Islam tidak memandang negatif terhadap budaya. Alih-alih bersikap antipati, Islam justru melakukan Islamisasi, yakni membuang unsur yang tidak selaras dengan syariat, lalu menjadikan budaya sebagai alat dakwah untuk membumikan Islam.
Hal itu diungkapkan Wakil Ketua Lembaga Seni dan Budaya (LSB) Pimpinan Pusat Muhammadiyah Kiai Khusen dalam seminar kebudayaan yang diselenggarakan LSB Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur di Aula KH Mas Mansoer Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Sabtu (14/10/2023).
“Agama dan budaya itu tidak bisa dipisahkan. Mungkin ada yang mau mencoba memisahkannya tapi pasti tidak bisa,” ujar Khusen.
Dia lalu menyebutkan jika sejak wahyu turun kepada Nabi Muhammad Saw, ada banyak tradisi Arab pra-Islam yang kemudian deislamisasi dan diadopsi menjadi bagian dari tradisi Islam.
“Misalnya ruqyah dan akikah. Akikah pada masa jahiliah kata Kusen dilakukan dengan cara mengusapkan darah hewan sembelihan dengan ibu jari di jidat. Namun, cara-cara yang tidak syar’i itu kemudian dihapus,” tegasnya.
“Nabi Muhammad kemudian tetap menjadikan akikah itu sebagai tuntunan tetapi tidak ada darah yang diusapkan namun diganti dengan minyak wangi,” imbuh Khusen.
Dalam pemahaman Tarjih Muhammadiyah sendiri, imbuh dia, budaya masuk dalam perkara muamalah.
Adapun ritual keagamaan yang menyatu dengan budaya dianggap masuk dalam perkara ibadah ghairu mahdhah, yakni suatu bentuk ibadah yang tidak memiliki nash khusus terkait perintah maupun larangannya.
Berangkat dari pemahaman tersebut, Khusen berpendapat bahwa Muhammadiyah tidak bersikap antipati terhadap ragam budaya di dalam kehidupan kaum muslimin selama tidak bertentangan dengan prinsip syariat.
Bahkan Muhammadiyah mendorong pemanfaatan momentum budaya untuk sarana dakwah dan tabligh.
Diikuti pegiat Persyarikatan, forum ini diadakan sebagai pembuka Rapat Koordinasi Lembaga Seni dan Budaya dari Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) di Jawa Timur. (afn/ded)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News