Nasihat Profetik Terhadap Perilaku Menyimpang

Perilaku menyimpang senantiasa terjadi dan berulang. Namun di tengah penyimpangan itu datang seseorang yang memberi nasihat profetik.

Kedatangan penasihat profetik itu untuk mengingatkan manusia kembali ke jalan yang benar. Alih-alih bersyukur atas nasihat itu, pada umumnya mereka justru menolak dan mengusir penasihat itu.

Penduduk Madyan mengalami perilaku menyimpang yang membuat rusak tatanan masyarakat. Datanglah Nabi Syuaib untuk memberi nasihat agar kembali ke jalan yang baik.

Peringatan itu pun diabaikan dan bahkan berusaha meredam dakwah profetik itu dengan mengusirnya.

 

Menciptakan Ketakutan

Perilaku menyimpang berkembang berawal dari penyembahan kepada selain Allah. Penyembahan kepada selain Allah menanamkan pemahaman bahwa manusia berperilaku bebas tanpa ada pertanggungjawaban.

Keyakinan itu melahirkan perilaku merusak, seperti mengganggu hak orang lain, menghalalkan segala acara untuk memiliki sesuatu sehingga menghancurkan tatanan yang telah mapan. Kondisi seperti ini rawan menciptakan kekacauan dan ketimpangan sosial.

Untuk menghindari kekacauan dan ketimpangan sosial, Allah mengutus manusia guna meniti jalan profetik. Nabi Syu’aib merupakan salah satu contoh seorang Nabi yang didatangkan Allah untuk mengajak mereka kembali ke jalan yang benar.

Nabi Syu’aib menghadapi masyarakat yang menyembah selain Allah, mencuri timbangan, mengganggu hak orang lain, sehingga tercipta kerusakan.

Hal ini dijelaskan Allah sebagaimana firman-Nya:

وَاِ لٰى مَدْيَنَ اَخَاهُمْ شُعَيْبًا ۗ قَا لَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَـكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗ ۗ قَدْ جَآءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ فَاَ وْفُوا الْكَيْلَ وَا لْمِيْزَا نَ وَلَا تَبْخَسُوا النَّا سَ اَشْيَآءَهُمْ وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَ رْضِ بَعْدَ اِصْلَا حِهَا ۗ ذٰ لِكُمْ خَيْرٌ لَّـكُمْ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ

“Dan kepada penduduk Madyan, Kami (utus) Syu’aib, saudara mereka sendiri. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah. Tidak ada Tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Sempurnakanlah takaran dan timbangan, dan jangan kamu merugikan orang sedikit pun. Janganlah kamu berbuat kerusakan di Bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Itulah yang lebih baik bagimu jika kamu orang beriman.”” (QS. Al-A’raf: 85)

Allah pun menunjukkan bahwa saat itu juga berkembang perilaku menyimpang, seperti mencuri takaran bagi para penjual sehingga merugikan para pembeli.

Di tengah masyarakat itu, muncul sekelompok masyarakat yang duduk-duduk di jalan yang menciptakan ketakutan. Mereka meminta uang bagi siapa pun yang lewat.

Mereka juga menghalang-halangi orang-orang yang datang kepada Nabi Syu’aib untuk mendalami agama, serta mencap dengan stigma yang buruk.

Hal ini dinarasikan Alquran sebagaimana firman-Nya:

وَلَا تَقْعُدُوْا بِكُلِّ صِرَا طٍ تُوْعِدُوْنَ وَتَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ مَنْ اٰمَنَ بِهٖ وَتَبْغُوْنَهَا عِوَجًا ۚ وَا ذْكُرُوْۤا اِذْ كُنْتُمْ قَلِيْلًا فَكَثَّرَكُمْ ۖ وَا نْظُرُوْا كَيْفَ كَا نَ عَا قِبَةُ
الْمُفْسِدِيْنَ

“Dan janganlah kamu duduk di setiap jalan dengan menakut-nakuti dan menghalang-halangi orang-orang yang beriman dari jalan Allah dan ingin membelokkannya. Ingatlah ketika kamu dahulunya sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu. Dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-A’raf : 86)

Mereka duduk di jalan bukan hanya mendapatkan uang dengan cara yang salah, tetapi juga menciptakan ketakutan. Duduk-duduk di jalan dengan menarik pajak, juga menciptakan ketakutan kepada siapa pun yang meniti jalan profetik.

Mereka yang mendatangi Nabi Syu’aib untuk mendalami agama merasa terteror dengan aksi duduk-duduk di jalan itu.

 

Elite dan Kejahatan

Para pemuka masyarakat yang hidup dalam berkecukupan menjadi tokoh utama dalam aksi yang menciptakan situasi yang mencemaskan dan mengkhawatirkan itu. Mereka yang hidup dalam kemewahan itu berupaya untuk meredupkan cahaya Nabi Syu’aib.

Puncak kejahatan para pemuka masyarakat dengan mempertontonkan kesombongan dan ingin mengusir Nabi Syu’aib dan pengikutnya. Hal ini termaktub dalam Alquran sebagai berikut:

قَا لَ الْمَلَاُ الَّذِيْنَ اسْتَكْبَرُوْا مِنْ قَوْمِهٖ لَـنُخْرِجَنَّكَ يٰشُعَيْبُ وَا لَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَعَكَ مِنْ قَرْيَتِنَاۤ اَوْ لَـتَعُوْدُنَّ فِيْ مِلَّتِنَا ۗ قَا لَ اَوَلَوْ كُنَّا كَا رِهِيْنَ

“Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri dari kaum Syu’aib berkata, “Wahai Syu’aib! Pasti kami usir engkau bersama orang-orang yang beriman dari negeri kami, kecuali engkau kembali kepada agama kami.” Syu’aib berkata, “Apakah (kamu akan mengusir kami), kendatipun kami tidak suka?” (QS. Al-A’raf : 88)

Ketika kehilangan kendali dan tidak mampu mempertahankan argumen dari dakwah Nabi Syu’aib, mereka pun menebar ancaman dan teror kepada Nabi Syu’aib.

Tindakan teror itu disasarkan kepada para pengikut Nabi Syu’aib agar kembali kepada praktik kehidupan yang biasa mereka lakukan, yakni menyembah berhala dan mencuri timbangan.

Perilaku ini dipandang sebagai perbuatan yang baik dalam menopang kehidupan selama ini. Para pemuka masyarakat itu mengancam pengikut Nabi Syu’aib untuk diusir bila menolak kepada kepada perilaku lama.

Nabi Syu’aib pun menguatkan diri dan mensugesti pengikutnya untuk bertahan dengan keyakinan profetiknya. Karena menyembah hanya kepada Allah, dan jujur dalam berdagang, dengan tidak mengurangi timbangan, akan menyelamatkan diri dari kehinaan di dunia dan akhirat.

Ketika tradisi menyembah kepada selain Allah dan mencuri takaran menjadi hal yang biasa, maka Allah mendatangkan kekacauan dan ketimpangan sosial di tengah masyarakat. Di akhir kisah di atas, Allah mendatangkan gempa untuk melenyapkan mereka dari muka bumi ini.

Kondisi masyarakat Nabi Syu’aib terpotret saat ini. Tidak sedikit manusia yang melakukan tindak kejahatan, seolah-olah berjalan begitu saja, tanpa ada pertanggungjawaban.

Mereka mengurangi hak orang lain, baik melalui korupsi, dan menarik pajak. Dua perilaku ini mendatangkan kecemasan, karena haknya dikurangi sebagai warga negara.

Keuangan negara yang seharusnya dipergunakan untuk kesejahteraan sosial, disalahgunakan. Demikian adanya penyalahgunaan pajak, yang tidak dipergunakan untuk membangun dan memenuhi kebutuhan sosial.

Pajak justru dipergunakan oleh sekelompok elite untuk memperkaya diri.
Perilaku yang tak kalau jahatnya, sehingga menimbulkan kecemasan.

Masyarakat yang belajar dan mendalami agama dipandang sebagai masyarakat yang menyimpang. Stigma radikal atau intoleran terus disebarluaskan melalui berbagai media.

Hal ini bukan hanya membuat kaum muslimin takut dan cemas, tetapi membuat masyarakat alergi dan benci kepada Islam.

Allah pun membongkar aib buruk mereka sehingga terungkap skenario buruk mereka, sehingga masyarakat pun mengetahui dan melihat langsung praktik-praktik kejahatan para penyembah harta dan dunia.

Kekacauan dan ketimpangan sosial pun terjadi, di mana negeri ini tidak lagi fokus membangun. Para elite negeri ini sibuk menutupi aib-aib mereka agar masyarakat tidak mengetahui kejahatan sistematiknya.

Namun Allah terus membuka aib-aib kejahatan mereka, sekaligus membongkar makar-makar jahat mereka yang rakus terhadap harta dan kekayaan publik.

Allah ingin menunjukkan bahwa para penolak jalan profetik akan menghadapi situasi kekacauan yang akan menghinakan kedudukan dan merendahkan derajat kehidupan mereka. (*)

Penulis: Dr. SLAMET MULIONO REDJOSARI, Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini