Turas merupakan warisan intelektual dan budaya dari masa lalu. Ia mencerminkan pemikiran, ajaran, dan nilai-nilai yang telah diteruskan dari generasi ke generasi. Turas adalah jendela ke masa lalu yang memungkinkan umat Islam memahami sejarah dan perkembangan budaya. Jika turas berkaitan dengan masa lalu, bagaimana cara yang tepat berinteraksi dengannya?
Dalam acara yang diselenggarakan PCINU Maroko pada Ahad (21/10), Sekretaris Umum Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Muhamad Rofiq Muzakkir membeberkan pola-pola penting dalam memperlakukan turas.
Pertama, jangan mereifikasi turas. Contohnya tentang isu darul harbi dan darul kufri. Menurut Rofiq, Kedua konsep ini dalam Islam sering kali menjadi sumber kesalahpahaman di Dunia Barat. Salah satu kesalahpahaman tersebut datang dari pandangan yang dinyatakan oleh Majid Khadduri dalam tulisannya pada tahun 1956. Ia berpendapat bahwa dalam teori Islam, dar al-Islam (wilayah Islam) selalu berada dalam konflik dengan dar al-harb (wilayah perang).
Menurut mayoritas sarjana Muslim, dar al-Islam adalah wilayah di mana Islam dan hukum Islam diterapkan dan praktik Islam dapat dilakukan dengan aman. Dalam pandangan mereka, seluruh dunia dapat dianggap sebagai dar al-Islam karena setiap Muslim dapat dengan aman menjalankan ibadah, menggunakan perbankan Islam, dan membeli makanan halal di mana pun mereka berada.
“Kalau dar al-harb adalah wilayah yang harus diperangi, itu hanya satu pendapat saja. Kita dipengaruhi oleh cara berpikir orientalis dalam memandang turas. Padahal, definisi yang disampaikan mayoritas ulama, dar al-harb adalah tempat di mana hukum Islam tidak bisa diterapkan, tempat di mana kita tidak mendapat keamanan,” terang Rofiq.
Kedua, perlu mengedepankan pendekatan eklektik. Pendekatan eklektik adalah jalan yang mencoba menggabungkan elemen-elemen dari berbagai sumber yang berbeda untuk mencapai pemahaman yang lebih komprehensif. Hal ini karena turas seringkali mencerminkan beragam pandangan yang sering melibatkan banyak disiplin ilmu yang berbeda.
Ketiga, penting untuk menjauhi kecenderungan post-modernistik dalam membaca turas. Kecenderungan post-modernistik yang terlalu ekstrem dalam membaca turas dapat membawa risiko membebaskan pemahaman agama dari normativitas syariah. Rofiq menekankan pentingnya untuk mempertahankan keseimbangan antara menghargai keragaman pemahaman dalam teks-teks klasik dan tetap berpegang pada norma-norma syariah yang telah mapan.
Menurut Rofiq, pendekatan seperti yang diambil oleh Shahab Ahmed dalam buku What is Islam adalah salah satu contohnya. Ia berpendapat bahwa dalam sejarah Islam, ada berbagai cara orang memahami dan menjalankan ajaran Islam, termasuk tindakan yang bertentangan dengan ajaran Islam mainstream seperti minum alkohol yang dilakukan Ibnu Sina dan al Balkhi. “Ini cara yang tidak bener dalam berinteraksi dengan turas,” ucap Rofiq.
Keempat, perlu mengembangkan pendekatan kritis dalam membaca turas. Ini melibatkan kemampuan untuk menilai dan menganalisis teks-teks klasik dengan bijak. Di dalam tradisi intelektual Islam di masa lalu, terkadang terdapat kecenderungan untuk sekadar “tabrīr al-wāqīʿ“, yaitu justifikasi atas realitas yang ada. Artinya, ada kecenderungan untuk menerima norma-norma sosial atau praktik yang ada tanpa kritis mempertanyakan apakah sesuai dengan prinsip-prinsip Islam atau tidak.
Rofiq menyebut salah satu contoh pemahaman masa lalu yang perlu dikritisi ialah isu istikhlāf atau tawris atau isu yang berkaitan dengan penunjukkan penguasa politik. Pada masa Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, para pemimpin dipilih berdasarkan kemampuan dan kepatutan mereka dalam mengemban tugas kepemimpinan. Namun, setelah periode ini, penguasa politik diangkat berdasarkan garis keturunan dari pemimpin sebelumnya, terutama dalam dinasti-dinasti seperti Umayyah dan Abbasiyah. Lebih parahnya lagi, mereka ditopang oleh para ulama dan cendekia.
Kelima, membaca turas juga perlu mempertimbangkan konteks modern. Tradisi tidak harus dianggap sebagai sesuatu yang statis, melainkan sebagai warisan intelektual yang dapat berkembang seiring waktu. Karena itulah, Rofiq mengajukan gagasan integrasi antara tradisi dan modernitas. Intelektual seperti Farid Alatas disebut-sebut dapat mengekstraksi pemikiran dari Ibnu Khaldun dan menerapkannya dalam konteks modern.
“Melakukan relevansi turas itu bukan menelan mentah-mentah tradisi di masa lalu untuk secara paksa diterapkan di masa modern. Tradisi itu tidak statis, melainkan berkembang sesuai dengan denyut zaman. Artinya, berpijak pada masa lalu maksudnya kita menyerap aspirasinya, menyerap pandangan besar dan kekayaannya,” terang Rofiq.
Kelima, pengembangan kebijakan teknis untuk mendekatkan turas pada memori umat Islam. Rofiq menyayangkan civitas akademi yang serius mengkaji turas malah kampus-kampus di Barat. Merekalah yang mengenalkan sosok-sosok seperti Al Biruni, Ibn Nafis dan ilmuwan muslim lainnya. Turas di lingkungan Islam masih terbatas pada ilmu-ilmu syariah. Rofiq mendorong agar kampus-kampus negeri maupun swasta, menyemarakkan kajian keilmuan berbasis turas.
Paparan Rofiq di atas merupakan panduan yang berharga dalam mendekati turas sebagai warisan intelektual yang kaya dan beragam. Dengan pendekatan bijak, kritis, dan kontekstual, umat Islam dapat lebih baik memahami, menghormati, dan menghargai turas dalam konteks zaman sekarang. Turas adalah sumber pengetahuan yang tak ternilai, dan menjaga hubungan yang seimbang dengannya adalah langkah yang penting dalam menjaga warisan umat Islam. (*/tim)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News