Studi Kesufian Otentik: AR Fakhrudin dan Syafi’i Maarif

*) Oleh: Dr. Nurbani Yusuf

Benarkah Muhammadiyah talak tiga terhadap tasawuf?

Seperti mencari jarum hitam di tengah malam gelap gulita, misal yang tepat menggambarkan betapa susahnya menemukan benang struktur formal tradisi tasawuf di kalangan ulama-ulama Persyarikatan.

Tapi, benarkah Muhammadiyah hanya membatasi diri pada urusan fikih yang kemudian disimbolkan dengan perilaku puritan dan jargon kembali kepada Alquran dan sunah?

Ada yang menyebut bahwa ‘Manhaj Muhammadiyah tak ramah dengan tasawuf, tak sedikit yang menyebut bid’ah, khurafat yang harus dibuang jauh.

Sebab itu pula konten putusan Majelis Tarjih hanya berkisar pada urusan akidah, fikih, dan sedikit muamalah. Tak ada ruang untuk tasawuf.

Paradoks, meski tidak dilembagakan, perilaku tasawuf justru sangat kental di kalangan ulama-ulama Persyarikatan, bahkan lebih substantif, membentuk sikap dan perilaku sebagian besar ulama, tidak membenam diri dalam riuh ritual formal sebagaimana lazimnya.

Perilaku tasawuf tidak disimbolkan dalam bentuk zikir atau struktur mursid suluk atau wirid, surban menjuntai dan jumlah pengikut tapi lebih merujuk pada ‘perilaku tasawuf’ atau perilaku kesufian otentik.

Otentisitas perilaku kesufian inilah yang hendak saya kabarkan, yang mewujud dalam bentuk konseptual: Ma’rifat ‘ala Minhajil Muhammadiyah.

Kajian ini sama sekali tidak membincang berapa lama beliau duduk saat wirid atau sebesar apa tasbih yang ia putar atau karamah yang beliau dapatkan.

Ma’rifat adalah cahaya yang dilemparkan pada hati sang sufi tutur Dzun nun Al Mishri. Saya belum ada keberanian memberi ta’rif : apakah ini yang disebut Tasawuf Ihsan seperti digagas Ki Bagus Hadikoesoemo.

***

Realitasnya Indikator kesufian semisal: ikhlas, zuhud, wara, raja’, mahabbah, menjadi bagian tak terpisah dari kehidupan para ulama Persyarikatan: KH Abdur Razaq Fakhruddin yang biasa disebut Pak AR dan Buya Syafi’i Maarif adalah pribadi kesufian otentik ulama di Muhammadiyah dengan tidak bermaksud menafikkan yang lain.

Meski menyandang nama besar, tidak menghalangi keduanya hidup bersahaja sebagaimana ulama lainnya di Persyarikatan.

Pak AR tetap jualan bensin eceran, mengendarai motor Yamaha butut dan tinggal di rumah kontrakan.

Yang bikin Prof Nakamura dari Negeri sakura Jepang keheranan. Pun dengan Buya Syafii Maarif, tidak canggung belanja di warung sebelah, pergi sendirian tanpa pengawalan dan memenuhi kebutuhan hidup sendiri tanpa seorang pembantu.

Tiga kali berta’dzim. Orang Nogotirto menjawab sama: bila beliau ada di rumah, beliau akan salat berjamaah di masjid.

Di masjid itu pula semua tamu ditemui. Pikiran-pikiran besar Buya jauh melampaui generasi sebaya dan setelahnya.

Tak jarang beliau menerima amuk dari kader sendiri yang kebetulan belum paham, sesuatu yang amat lumrah bagi sebagian besar ulama diperlakukan umatnya.

***

Kesahajaan ini menghampiri semua ulama-ulama di Persyarikatan, tanpa pesantren dan santri meski menyandang gelar ulama.

Sesuatu yang amat kental terlihat dalam tradisi kesufian di Muhammadiyah. Karena sikap zuhud ini pula tidak satupun ada keinginan memiliki aset yang jumlahnya puluhan triliun. Padahal sangat bisa, kalau mau.

Para ulama itu hidup zuhud dan wara. Mereka sudah selesai dengan urusan dunia. Pikiran terbaik, tenaga terbaik, waktu terbaik dan harta terbaik diwakafkan untuk Persyarikatan.

Para ulama di Muhammadiyah sudah selesai dengan urusan dirinya sehingga tidak menjadi urusan bagi jamaah dan pengikutnya.

Kyai Bedjo Dermoleksono misalnya, wakafkan semua hartanya untuk Persyarikatan tanpa sisa.

Kemudian istrinya tinggal di rumah yang dipinjami dari Pimpinan Muhammadiyah dekat masjid Al Khairat Dinoyo tempat saya lima tahun menjadi marbot.

***

“Hidup-hidupilah Muhammadiyah jangan mencari hidup di Muhammadiyah” bisa juga dimaknai mencari penghidupan yang baik dan halal di luar, kemudian dipakai untuk menghidupi Muhammadiyah.

“Jangan kau tawarkan jiwamu karena jika sudah dikehendaki kamu akan mati tapi beranikah kau berikan harta bendamu untuk kepentingan agamamu adalah dua pesan Kyai Dahlan di awal berdiri dibuktikan dengan menggadaikan semua harta bendanya untuk membiayai sekolah yang beliau dirikan yang kesulitan likuiditas.

Ma’rifat ‘ala Minhajil Muhammadiyah Kyai Dahlan adalah keteladanan kepada seluruh muridnya untuk ma’rifat, mengenal dan memahami ruh dan spirit pergerakan ini secara kaffah, bukan semacam kawanan pekerja yang mencari sesuap makan di berbagai Amal Usaha Muhammadiyah, yang terus menagih untuk mendapatkan, tapi susah memberi.

***

Sebaliknya semua amal usaha, baik universitas, rumah sakit, bait amal dan lainnya, adalah washilah dakwah bukan tujuan, manhaj inilah yang benar, yang harus terus ditransformasikan kepada semua aktivis pergerakan, menjaga spirit dan ghirah di tengah gempuran ideologi transnasional- tarbiyah dan liberal-sekuler yang terus mengimpit. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini