Dialektika Pergerakan: Muhammadiyah dan NU

*) Oleh: Dr Nurbani Yusuf

Apa yang Muhammadiyah punya, NU sekarang juga punya.
Apa yang NU punya, Muhammadiyah belum tentu punya.

***

Dulu sekali, sekitaran 50 atau 100 tahun silam, di NU hanya ada kiai tak punya guru besar. Hanya punya pesantren dan madrasah. Sedikit sekali perguruan tinggi atau universitas. Tak punya rumah sakit, dokter, bahkan jarang yang pakai celana, sepatu vantoufel, apalagi jas dan pentalon.

Kebanyakan juga tak bisa menulis dan membaca huruf latin. Sebab mereka pakai arab pegon dan kitab kuning gundul. Lantas kepada mereka ditabalkan kolot, jumud, tradisional dan entah apalagi.

Berbeda dengan Muhammadiyah, 100 tahun lalu, Kyai Dahlan sudah mendirikan rumah sakit, sekolah dasar mirip kompeni belanda, yang mengajarkan huruf latin, ilmu hitung, musik dan pelajaran ilmu sekuler lainnya. Ada ratusan guru besar, doktor, sarjana ilmu alam dan sosial berlimpah. Mister dan pokrol.

Dulu ada saat ketika kader-kader Muhammadiyah menempati posisi sangat penting dan strategis di pemerintahan.

Posisi strategis di kementerian penuh dengan kader-kader Muhammadiyah mulai dari menteri, dirjen hingga jabatan-jabatan lain yang semisal. Bahkan pendiri Depag, MUI, ABRI adalah kader-kader Muhammadiyah yang maju dan modern,

***

Gus Dur menyebut kemenangan Muhammadiyah atas NU adalah kemenangan dialektik. Yang awalnya dilawan kemudian dibenarkan rame-rame.

NU yang sekarang sudah jelas sangat berbeda karena maju. Mereka tak lagi alergi dengan sikap hidup modern.

NU yang biasanya hanya mondok meraih gelar kiai. Kini juga sekolah di sekolah sekuler tak sedikit kiai yang bergelar doktor atau guru besar.

Mereka tak lagi berobat ke dukun karena juga punya rumah sakit berkelas. Bukan hanya kitab gundul yang di kaji, mereka juga bisa dan ahli membaca huruf latin dalam berbagai bahasa asing. Di NU ada Majelis tahlil, yasin, dhiba juga seminar FGD Kolokium simposiun dan lainnya.

Mereka punya keduanya: kiai berlimpah, guru besar juga berlimpah. Ribuan pesantren kokoh berdiri ditambah ratusan perguruan tinggi, institut, akademi dalam berbagai disiplin ilmu.

Dukun punya, dokter juga punya. Apoteker punya, dukun peracik jamu juga punya. Pendek kata, semua yang dulu pernah mereka haramkan karena dianggap tasyabuh sekarang dibenarkan dan tumbuh berkembang.

Percepatan pemodernan NU diawali dengan program 1.000 Doktor era presiden Gus Dur, hal mana tak diimbangi dengan program 1.000 kiai di Muhammadiyah yang tak terpikirkan.

Para santri yang dulu disebut tradisional sekarang telah masuk istana: Kyai Ma’ruf Amin dan Cak Imin adalah bukti nyata.

***

Lantas, bagaimana dengan Muhammadiyah? Muhammadiyah tetap pada track yang sama. Ada ratusan bahkan ribuan doktor dan guru besar, tapi tak punya kiai atau wali.

Ada banyak sarjana, mister, pokrol, scholar, tapi tak ada habib, romo kiai, abah guru, gus, neng apalagi wali qutub berkaromah.

Ada ratusan perguruan tinggi, sekolah dasar hingga menengah, tapi tak punya pesantren seperti yang NU punya, kecuali sekolah boarding yang dipesantrenkan.

***

Sistem manajemen organisasi Muhammadiyah juga masih sama tetap istikamah dengan: holding company, memusat ke atas menafikan franchise .

Sementara NU: Holding company-nya kokoh. Franchis-nya juga berkembang pesat. Dua sistem ini dipakai bareng, saling menopang dan menguatkan. Ibarat dua sayap saling menggenapi. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini