*) Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari
Hampir seluruh dunia telah memperbincangkan nasib warga Palestina sebagai “Penjara terbesar di dunia.”
Hal ini terkait dengan kekejaman Zionis Israel yang berupaya untuk melakukan genocida, meskipun sebagian besar masyarakat dunia mengecam dan mengutuk tindakan brutalnya.
Bahkan ancaman negara tetangga yang mengirim pasukan untuk menghentikan tindakan tak manusiawi itu tak menghentikannya.
Apa yang terjadi di Palestina menyadarkan kepada manusia di seluruh dunia akan mahalnya kehidupan, serta membangun kesadaran bahwa kematian merupakan hal yang nyata.
Bagi dunia muslim, hal ini menggugah kesadaran bersama pentingnya mempersiapkan kehidupan akherat yang saat ini mengalami degradasi.
Keteguhan Jiwa
Apa yang terjadi di Palestina memang sangat mengenaskan. Karena ribuan warga mati dengan serangan biadab yang dilakukan zionis Israel.
Warga Palestina sendiri sudah siap menghadapi kematian dan bahkan menyambut dengan gembira guna memperoleh surga.
Apa yang terjadi di Palestina ini mengingatkan kita, sebagai umat Islam, bahwa hidup di dunia ini singkat dan akan menuju akhirat. Sehingga mengingatkan adanya hari pertanggungjawaban untuk bertemu Allah merupakan hal yang pasti.
Warga Palestina tiap hari ingat mati dan keagungan akhlak mereka diakui oleh warga dunia. Hal ini ditunjukkan kebaikan mereka dengan memiliki mental yang teguh dan tidak rendah di hadapan orang lain.
Mereka saling tolong menolong kepada siapapun yang membutuhkan pertolongan. Bahkan warga mereka juga menyuarakan dan menyambut bantuan yang diberikan oleh negara-negara lain yang ingin meringankan beban warga Palestina.
Warga Palestina bisa jadi menjadi manusia pilihan karena memiliki kesempatan untuk menjaga di wilayah perbatasan.
Nabi Muhammad pernah menyatakan, bahwa kelak di akhir zaman ada umatku yang satu orang keimanannya setara dengan 50 sahabat.
Hal ini bisa dilihat dari penduduk Gaza, Palestina dan Syam saat ini. Mereka tidak takut mati. Bahkan mereka mencintai kematian sebagaimana orang-orang kafir dan munafik mencintai kehidupan.
Mereka adalah cucu-cucu Khalid bin al-Walid. Mereka adalah cucu-cucu Abu Ubaidah al-Jarrah.
Mereka tahu makna “Ribath”, menjaga tanah dan wilayah mereka, yang berhadapan langsung dengan kaum Kafir.
Mereka sedang melaksanakan “Ribath”, sebagaimana dalam hadis Nabi Muhammad saw:
رباط يوم في سبيل الله خيرٌ من الدنيا وما عليها، وموضع سوط أحدكم في الجنة خير من الدنيا وما عليها، والرَّوحة يروحها العبد في سبيل الله أو الغدوة، خيرٌ من الدنيا وما عليها
“Berjaga sehari saja di jalan Allah itu lebih baik ketimbang dunia dan seisinya. Tempat cambuk salah seorang di antara kalian di surga lebih baik ketimbang dunia seisinya.
Pergi di waktu petang yang dilakukan oleh seorang hamba di jalan Allah, atau di waktu pagi, itu lebih baik ketimbang dunia dan seisinya.”
Inilah yang mereka lakukan, di mana “Ribath” adalah menjaga dan mempertahankan tanah dan wilayah mereka dari serangan kaum Kafir penjajah (Zionis Israel).
Sejak 1948 mereka diduduki sampai saat ini. Mereka bertahan dan tetap melakukan perlawanan.
Semuanya itu menunjukkan betapa luar biasanya generasi ini. Inilah makhluk terkuat yang pernah Allah ciptakan di muka bumi.
Menghadapi pendudukan dan pembumihangusan selama 75 tahun, namun selama itu tidak bisa ditundukkan, bahkan justru semakin tangguh.
Kesadaran Beragama
Apa yang terjadi pada bangsa Palestina mengingatkan adanya bangsa yang sangat buruk watak dan perilakunya.
Secara historis, sikap buruk bangsa Yahudi ditunjukkan sejak pembangkangan terhadap Nabi Musa. Mereka secara terus-menerus selalu berbuat fasik dan ingkar terhadap ajaran Taurat.
Dengan tabiat buruknya tersebut, maka mereka terusir dan tidak boleh kembali ke tanah Palestina. Hanya saat kepemimpinan Nabi Sulaiman as tersebut, mereka menjadi alim kembali, namun sepeninggalnya mereka kembali kepada tabiat buruknya lagi.
Peringatan bahwa bangsa Yahudi akan dibinasakan jika tidak keluar dari tanah Palestina, sejalan dengan narasi Alquran dalam surat Al Isra bahwa mereka mengalami penghancuran dan pengusiran dua kali sebagai hukuman dari Allah, hingga mereka dilarang kembali ke Yerusalem atau Palestina.
Bangsa Palestina mengalami ancaman kematian yang terus menerus, sehingga kemaian merupakan sebuah keniscayaan.
Mereka menghadapai kematian sewaktu-watu seiring dengan penembakan, pengeboman dan pengiriman rudal yang tidak pernah henti.
Kebiadaban zionis Israel itu telah membangunkan warga dunia untuk membantunya. Bahkan warga non-muslim pun tidak terhalang untuk melakukan pembelaan, baik dengan aksi demo maupun aksi bantuan sosial.
Di balik itu semua, warga Gaza telah membangunkan warga muslim bahwa kehidupan dunia ini sangat cepat dan kematian pasti akan datang.
Artinya, dengan adanya perang dan kematian warga Palestina telah membangunkan kesadaran kepada umat Islam untuk mengingat akhirat.
Dengan mengingat akherat, maka mendorong umat Islam Indonesia dan dunia Islam untuk berbuat lebih banyak dengan amal kebaikan.
Bahkan dengan adanya perang di Palestina itu, menunjukkan adanya Upaya-uapaya sistematis dari negara-negara kafir untuk membuat siasat untuk melumpuhlam dan menundukkan umat Islam.
Bagi warga Palestina menghadapi peluru, rudal, dan bom sehingga kematian pun siap menyambutnya.
Sementara bagi warga muslim yang tidak mengalami perang, maka perang pemikiran (ghazwul fikri) dengan serbuan-serbuan pemikiran menyimpang, seperti sekularisme, materialisme yang melalaikan hidup akhirat hingga terjadi pemurtadan secara sistematis.
Dengan adanya sekularisasi maka umat Islam menjadi manusia yang memisahkan antara kehidupan dunia dan akhirat.
Umat Islam menjadi fokus bekerja untuk kepentingan dunia tanpa mengaitkan kepentingan akherat. Dengan ideologi materialisme, maka umat Islam berorientasi dunia seolah-olah hidup selamanya, tanpa ada kesadaran membangun kampung akhirat.
Bahkan dalam diri umat Islam hilang kesadaran adanya upaya-upaya sistematis orang-orang kafir untuk melakukan pemurtadan umat Islam.
Tiga hal ini merupakan sedikit Langkah yang dilakukan orang-orang kafir untuk melemahkan umat Islam akan kesadaran nilai-nila agama untuk membangun kepentingan akherat mereka.
Dengan tertanam kuatnya sekularisme, materialisme dan pemurtadan sistematis itu, membuat keasadaran keagamaan umat Islam nyaris hilang.
Hilangnya kesadaran keagamaan ini membuat umat Islam terjangkit penyakit hubbuddunya (cinta dunia). Luaran pendidikan pesantren tidak lagi memiliki kesadaran untuk terjun di bidang dakwah, hingga hilang spirit jihad dalam kehidupan ini.
Selama di pesantren belajar ilmu agama namun setelah lulus pesantren redup spirit berjihad. Mereka tidak memiliki spirit untuk berdakwah, tetapi justru ingin kuliah dengan orientasi untuk mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang besar.
Mereka sudah lupa dan tidak mau mengajarkan ilmunya kepada orang lain setelah lulus dari pesantren. Padahal mengajarkan ilmu setelah lulus dari pesantren merupakan jihad terbesar.
Dengan mengajarkan dan menebarkan ilmu berarti menanam kebaikan kepada orang lain. Dengan ikhlas mengajarkan kepada orang lain, tanpa memengorientasikan pada kekayaan duniawi, berarti mengundang campur tangan Allah untuk memberikan kepada kepadanya.
Mengajar di masjid, sekolah, pesantren atau kantor merupakan bagian dari menyebarkan ilmu, sehingga hidupnya akan mulia dan dimuliakan Allah.
Inilah tantangan besar yang dihadapi umat Islam saat ini. Karena saat ini sedikit minat menjadi guru (agama) sangat rendah.
Mereka telah terhipnotis untuk menjadi dokter, insinyur, hakim, pengacara, dengan penghasilan yang tinggi. Padahal menjadi guru atau dai sangat strategis untuk mengobati jiwa manusia yang saat ini banyak mengalami penyimpangan. (*)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News