*) Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari
Praktik demokrasi saat ini menghadirkan tangisan kolektif dari berbagai pihak, termasuk dari para loyalis rezim saat ini.
Hal ini terkait dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meloloskan anak presiden, Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden (Cawapres).
Tangisan itu tidak lain sebagai refleksi atas terkoyaknya demokrasi yang selama ini dijadikan tonggak dan harapan lahirnya presiden yang peduli pada rakyat kebanyakan.
Lahirnya putusan MK itu memutus harapan untuk melahirkan pemimpin yang demokratis, dan berganti menjadi politik dinasti.
Orang sekelas Goenawan Muhammad sampai menangis karena menganggap demokrasi telah dikubur oleh politik dinasti.
Arief Hidayat, anggota MK, pun menyatakan penyesalannya atas tumbuhnya budaya nepotisme.
Connie Rahakundini, akademisi, penulis, dan pengamat di bidang militer dan pertahanan keamanan, menyesalkan adanya cawe-cawe terhadap TNI sehingga dijadikan alat politik. Semua itu menunjukkan tragedi yang mengoyak demokrasi.
Tangisan Kolektif
Goenawan Muhammad, wartawan senior sekaligus sastrawan, menangisi atas terkoyaknya demokrasi. Dahulu, dia merupakan pilar utama yang menopang Jokowi hingga bisa berkuasa dan eksis di dalam kekuasaannya.
Dalam sebuah acara talkshow di televisi nasional, Goenawan mengungkapkan kekecewaannya terhadap Presiden Joko Widodo yang dianggapnya ingin mempertahankan kekuasaan melalui putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka.
Goenawan pun menitikkan air mata ketika berbicara tentang keresahannya yang dulunya berharap besar para orang Solo ini. B
erharap Indonesia punya pemimpin yang bisa diandalkan dengan berbagai kata-katanya. Namun dia sungguh kecewa hingga menyatakan bahwa Pak Jokowi enggak bisa dipegang lagi.
Hal yang sama diungkapkan Connie Rahakundini,. Dalam sebuah acara podcast, ia mengecam putusan MK yang memungkinkan Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden.
Dia mengatakan “Cukup, yang dibikin kacau itu MK lah, jangan tentara. Karena tonggak pilar kita itu tentara dan polisi. Jadi jangan ditarik-tarik (ke politik). Saya mau warning aja, Pak Presiden, tolong perhatikan, cukup MK yang diacak-acak, jangan tentara kita,” ungkapnya.
Hal senada disampaikan pengamat politik Ray Rangkuti. Dia menegaskan kekecewaannya ketika mengkritik Presiden Jokowi karena dianggap ingin memperpanjang kekuasaannya.
Itu dilakukan melalui upaya-upaya seperti wacana Penundaan Pemilu, termasuk 3 Periode Jabatan Presiden, usulan menggabungkan Prabowo dan Jokowi, serta gugatan mengenai batas usia minimal capres-cawapres ke MK yang kemudian mendukung anaknya, hingga maju sebagai cawapres Prabowo Subianto.
Dia menyatakan bahwa peristiwa demi peristiwa ini bertumpu pada satu hal, yaitu keinginan untuk melanggengkan kekuasaan.
Bahkan tidak kalah tragisnya, Arief Hidayat, anggota MK. Dia secara terbuka mengkritik keputusan kontroversial MK.
Arief menganggap MK sebagai institusi hukum yang seharusnya membantu memerangi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di Indonesia, tetapi justru sebaliknya menjadi penyemai tumbuh suburnya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme. Hal ini harus diberantas, dan tidak boleh lagi hidup di Indonesia.
Pandangan tokoh di atas menunjukkan bahwa demokrasi telah terkoyak oleh politik dinasti karena hanya memberi peluang kepada seorang anak yang tidak mumpuni dalam mengelola negara sebesar ini.
Hal ini jelas menghadang generasi yang memiliki potensi besar dan pengalaman yang jauh lebih mumpuni dan mapan daripada anak presiden.
Terkoyaknya Demokrasi
Terkoyaknya demokrasi terlihat dengan adanya manuver-manuver elite politik yang meninggalkan etika moral dalam berbangsa dan negara.
Betapa tidak, seseorang yang pernah dibesarkan oleh sebuah institusi atau lembaga yang pernah berjasa padanya. Namun justru berbalik arah meninggalkan partainya.
Hal ini merujuk pada pernyataan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang mengatakan bahwa pada awalnya jajaran PDIP berdoa agar manuver politik keluarga Presiden Jokowi tidak akan terjadi, namun ternyata malah menjadi kenyataan.
Seluruh simpatisan, anggota, dan kader PDIP pun sepertinya belum selesai rasa lelahnya setelah berturut-turut bekerja dari lima Pilkada dan dua Pilpres untuk orang nomor satu Indonesia itu. (liputan6.com)
Bahkan kekecewaan juga muncul dari kalangan relawan Jokowi yang tergabung dalam dewan pengelola Rumah Jokowi Sumatera Selatan.
Mereka melepas dan membakar atribut Rumah Jokowi, sebagai buntut kekecewaan atas langkah politik melenggangkan putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka hingga melaju sebagai cawapres.(okezone.com)
Mereka menyatakan bahwa langkah Jokowi tersebut dinilai telah mencederai perjuangan menggapai reformasi.
Dewan Pengelola Rumah Jokowi Sumatera Selatan melakukan aksi coret atribut, dengan menyilang tanda rumah Jokowi pada sejumlah seragam putih yang mereka kenakan. Pakaian kemudian dikumpulkan dan akan dibuang.
Atribut bendera yang merupakan simbol tegaknya Rumah Jokowi di Sumatera Selatan pun dibakar para relawan.
Mereka menilai Jokowi telah bermain-main dengan membuat resah masyarakat dan banyak pihak, di antaranya keputusan yang disahkan Mahkamah Konstitusi tentang ambang batas calon presiden dan wakil presiden berusia 40 tahun atau pernah menjabat sebagai kepala daerah.
Tangisan atas terkoyaknya demokrasi cukup beralasan. Hal ini karena putusan MK memberi angin kepada sosok Gibran untuk melaju menduduki kursi Cawapres.
Dengan memanfaatkan ketua MK, Anwar Usman, hingga meloloskan keponakannya untuk mendapatkan tiket resmi sebagai Cawapres.
Keresahan kolektif ini sudah menjalar cepat karena yang merasa kecewa adalah para tokoh yang memiliki harapan besar pada presiden. Namun lahir kebijakan dinasti yang dilahirkan presiden.
Demokrasi yang seharusnya memberi peluang kepada siapa pun, namun justru menghadang para putra bangsa yang memiliki kualitas yang lebih mumpuni.
Kalau demokrasi mengedepankan kapabilitas dan kapasitas, namun harus dikubur oleh politik dinasti untuk melanggengkan kekuasaan. Inilah makna tangisan atas terkoyaknya demokrasi. (*)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News