Puisi Haru Taufiq Ismail, “Palestina, Bagaimana Bisa Aku Melupakanmu?”
Sastrawan Taufik Ismail
UM Surabaya

Sastrawan besar Indonesia, Taufik Ismail (lahir 1935) dikenal sebagai seorang pujangga yang lekat dengan karya-karya bernafaskan Islam. Dikenal sebagai warga Persyarikatan, pujangga yang masuk dalam kategori Sastrawan Angkatan 66 ini pernah menciptakan puisi bagi Milad Muhammadiyah ke-108, “Muhammadiyah Satu Abad Delapan Tahun”.

Kepeduliannya terhadap dunia Islam, terutama bagi bangsa Palestina dalam perjuangan melawan kolonialisme dia tunjukkan oleh sebuah puisi berjudul “Palestina, Bagaimana Bisa Aku Melupakanmu?” yang ditulis pada tahun 1989.

Puisi yang sudah dialihbahasakan dalam bahasa Inggris, Persia, dan Arab ini pernah dibacakan dalam perkumpulan para sastrawan Islam di Ismailiyah, Mesir tahun 2014. Juga pada malam kenegaraan jelang KTT Luar Biasa OKI soal Palestina dan Al-Quds Al-Syarif di Jakarta, tahun 2016.

Berikut teks lengkap naskah puisi tersebut sebagaimana dibacakan pada kanal TvMuh:

“Palestina, Bagaimana Bisa Aku Melupakanmu?”

Ketika rumah-rumahmu diruntuhkan bulldozer dengan suara gemuruh menderu, serasa pasir dan batu bata dinding kamar tidurku bertebaran di pekaranganku, meneteskan peluh merah dan mengepulkan debu yang berdarah.

Ketika luasan perkebunan jerukmu dan pepohonan apelmu dilipat-lipat sebesar saputangan, lalu di Tel Aviv dimasukkan dalam file lemari kantor agraria, serasa kebun kelapa dan pohon manggaku di kawasan khatulistiwa, yang dirampas mereka.

Ketika kiblat pertama mereka gerek dan keroaki bagai kelakuan reptilia bawah tanah dan sepatu-sepatu serdadu menginjaki tumpuan kening kita semua, serasa runtuh lantai papan surau tempat aku waktu kecil belajar tajwid Al-Qur’an 40 tahun yang silam, di bawahnya ada kolam ikan yang air gunungnya bening kebiru-biruan kini ditetesi airmataku.

Palestina! bagaimana bisa aku melupakanmu?

Ketika anak-anak kecil di Gaza belasan tahun bilangan umur mereka, menjawab laras baja dengan timpukan batu cuma, lalu dipatahi pergelangan tangan dan lengannya, siapakah yang tak menjerit?!! serasa anak-anak kami Indonesia jua yang dizalimi mereka.

Tapi saksikan tulang muda mereka yang patah akan bertaut dan mengulurkan rantai amat panjangnya, pembelit leher lawan mereka, penyeret tubuh si zalim ke neraka.

Ketika kusimak puisi-puisi Fadwa Tuqan, Samir Al-Qassem, Harun Hashim Rashid, Jabra Ibrahim Jabra, Nizar Qabbani dan seterusnya yang dibacakan di Pusat Kesenian Jakarta, jantung kami semua berdegup dua kali lebih gencar lalu tersayat oleh sembilu bambu deritamu, darah kami pun memancar ke atas lalu meneteskan guratan kaligrafi;

‘Allahu Akbar!’ dan ‘Bebaskan Palestina!’

Ketika pabrik tak bernama, 1000 ton sepekan memproduksi dusta, menebarkannya ke media cetak dan elektronika, mengoyaki tenda-tenda pengungsi di padang pasir belantara, membangkangit resolusi-resolusi majelis terhormat di dunia, membantai di Shabra dan Shatila, mengintai Yasser Arafat dan semua pejuang negeri anda, aku pun berseru pada khatib dan imam shalat Jum’at sedunia:

“Doakan, doakan, doakan kolektif dengan kuat seluruh dan setiap pejuang yang menapak jalanNya! yang ditembaki dan kini dalam penjara, lalu dengan kukuh kita bacalah ‘laquwwatta illa bi-Llah!’, ‘laquwwatta illa bi-Llah!’, ‘laquwwatta illa bi-Llah!’”

Palestina! bagaimana bisa aku melupakanmu?

Tanahku jauh, tanah kami jauh bila diukur kilometer. Beribu-ribu kilometer jauh jaraknya, tapi adzan Masjidil Aqsa yang merdu serasa terdengar di telingaku, serasa terdengar di telinga kami, di Indonesia. (*/tim)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini