Perlukah Kedua Mempelai dalam Keadaan Suci dari Hadas saat Ijab Kabul?
foto: burgerhuyserattorneys.co.za

Dalam pandangan Islam, pernikahan disebut sebagai “mitsaqan ghalidzan” atau perjanjian yang kuat, sebagaimana yang tercermin dalam Alquran (an-Nisa 4:21).

Ini bukan sekadar ikatan lahiriah, melainkan suatu komitmen kepada Allah. Pernikahan di sini menjadi sebuah perintah ilahi yang menuntut kepatuhan dan menjalankan peran sosial serta spiritual.

Kesucian pernikahan muncul dari tujuannya yang mencakup pencapaian nilai-nilai agama. Dalam ajaran Islam, pernikahan menjadi landasan untuk membentuk keluarga yang berakar pada moralitas dan etika agama.

Hal ini merupakan wujud nyata dari ketaatan kepada Allah dan pengejawantahan ajaran-ajaran-Nya dalam kehidupan sehari-hari.

Lebih jauh lagi, pernikahan dianggap sebagai pelindung dari perbuatan zina. Dengan menjalankan pernikahan, manusia diarahkan untuk memuaskan kebutuhan fisiknya dalam batas-batas yang diakui oleh syariat, menjauhkan diri dari perilaku tidak terpuji, dan menjaga kemurnian hati dan jiwa.

Rasulullah Muhammad saw telah dengan tegas menyatakan keutamaan pernikahan dalam sabdanya:

“Barang siapa di antara kamu mampu menikah, maka menikahlah karena nikah dapat menahan pandangan serta memelihara kemaluan (kesucian)” (HR. al-Bukhari).

Pernikahan bukan sekadar pelampiasan kebutuhan, tetapi sebuah langkah konkret untuk menghindari godaan dan menjaga kesucian batin.

Penting untuk dicatat bahwa kesucian dalam pernikahan tidak berhubungan langsung dengan kebersihan fisik, seperti yang diperlukan dalam kewajiban beribadah seperti salat.

Meskipun persyaratan kebersihan tertentu diperlukan sebelum melaksanakan ibadah, pernikahan dianggap tetap sah tanpa persyaratan serupa.

Dalam konteks pelaksanaan akad nikah, tidak ada persyaratan khusus untuk bersuci dari hadas atau najis.

Agama lebih menekankan pemenuhan syarat-syarat tertentu, seperti keberlanjutan iddah bagi wanita yang bercerai sebelum menikah kembali, serta keberadaan wali dalam melangsungkan pernikahan. Kriteria ini menjadi penentu sahnya sebuah pernikahan menurut ajaran Islam.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa seseorang dapat menikah dalam keadaan tidak suci (memiliki hadas dan belum berwudu) atau dalam keadaan haid (belum mandi wajib karena belum selesai haid) dan pernikahannya tetap dianggap sah.

Kesucian dalam konteks pernikahan lebih menekankan pada pemahaman dan implementasi nilai-nilai agama yang diperlukan daripada persyaratan kebersihan fisik khusus sebelum melangsungkan pernikahan. (*/tim)

Referensi:

Majalah Suara Muhammadiyah, No. 17, Tahun 2010.

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini