Mengapa Hukum Islam Perlu Mengalami Perubahan dan Apa Saja Syarat-syaratnya?
Teori Hierarki Norma dalam Menyusun Buku Fikih

Di dunia yang terus berubah dengan cepat, relevansi hukum Syariah tetap menjadi perhatian utama. Untuk mengatasi hal ini, kata Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Muhammad Abdul Fattah Santoso, diperlukan mekanisme yang disebut dengan teori perubahan hukum.

“Waktu terus berjalan dan perubahan kondisi sosial terus terjadi. Untuk menjaga relevansi hukum syariah dengan realitas yang berkembang, diperlukan mekanisme yang disebut perubahan hukum,” ucap Fatah Santoso dalam Pengajian Tarjih pada Rabu (08/11).

Menurut Fatah, apa yang dimaksud dengan perubahan hukum dalam Islam bukanlah suatu transisi sementara (rukhshah), melainkan pergeseran permanen dari hukum lama ke hukum baru. Perubahan ini harus didasarkan pada dasar-dasar hukum yang kuat yang mewajibkan perubahan tersebut.

Evolusi hukum Islam dimulai setelah masa Nabi Muhammad (SAW), terutama melalui proses yang dikenal sebagai “ijtihad”. Menurut Fattah, ijtihad melibatkan pemikiran kritis dan penelitian oleh para ulama untuk memahami kondisi masyarakat yang selalu berubah dan tuntutan zaman. Proses ini adalah bagian integral dari adaptabilitas Syariah dan relevansinya yang berkelanjutan.

Perubahan hukum dalam Islam adalah bagian yang melekat dalam perjalanan Syariah, selalu selaras dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhan zaman. Dengan mematuhi nilai-nilai Islam, perubahan hukum menjadi langkah penting menuju pemahaman yang lebih baik tentang ajaran agama.

Dalam Islam, perubahan hukum adalah suatu proses yang serius dan tidak dapat dilakukan dengan sembarangan. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar perubahan hukum dianggap sah dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Syariah. Berikut adalah beberapa syarat yang harus dipatuhi

  1. Kebutuhan Mendesak

Perubahan hukum harus didasarkan pada kebutuhan mendesak yang memerlukan adaptasi hukum terhadap perubahan situasi atau tuntutan masyarakat. Ini berarti bahwa perubahan hukum tidak boleh dilakukan secara sembarangan atau tanpa alasan yang kuat.

  1. Tidak Berlaku untuk Ibadah

Perubahan hukum tidak berlaku untuk ibadah yang sudah ditetapkan oleh teks-teks agama. Ibadah adalah bagian fundamental dari keyakinan Islam dan telah ditentukan dengan jelas dalam Al-Quran dan Hadis, sehingga tidak dapat diubah.

  1. Tidak Bersifat Qat’i

Hukum yang diubah tidak boleh bersifat qat’i, yang berarti hukum tersebut sudah pasti, memiliki dasar yang sangat kuat, dan jelas dalam Al-Quran atau Hadis. Hukum yang sudah bersifat qat’i tidak dapat diganggu gugat.

  1. Ketentuan Hukum yang Spesifik

Perubahan hukum terbatas pada ketentuan hukum syar’i yang spesifik (furuk), bukan pada prinsip-prinsip umum atau nilai-nilai dasar hukum Islam. Ini berarti bahwa perubahan hukum harus fokus pada detail konkret dalam hukum Islam.

  1. Didasarkan pada Dalil Syar’i

Hukum yang diubah harus didasarkan pada dalil syar’i, seperti referensi teks yang sah dari Al-Quran atau Hadis yang dapat mendukung perubahan tersebut. Perubahan hukum harus selaras dengan prinsip-prinsip ajaran agama dan tidak boleh bertentangan dengan teks-teks suci Islam.

Dengan mematuhi kriteria-kriteria yang telah ditetapkan ini, Fattah mengatakan bahwa perubahan hukum membantu memastikan bahwa Islam tetap menjadi panduan yang relevan untuk berbagai aspek kehidupan. Ini mencerminkan dinamika hukum Islam, memupuk hubungan yang lebih dalam antara prinsip-prinsip agama dan realitas kontemporer, sambil tetap menjunjung nilai-nilai inti dan ajaran Islam. (*/tim)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini