خَاوِيَةٌ عَلٰى عُرُوْشِهَا ۚ قَا لَ اَنّٰى يُحْيٖ هٰذِهِ اللّٰهُ بَعْدَ مَوْتِهَا ۚ فَاَ مَا تَهُ اللّٰهُ مِائَةَ عَا مٍ ثُمَّ بَعَثَهٗ ۗ قَا لَ كَمْ لَبِثْتَ ۗ قَا لَ لَبِثْتُ يَوْمًا اَوْ بَعْضَ يَوْمٍ ۗ قَا لَ بَلْ لَّبِثْتَ مِائَةَ عَا مٍ فَا نْظُرْ اِلٰى طَعَا مِكَ وَشَرَا بِكَ لَمْ يَتَسَنَّهْ ۚ وَا نْظُرْ اِلٰى حِمَا رِكَ ۗ وَلِنَجْعَلَكَ اٰيَةً لِّلنَّا سِ وَا نْظُرْ اِلَى الْعِظَا مِ كَيْفَ نُـنْشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوْهَا لَحْمًا ۗ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهٗ ۙ قَا لَ اَعْلَمُ اَنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
“Atau seperti orang yang melewati suatu negeri yang (bangunan-bangunannya) telah roboh hingga menutupi (reruntuhan) atap-atapnya, dia berkata, “Bagaimana Allah menghidupkan kembali (negeri) ini setelah hancur?”
Lalu Allah mematikannya (orang itu) selama seratus tahun, kemudian membangkitkannya (menghidupkannya) kembali.
Dan (Allah) bertanya, “Berapa lama engkau tinggal (di sini)?” Dia (orang itu) menjawab, “Aku tinggal (di sini) sehari atau setengah hari.”
Allah berfirman, “Tidak! Engkau telah tinggal seratus tahun. Lihatlah makanan dan minumanmu yang belum berubah, tetapi lihatlah keledaimu (yang telah menjadi tulang-belulang).
Dan agar Kami jadikan engkau tanda kekuasaan Kami bagi manusia. Lihatlah tulang-belulang (keledai itu), bagaimana Kami menyusunnya kembali kemudian Kami membalutnya dengan daging.”
Maka ketika telah nyata baginya, dia pun berkata, “Saya mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah : 259)
Menolak hari kebangkitan sama saja menuduh Allah tidak adil karena membiarkan kezaliman dan tidak membalas kejahatan yang dilakukan makhluk-Nya.
Hari kebangkitan merupakan momentum untuk membalas amal kebaikan dengan surga, dan mengganjar neraka bagi mereka yang berbuat keburukan selama hidupnya.
Tidak percaya adanya hari kebangkitan berarti melegalisasi berbagai tindak kejahatan manusia, karena kejahatannya tidak akan mendapatkan balasan setimpal.
Ketika menolak hari kebangkitan, dengan argumen tidak akan ada pembalasan, maka kejahatan sosial semakin massif.
Betapa tidak, bagi mereka yang melakukan tindak korupsi, atau membunuh nyawa orang lain, akan dibiarkan melenggang tanpa dimintai pertanggung jawaban.
Bagi korban praktik korupsi atau korban pembunuhan, tentu tidak akan bisa menuntut keadilan karena kezaliman yang telah menimpa dirinya. (*)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News