Situasi konflik bersenjata yang terjadi di Jalur Gaza semakin mengkhawatirkan dan menimbulkan korban yang luar biasa. Serangan roket, disertai dengan hujanan tembakan senjata, berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Palestina, di Jalur Gaza sejak 7 Oktober hingga per-31 Oktober 2023 tercatat, 8.525 orang tewas. Sebanyak 3.500 adalah anak-anak.
Selain menyerang objek sipil seperti rumah sakit, pemukiman warga, fasilitas pendidikan, hingga memutus saluran komunikasi, perang yang baru-baru saja terjadi pecah setelah setelah serangan roket Hamas di Tel Aviv, Kamis (12/11/2023).
Serangan tersebut mengembalikan memori atas kebrutalan serangan yang dilakukan oleh etnis Yahudi yang telah berlangsung sejak tahun 1948 sampai saat ini. Eksistensi dari etnis Yahudi yang mendapatkan wilayah untuk keamanan dari pembantaian etnis yang dilakukan oleh Nazi Jerman selama Perang Dunia ke-II dengan menempati wilayah Palestina melalui Deklarasi Balfour 1917 (di mana Inggris yang menjajah Palestina memberikan akses tempat perlindungan bagi warga Yahudi yang alami persekusi) ternyata dibalas dengan kepedihan luar biasa.
Perang besar yang terjadi selama bertahun-tahun tersebut selain meninggalkan trauma luar biasa bagi penduduk Palestina, juga berdampak pada hilangnya wilayah yang diokupasi oleh Israel mulai 1948, 1967, hingga saat ini hanya tersisa di sisi Jalur Gaza dan West Bank.
Pakar Hukum UM Surabaya Satria Unggul Wicaksana menyebut, peristiwa pembunuhan secara meluas dan sistematis, penganiayaan, hingga okupasi yang dilakukan sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip universal HAM. Juga pelanggaran serius terhadap hukum internasional sesuai dengan Pasal 2 (7) dan Pasal 33 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa/ PBB (The Charter of UN), point penting untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional serta menahan diri dalam aktivitas yang berkenaan dengan penggunaan senjata dan ancaman kekerasan.
Dalam keterangannya, Satria menjelaskan bagaimana pertanggungjawaban atas kejahatan internasional yang dilakukan oleh Israel di satu sisi dalam kacamata hukum internasional. Serta bagaimana konsolidasi internasional dapat menjadi salah satu agenda mendesak dalam mewujudkan perlindungan dan keamanan bagi masyarakat Palestina yang menghadapi situasi genosida dan sangat mengerikan.
Kejahatan Genosida yang Dilakukan oleh Israel
Istilah kejahatan genosida pertama kali diperkenalkan oleh Raphael Lemkin dalam bukunya berjudul “Nazi crimes in occupied Europe” pada 1944 yang kemudian menjadi dasar penuntutan pada Mahkamah Militer Nurenberg yang kemudian diakui dalam Resolusi Majelis Umum PBB (G.A. Res 96 (1)).
Pada 1948 disepakatinya Konvensi Anti-enosida 1948 sebagai aturan internasional untuk menindak pelaku kejahatan genosida. Kelemahan konsep tersebut adalah tidak adanya pengadilan internasional permanen yang dapat mengadili pelaku kejahatan genosida sebelum 1998. Ada dua pengadilan ad hoc seperti International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) dan International Criminal Tribunal for ex-Yugoslavia (ICTY) (Robert Cyrer, 2012).
Pada Statuta Roma 1998 kemudian memberikan mekanisme efektif untuk menghukum pelaku kejahatan genosida pada pengadilan internasional yang permanen, yaitu International Criminal Court. Unsur kejahatan genosida diatur pada Pasal 6 Statuta Roma 1998, menurut William A. Schabas dalam bukunya “The Handbook of International Crimes”, Genosida daripada 3 jenis kejahatan lain yang sesusai eengan Statuta Roma 1998 adalah pada aspek “menghancurkan” etnis, ras, bangsa, dan agama objek yang dihancurkan adalah: (1) Fisik; (2). Biologis/genetika; (3). Budaya (Wiliam Schabas, 2007).
Dalam konteks tersebut, sangat jelas kemudian bagi pelaku kejahatan yang dengan sengaja berniat untuk menghancurkan suatu kelompok bangsa, etnis, ras, agama tertentu baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk kaitannya dengan upaya menghancurkan ekosistem dia dapat dikategorikan sebagai pelaku kejahatan genosida
Aktivitas serangan yang meluas dan sistematis yang dilakukan oleh Israel masuk kategori kejahatan Agresi, Robert Cyrer dalam bukunya “an introduction of international criminal court” menyebutnya sebagai pertanggungjawaban kepala negara yang bertindak atas nama negara yang bertanggung jawab atas unlawful use of force dan crime against peace (2007: 262).
Human Rights Watch (HRW Reports, 2020) bahkan menyebut kejahatan Israel terhadap masyarakat Palestina sebagai kejahatan Apertheid dimana istilah ini juga pernah terjadi di Afrika Selatan akibat penindasan atas nama ras, suku,etnis, dan bangsa yang terjadi. Setidaknya, ada dua mekanisme internasional kunci, yaitu Convention Elimination Racial Discrimination (CERD).
“Serta, dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Statuta Roma 1998 yang menyebut kejahatan tersebut sebagai bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dan kejahatan perang (war crimes),”ujar Satria.
Kejahatan agresi memang belum memiliki aturan yang kuat terkait dengan mekanisme pertanggungjawaban kriminal individual, karena berdasarkan Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 121 dan Pasal 123 Statuta Roma 1998, kejahatan agresi perlu ada mekanisme amandemen dan revisi statuta, untuk menjerat Benyamin Netanyahu ataupun komandan militer dari Israel yang bertanggung jawab atas invasi yang dilakukan.
Dalam konteks akumulasi kejahatan yang dilakukan oleh Israel sebagai kejahatan agresi, William Schabas (2007:138) menjelaskan terkait pertanggungjawaban negara (state responsibility) yang melakukan kejahatan agresi dapat dituntut dalam Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) sebagai negara yang merintangi prinsip perdamaian internasional yang tunduk pada Bab VII dari Piagam PBB.
Mekanisme ajudikasi dapat dianggap sebagai salah satu solusi dan efek jera bagi negara seculas Israel untuk mempertanggungjawabkan kejahatan aliens occupation. Istilah ini dapat ditemukan dalam Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949 yang pada intinya mengatur mengenai hukum humaniter internasional, yang dilakukan selama ini dan dapat menjadi pelajaran yang berharga bagi masyarakat internasional dalam mewujudkan perdamaian internasional yang sesungguhnya.
Melindungi Warga Palestina Sebagai Korban Genosida
Di luar mekanisme ajudikasi, ada mekanisme diplomasi dengan mendesak peran Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB untuk memihak pada prinsip kemanusiaan. Jangan sampai preseden kejahatan kemanusiaan berulang karena ada pembiaran kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan terjadi.
Serta menahan diri dalam menggunakan kepentingan politik yang mengaburkan dan menjustifikasi kejahatan internasional yang dilakukan oleh Israel atas motif apa pun. Termasuk, memanfaatkan organisasi internasional lainnya seperti Organisasi Kerja sama Islam (OKI) serta Liga Arab untuk berkonsolidasi dalam mewujudkan perdamaian dan menghentikan gencatan senjata di Palestina. Walaupun akan menghadapi situasi terjal karena political driven yang dilakukan negara sekutu Israel dengan dalih perdagangan minyak dan pasar bebas.
Terpenting juga, tidak ada lagi standar ganda dalam memahami akar konflik bersenjata yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina, sehingga kejahatan genosida ini kembali terjadi. Tidak ada celah sedikit pun dalam mengizinkan serangan dengan niat untuk menghancurkan warga Palestina tersebut.
“Sehingga preseden kemanusiaan ini tak dicatat sejarah berulang, bahwa terjadi pembiaran terhadap upaya genosida terhadap warga Palestina merupakan kejahatan berat hukum internasional,” tandas Satria. (*/tim)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News