Derita Palestina dan Paradoks Negara Petro Dollar
Kobaran api setelah Israel menggempur Gaza. foto: [ali jadallah/anadolu agency
UM Surabaya

*) Oleh: Dr Nurbani Yusuf

Palestina dan Zionisme adalah pekerjaan yang tak pernah selesai. Seakan proyek yang terus dirawat untuk menjaga kepentingan geopolitik Saudi dan Amerika dan sekutunya.

Ini memang naif. Saya merindukan keberanian Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser yang heroik meski tetap kalah.

***

Meski bergelimang harta, Saudi dan Arab Teluk tak cukup nyali melawan negara gurem Israel. Sebab Geo politik negara-negara Arab dan Timur Tengah tak ingin ada negara Islam lain yang lebih kuat dan superior.

Ironisnya, Saudi dan seluruh negara teluk tak punya nyali dan tak cukup berpikir meski sumber daya dan kekayaan alam berlimpah.

Negara-negara Islam selalu keteteran dan lambat menyikapi berbagai isu politik global. Baik internal Islam dan eksternal. Sebut saja, zionisme di Palestina, Rohingyae, Uighur, konflik Suriah dan Afghanistan yang tak pernah berujung hingga invasi Saudi atas Yaman.

Gabungan Liga Arab dan OKI terbukti lemah dan tak berdaya bahkan terhadap anggotanya sendiri pun tak cukup mampu menjaga soliditas dan ukhwah.

Dukungan kekayaan dan finansial negara berlimpah saja tak cukup. Liga Arab saja kalah dengan Israel negara kecil tapi pemberani.

Saudi yang berambisi menjadi pemimpin negara Islam karena menjaga dua tempat suci umat Islam juga tak cukup terampil berpolitik. Kerap terlambat dan lemah menghadapi isu regional di kawasan teluk. Kalah bersaing dengan Iran dan Turkey.

***

Syaikh Muhammad Zakky Yamani pernah mengatakan dengan serius bahwa Indonesia punya segala potensi untuk memimpin dunia Islam. Tapi sayang, Saudi dan kawan-kawan tak ingin Indonesia menjadi besar dan kuat.

Kebesaran Indonesia sudah dirasakan semenjak Konferensi Asia Afrika di Bandung. Indonesia menjadi simbol perlawanan negara-negara berkembang. Bukan hanya di kalangan negara Islam saja, tapi juga negara-negara lain yang mengalami penindasan.

Soekarno, Gamal Abdul Nasher, dan Josip Broz Tito tiga pemimpin yang cukup relevan dan menjadi rujukan.

Tentu saja Arab Saudi cemburu karena tidak ada di dalamnya dan tidak suka dengan geopolitik Indonesia yang tumbuh pesat.

Realitas Ini menjadi ilustrasi kenapa Saudi begitu tegas dan keras dan pelit dengan saudara sendiri, tapi lemah lembut terhadap Israel dan barat yang bersekutu menindas Palestina.

Saudi lebih memilih invasi ke Yaman yang sudah lumpuh ketimbang melawan arogansi zionis tulis Jamal Kashogi yang dimutilasi karena keras mengkritik kebijakan politik kerajaan yang ambigu.

***

Negara-negara Arab Islam tetap saja terbelakang hingga hari ini. Dipimpin para penguasa hedon dan menjadi perahan barat.

Saudi yang berambisi menjadi pemimpin dunia Islam tak cukup bukti bisa bermain—politik luar negerinya dikenal ambigu karena terikat dengan kepentingan barat dan sekutunya.

Praktik Monarchy di hampir semua Arab teluk menjadi bukti bahwa keberadaannya hanya untuk memenuhi kebutuhan politik Amerika dan Eropa Barat.

Di tengah kevakuman itu Indonesia tampil potensial meski berbagai upaya dibendung. Impor faham radikalisme adalah salah satu cara untuk memecah dan melemahkan atau menghalang agar Indonesia tidak menjadi kuat.

William Liddle memberi catatan khusus tentang potensi Indonesia dalam percaturan politik global. Faktor negara kepulauan menjadikan daya tawar Indonesia terus menguat dan sulit ditaklukkan.

Hal mana berbanding terbalik dengan kondisi negara Arab dan timur tengah yang terus melemah karena ketergantungan atas barat.

***

Meminjam dependency theory (teori ketergantungan) maka Liga Arab akan terus berpecah dan saling melemahkan satu sama lain meski dengan kekayaan ekonomi melimpah.

Menurut Theotonio Dos Santos, dependensi (ketergantungan) adalah keadaan di mana kehidupan ekonomi negara–negara tertentu dipengaruhi oleh perkembangan dan ekspansi dari kehidupan ekonomi negara–negara lain, di mana negara–negara tertentu ini hanya berperan sebagai penerima akibat saja.

Artinya negara-negara Arab Teluk menjadi kaya bukan karena kerja keras atau sistem ekonomi yang baik.

Kekayaan yang mereka dapat hanya akibat dari kebutuhan barat dan sekutunya dan akan habis setelah kebutuhan tercukupi.

***

Sampai di sini jangan pernah berharap soal Al Aqsha bisa selesai. Tapi berharap Indonesia punya semuanya.

Pluralitas dan kebhinekaan menjadi kekuatan yang ampuh untuk menjadi kekuatan hegemonik-sosial ekonominya teruji, meski dengan beban berat tak mengurangi tumbuh menjadi negara digdaya. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini