Rezim Jokowi dan DNA Otoritarian
Slamet Muliono Redjosari. foto: jawa pos
UM Surabaya

*) Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari

Di balik penampilannya yang lemah lembut dan santun, serta merakyat, namun rezim Joko Widodo (Jokowi) sering kali mengeluarkan kebijakan yang otoriter.

Hal ini ditunjukkan dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkan rezim ini dirasakan sangat otoriter meskipun penyampaiannya terkesan dingin dan menenangkan. Sedemikian otoriternya banyak pihak yang menyatakan Jokowi memiliki DNA otoriter.

Rocky Gerung memperkuatnya hingga DNA ini membiak pada kedua anaknya (Kaesang dan Gibran) ketika mengiyakan kebijakan yang diambil bapaknya.

Kebijakan otoriter ini juga diperkuat oleh Connie Rahakundini yang melihat apa yang disampaikan Jokowi belakangan ini sangat menakutkan, sehingga membuat banyak pihak merasa terancam.

Rezim dan Ancaman Demokrasi

Awalnya, rezim Jokowi ini dipandang sebagai pemimpin yang pro-rakyat dan memberi harapan pada “wong cilik”.

Dia berjanji akan melahirkan kebijakan yang memberikan angin segar bagi tumbuhnya harapan baru untuk kehidupan demokrasi.

Namun dalam perkembangannya, rezim ini justru dipandang sebagai simbol anti-tesa demokrasi. Hal ini berawal adanya ambisi untuk melanggengkan kekuasaan.

Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Rocky Gerung, “Ambisi melanggengkan kekuasaan yang sedang diupayakan Jokowi melalui loyalisnya dilakukan secara rapi dan terus menerus hingga masyarakat menyimpulkan bahwa Jokowi tak hanya otoriter tetapi juga totaliter. Dan itu memang dirapikan jalannya menuju pada suatu waktu, kita akan anggap bahwa di dalam diri Pak Jokowi ternyata ada mental otoriter atau bahkan totaliter.” (fnn.co.id)

Pandangan Rocky ini menunjukkan bahwa Jokowi seolah-olah menyelundupkan ambisinya itu dengan membujuk orang segala macam, tapi di ujungnya adalah totalitas untuk totaliterisme.

Ahmad Khoirul Umam memperkuat pandangan ini yang melihat ketidaknetralan Jokowi dalam Pemilihan Presiden (Pilpres), karena mendukung Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden (Cawapres) 2024.

Dia mengatakan Presiden Joko Widodo berulang kali menegaskan sikap netralnya pada Pemilihan Presiden 2024.

Tak sebatas itu, instruksi netral selama pemilu disampaikannya untuk para pemimpin daerah, aparatur sipil negara, hingga personel TNI-Polri.

Meski demikian, tak mudah untuk meyakinkan publik, apalagi putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, maju di pemilihan sebagai bakal calon wakil presiden.

Ditambah lagi, indikasi orkestrasi kekuasaan untuk mempertahankan kekuasaan sudah tampak sejak lama.

Padahal sebelumnya, Sikap netral Presiden Jokowi pertama kali disampaikan pada 22 Oktober lalu.

Saat ditanya terkait dengan preferensi dukungannya di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, Jokowi menjawab mendukung semua pasangan capres-cawapres yang ada demi kebaikan bangsa.

Sikap netral itu kembali disampaikannya untuk menjawab suara publik yang ingin Jokowi netral, seperti disuarakan bakal capres saat Jokowi makan siang bersama ketiga bakal capres, yakni Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto, di Istana Negara, Senin (30/10/2023).

Komitmen netralitas yang disampaikan tak sebatas dirinya sebagai Presiden. Ia juga menginstruksikan kepada semua aparatur sipil negara, pimpinan daerah, dan personel TNI-Polri, untuk menjaga netralitas selama pemilu.

Setelah insiden pencopotan baliho bergambar Ganjar Pranowo-Mahfud MD dan bendera PDI-P, saat kunjungan kerja Presiden di Kabupaten Gianyar, Bali, Selasa (31/10/2023), Presiden pun kembali mengulang instruksi tersebut.

Terlepas dari itu, kekhawatiran pada netralitas Presiden dan aparaturnya tak bisa begitu saja lenyap dari benak sebagian publik. Apalagi jika melihat rentetan peristiwa sebelumnya. (kompas.id)
]
Bahaya Miring-Miring

Untuk memperkuat adanya kebijakan otoritas ini, Connie Rahakundini menunjukkan adanya ancaman yang serius.

Pernyataan “miring-miring” dipandang sebagai ancaman serius bagi demokrasi. Hal ini sebagaimana dikatakan Connie, “Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di hadapan ratusan Pj kepala daerah yang meminta agar “tidak miring-miring”, dipandang menyisakan tanda tanya besar.

Terlebih permintaan itu diungkapkan jelang Pemilu 2024. “Miring-miring bisa dipahami harus tegak lurus kepada salah satu pasangan Capres-Cawapres di Pilpres 2024, dalam hal ini pasangan Prabowo-Gibran?

“Miringnya harus ke Gibran? Bahwa kalau ke Gibran dianggap tidak miring? Kalau ke Pak Ganjar miring? Kalau ke Pak Anies miring ?

Pernyataan mantan Walikota Solo itu sangat menakutkan, karena bisa multitafsir. Terlebih diungkapkan menjelang kontestasi demokrasi lima tahunan. Jika “miring-miring” yang dimaksud Jokowi mengarah pada salah satu pasangan Capres-Cawapres, maka Jokowi dinilai lebih parah dari rezim otoriter Soeharto (rmol.id)

“Miring-miring” merupakan pernyataan yang menakutkan sekaligus ancaman bagi siapapun yang berseberangan dengan presiden. Hal ini semakin memperkuat adanya DNA otoriter yang ada di dalam diri Jokowi.

Lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberi jalan kepada putranya untuk memegang tiket Cawapres, dan hal ini merupakan bentuk adanya sikap otoriter presiden.

Sebagai anak pun, Gibran tidak menolak karena dipandang kurang patut. Hal ini karena dari sisi umur tidak memenuhi syarat, dan dari sisi pengalaman, juga sangat kurang memadai.

Publik pun menunjukkan sikap protes atas lahirnya putusan MK itu, sehingga lahirlah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang diketuai Prof. Jimly Ash-Shiddiqie. MKMK ini ditugaskan negara sebagai respons adanya gejolak di tengah masyarakat pasca keluarnya putusan MK.

Masyarakat melihat bahwa telah terjadi pelanggaran etis dari putusan MK ini. Dikatakan terdapat pelanggaran etis karena salah satu Hakim MK itu Anwar Usman, paman Gibran (anak Jokowi), sehingga berpotensi konflik kepentingan (conflict of interest).

Meski pun harapan masyarakat terhadap adanya MKMK, yang bisa menganulir putusan MK, namun prosentasenya sangat kecil.

Masyarakat memiliki harapan atas MKMK untuk memulihkan marwah MK, yang saat ini merosot tajam.

Namun ketika MKMK tidak mampu menganulir putusan MK, mengafirmasi adanya DNA otoritarian Jokowi yang terbukti meloloskan anaknya (Gibran) menjadi Cawapres. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini